Nikah/Keluarga

Perempuan Hamil di Luar Nikah menurut Empat Mazhab

Jumat, 6 Juni 2025 | 20:00 WIB

Perempuan Hamil di Luar Nikah menurut Empat Mazhab

Ilustrasi wanita hamil. (Foto: NU Online/Freepik)

Di zaman modern seperti saat ini, pergaulan bebas berkembang pesat dan merajalela di berbagai kalangan, termasuk remaja atau bahkan anak-anak. Pergaulan bebas lawan jenis yang tanpa batasan, kontrol diri, dan pengawasan bisa menyebabkan terjadinya perzinahan hingga hamil di luar nikah.

 

Ketika sudah terjadi demikian, pihak orang tua banyak yang memilih menikahkan anaknya yang sudah melakukan zina tersebut. Tujuannya sebagai alternatif untuk menutupi aib keluarga dan sebagai bentuk pertanggungjawaban dari pihak laki-laki yang menghamili.

 

Hukum adat turut menyoroti pernikahan karena zina sebagai suatu keniscayaan untuk membersihkan nama baik keluarga. Sehingga pernikahan mendadak akibat perzinaan tidak jarang terjadi dan alasannya sudah diketahui oleh masyarakat luas.

 

Namun bagaimana fiqih, sebagai syariat yang mengatur syarat dan rukun suatu ibadah ataupun muamalah, menyoroti fenomena pernikahan tersebut? Dalam konteks ini, pernikahan bukan hanya dilakukan dengan tujuan untuk menjalankan sunnah Rasul, melainkan juga dilakukan karena desakan situasi. Terlebih terkadang calon istri sudah mengandung bayi hasil hubungan di luar nikah.

 

Para ulama mazhab berbeda pendapat dalam menyikapi pernikahan yang dilakukan oleh pelaku zina terutama yang sudah mengakibatkan kehamilan.

 

1. Mazhab Hanafi

Dalam konteks menikah saat hamil anak zina, ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hukumnya sah jika dilakukan oleh laki-laki yang menyebabkan kehamilan. Sedangkan jika yang menikahi adalah laki-laki lain, ulama dalam mazhab ini berbeda pendapat.

 

Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad, pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki lain dengan perempuan yang hamil di luar nikah tetap sah. Dengan syarat ketika sudah menikah, antara laki-laki lain dan perempuan yang hamil tersebut tidak dibolehkan melakukan hubungan badan hingga anak yang dikandungnya lahir.

 

Sedangkan menurut Imam Abu Yusuf dan Imam Zafar pernikahan yang dilakukan oleh laki-laki lain dengan perempuan yang hamil di luar nikah tidak sah. Sebab kehamilan perempuan tersebut menyebabkan terhalangnya persetubuhan yang meniscayakan adanya larangan pula dalam hal akad. (Utsman bin Ali, Tabyinul Haqaiq Syarh Kanzil Daqaiq wa Hasyiyah al Syibli [Kairo, al-Matba’ah al-Kubro al-Amiriyyah: 1314H], jilid II, h. 113).

 

2. Mazhab Maliki

Menurut ulama mazhab ini, pernikahan perempuan dan laki-laki yang berbuat zina hukumnya sah jika keduanya telah melakukan tobat. Sedangkan jika yang menikahi perempuan tersebut adalah laki-laki lain, maka pernikahannya tersebut tidak sah. (Ibn Qudamah, al-Mughni [Beirut: 1990], h. 601)

 

3. Mazhab Syafi’i

Ulama mazhab Syafi’iyyah berpendapat bahwa pernikahan yang dilakukan ketika seorang perempuan hamil di luar nikah tetap sah, baik yang menikahinya itu adalah laki-laki yang menghamilinya atau pun laki-laki lain. (al-Jaziri, al-Fiqh ‘alal Madzahibil Arba’ah, [Beirut: Darul Fikr, 1989], h. 519)

 

4. Mazhab Hambali

Ulama Hanabilah berpendapat bahwa perempuan yang sedang hamil di luar nikah tidak sah dinikahi hingga ia melahirkan. Baik yang akan menikahinya itu adalah laki-laki yang menghamilinya atau pun laki-laki lain. (Abdul Azizi Amir, al-Ahwal al-Syakhshiyyah fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, [Mesir, Darul Kutub al-Arabi: 1961], 26)

 

Berdasarkan keterangan tersebut, mayoritas ulama memandang bahwa pernikahan yang dilakukan oleh perempuan yang hamil di luar nikah hukumnya sah ketika laki-laki yang menikahi adalah ayah dari bayi yang dikandung. Kecuali pendapat mazhab Hambali yang mengharuskan bayi untuk dilahirkan terlebih dahulu sebelum melakukan pernikahan.

 

Pernikahan Wanita Hamil menurut KHI

Selaras dengan pendapat mayoritas ulama, hukum di Indonesia khususnya yang tertuang di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) juga menyatakan keabsahan pernikahan perempuan hamil di luar nikah dan laki-laki yang menghamilinya. Sebagaimana yang tertuang di dalam KHI pasal 53 berikut:

 
  1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
  2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
  3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
 

Sementara untuk nasab si anak, anak bisa dinasabkan kepada ayah biologisnya (pezina) ketika ia dilahirkan 6 bulan atau lebih setelah pernikahan. Sedangkan jika kurang dari 6 bulan, maka si anak tidak bisa dinasabkan kepada ayahnya, kecuali si ayah mengakui bahwa si anak adalah anaknya dan tidak mengatakan bahwa anak tersebut hasil zina. Sementara jika ayanhnya mengatakan bahwa anak tersebut hasil zina, maka nasabnya tidak bisa tersambung, dan si anak tidak bisa untuk mendapatkan waris. (Syekh Muhammad Sholeh Munjid, al-Islam, Su’al wa Jawab, [2009], jilid V, h.7070)

 

Dengan demikian, sejatinya fiqih juga membuka ruang bagi orang yang terjerumus ke dalam zina untuk melakukan pernikahan sebagaimana yang berlaku di tengah masyarakat. Jika dilihat dari sisi maslahatnya, hal ini bisa memberikan perlindungan terhadap hak anak yang tidak bersalah. Pasalnya, ketika pernikahan dilakukan ketika prediksi kelahiran masih 6 bulan atau lebih, anak akan tetap mendapat hak-haknya termasuk hak status nasab kepada ayahnya.

 

Namun, kendati pernikahan yang dilakukan tetap sah, akan tetapi pernikahan ini bukan sebagai penebus dosa dari perbuatan keji yang sudah dilakukan. Sehingga perempuan dan laki-laki yang sudah terjerumus di dalam perbuatan ini harus tetap bertobat kepada Allah SWT.

 

Ustadzah Siti Amiratul Adibah, Mahasiswa Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang, Alumnus Pondok Pesantren As'ad Jambi dan Ma'had Aly Situbondo.