Nikah/Keluarga

Apakah Akta Lahir Dapat Jadi Bukti Nasab Seseorang yang Berhak atas Waris?

Kam, 2 Maret 2023 | 18:00 WIB

Apakah Akta Lahir Dapat Jadi Bukti Nasab Seseorang yang Berhak atas Waris?

Akta lahir yang menjelaskan nasab seseorang. (Ilustrasi: NU Online/freepik)

Kebutuhan ekonomi yang sangat tinggi membuat sebagian orang saling bersaing dalam memperebutkan harta. Terkadang perebutan harta juga dialami antarsaudara kandung. Di antara yang sedang viral akhir-akhir ini adalah kabar seorang yang tidak mengakui saudara kandungnya dengan alasan perebutan harta warisan.


Dalam menyikapi hal ini, tentu islam telah memberikan solusi terbaik yaitu perintah berlaku adil sama rata dalam memberikan harta serta kasih sayang kepada anak-anak kita. Memberikan kasih sayang serta hadiah yang sama rata diantara anak-anak kita adalah solusi agar tidak terjadi kecemburuan sosial di kemudian hari. Bahkan, mayoritas ulama menghukumi makruh praktik mengutamakan sebagian anak dalam hal pemberian harta.


Hal ini dikuatkan dengan hadits:

ADVERTISEMENT BY OPTAD


قال رسول الله اعدلوا بين أولادكم اعدلوا بين أولادكم


Artinya, “Rasulullah bersabda ‘Berlakulah adil di antara anak-anak kalian, berlakulah adil di antara anak-anak kalian,’” (HR Baihaqi).

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Lantas dalam kasus kita ini, tidak dapat dibenarkan menghalangi salah satu ahli waris dari hak warisannya kecuali dengan sebab-sebab tertentu yang akan kita bahas. Hal ini karena penetapan bagian warisan adalah perintah dari Allah yang seyogyanya kita jalankan bersama.


Hal ini dikuatkan dengan hadits:

ADVERTISEMENT BY OPTAD


قال رسول الله ألحقوا الفرائض بأهلها


Artinya, “Rasulullah bersabda, ‘Berikanlah setiap hak warisan kepada orang yang berhak mendapatkannya,’” (HR Bukhari)

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Adapun pembagian warisan tidak dapat dipisahkan dengan penetapan nasab. Seorang ahli waris mendapatkan warisan ketika ia telah terbukti memiliki pertalian nasab dengan sang mayit. Seandainya ahli waris ternyata terbukti tidak memiliki pertalian nasab dengan mayit maka ia tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih:


الإرث فرع النسب متى ثبت الأصل ثبت الفرع.


Artinya, “(Hukum warisan) adalah cabang dari (tetapnya) pertalian nasab, Kapanpun terbukti pokoknya (nasab) maka ditetapkan cabangnya (hukum warisan),” (Ad-Damiri Muhammad bin Musa, Najm al-Wahhaj fi Syarh Minhaj [KSA: Darul Minhaj, 2004] juz V, halaman 126).

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Menurut mazhab Syafi’I, pembuktian nasab ini juga harus dibarengi dengan kesaksian dari seluruh ahli waris maupun sebagian ahli waris yang berhak mendapatkan warisan karena hal ini menyangkut hitungan bagian warisan. Imam asy-Syafi’i mengambil dalil dari hadits:


عَنْ عَائِشَةَ قَالَتِ اخْتَصَمَ سَعْدُ بْنُ أَبِى وَقَّاصٍ وَعَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ فِى ابْنِ أَمَةِ زَمْعَةَ فَقَالَ سَعْدٌ هَذَا يَا رَسُولَ اللَّهِ ابْنُ أَخِى عُتْبَةَ بْنِ أَبِى وَقَّاصٍ عَهِدَ إِلَىَّ أَنَّهُ ابْنُهُ وَانْظُرْ إِلَى شَبَهِهِ . فَقَالَ عَبْدُ بْنُ زَمْعَةَ هَذَا أَخِى وُلِدَ عَلَى فِرَاشِ أَبِى قَالَ فَنَظَرَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِلَى شَبَهِهِ فَرَأَى شَبَهًا بَيِّنًا بِعُتْبَةَ فَقَالَ « هُوَ لَكَ يَا عَبْدُ الْوَلَدُ لِرَبِّ الْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَر. 


Artinya, “Diceritakan dari sayyidah ‘Aisyah bahwa beliau meengatakan ‘(Suatu ketika) Sa’ad bin Abu Waqash berselisih pendapat dengan ‘Abd bin Zam’ah terkait anak budak perempuan milik Zam’ah. Maka Sa’ad bin Abu Waqash mengatakan ‘Wahai Rasulullah, ini (anak tersebut) adalah putra saudara laki-lakiku (yang bernama) ‘Utbah bin Abi Waqash, ia bercerita kepadaku bahwa dia (anak tersebut) adalah anaknya, maka lihatlah kemiripannya (anak tersebut).’ Kemudian, ‘Abd bin Zam’ah mengatakan ‘Ini (anak tersebut) adalah saudaraku, dia dilahirkan oleh ayahku.’ Maka, Rasulullah melihat keserupaannya, beliau melihat dia (anak tersebut) sangat mirip dengan ‘Utbah bin Abu Waqash. Rasulullah bersabda ‘Dia (anak tersebut) adalah (saudara) milikmu, anak adalah milik pemilik kasur (ayahnya) dan bagi orang berzina tercegah (dari nisbat anaknya),’” (HR Daruquthni).


Dari hadits ini, imam asy-Syafi’i menyatakan bahwa pengakuan bernasab pada seseorang harus dibarengi dengan kesaksian dari keluarga ahli warisnya. Dalam hadits ini, kesaksian ‘Abd bin Zam’ah yang merupakan keluarga ahli waris dari ayahnya menjadi sebab Rasulullah memutuskan nasab anak tersebut.(Al-Mawadi Ali bin Muhammad, Al-Hawi lil Fatawi [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1999] juz.7 hal.92)


Sedangkan, sebab-sebab yang menjadikan ahli waris tidak mendapatkan hak warisannya yaitu:


1. Perbedaan agama


Ketika sang mayyit beragama islam dan ahli waris beragama non-muslim, maka ahli waris non-muslim tidak mendapatkan bagian warisan dari mayyit. Begitu juga, seandainya  sang mayyit beragama nin-islam sedangkan ahli waris beragama islam, maka ahli waris yang muslim tidak mendapatkan bagian warisan dan mayyit.


Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah:


قال رسول الله لا يرث المسلم الكافر ولا الكافر المسلم


Artinya, “Rasulullah bersabda ‘Seorang muslim tidak dapat mewarisi (harta) orang kafir, dan seorang yang kafir tidak dapat mewarisi (harta) orang muslim.’”


2. Sifat budak


Ketika ahli waris dari mayyit adalah budak, maka ia tidak memiliki hak waris. Hal ini karena harta seorang budak adalah milik tuannya. Seandainya seorang budak mendapatkan warisan niscaya warisan tersebut akan dimiliki oleh tuannya padahal tuannya tidak memiliki hubungan pertalian nasab dengan sang mayit. (Zakaria Al-Anshari, Asna Al-Mathalib [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2003] juz III, halaman 16).


3. Membunuh orang yang akan mewariskan


Ketika ahli waris membunuh orang yang akan mewariskan harta kepadanya, maka ia tidak memiliki hak waris. Misalnya, seorang anak karena ingin mempercepat mendapatkan warisan ayahnya kemudian ia membunuh ayahnya maka sang anak tidak berhak mendapatkan warisan ayahnya.


Hal ini dikuatkan dengan hadits:


قال رسول الله من قتل قتيلا لا يرثه وإن لم يكن له وارث غيره


Artinya, “Rasulullah bersabda ‘Barang siapa yang membunuh seseorang, maka ia tidak dapat mewarisi (harta) darinya, meskipun tidak apa ahli waris selainnya (sang pembunuh),’” (HR Baihaqi).


Simpulan di sini adalah ahli waris dapat memakai akta kelahiran ataupun kartu keluarga dan sejenisnya sebagai pelengkap bukti bahwa ia sah sebagai anak kandung yang berhak atas waris.


Ustadz Muhammad Tholchah al-Fayyadl, Mahasiswa Univesitas Al-Azhar Kairo Mesir.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND