Syariah

Hukum Jual Beli Babi dalam Islam: Pandangan Fiqih dan Kebijakan Sosial

Senin, 11 Agustus 2025 | 12:00 WIB

Hukum Jual Beli Babi dalam Islam: Pandangan Fiqih dan Kebijakan Sosial

jual beli babi, hukum Islam, dan toleransi sosial (NUO)

Dalam kehidupan masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, pengaturan terhadap makanan dan perdagangan tidak hanya harus mempertimbangkan aspek hukum agama, tetapi juga realitas sosial yang ada. Salah satu isu yang kerap menimbulkan perdebatan adalah peredaran dan perdagangan daging babi. 
 

Bagi umat Islam, babi merupakan hewan yang jelas diharamkan dalam syariat, baik untuk dikonsumsi maupun diperjualbelikan. Namun di sisi lain, sebagian masyarakat non-Muslim menganggapnya sebagai bagian dari budaya konsumsi yang sah.
 

Karena itu, penting untuk memahami bagaimana pandangan Islam terhadap babi tidak hanya dalam konteks konsumsi, tetapi juga dalam praktik jual belinya. Tulisan ini akan menguraikan secara ringkas bagaimana hukum Islam memandang jual beli babi serta bagaimana seharusnya pemerintah bersikap dalam merumuskan regulasi yang bijak terkait peredarannya.
 

Keharaman Babi dalam Islam

Dalam ajaran Islam, babi termasuk hewan yang diharamkan untuk dimakan. Larangan ini tidak hanya disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an, tetapi juga telah menjadi kesepakatan (ijma’) di kalangan para ulama. Allah swt dengan tegas menyatakan larangan ini dalam firman-Nya:
 

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
 

Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS Al-Baqarah: 173).
 

Produksi Daging Babi Perspektif Hukum Islam

Babi termasuk hewan yang diharamkan untuk dikonsumsi dalam Islam. Demikian pula, memperjualbelikan atau mengedarkannya juga tergolong perbuatan yang dilarang. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw menegaskan larangan memperdagangkan barang-barang yang haram.
 

إنّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ حَرَّمَا بَيْعَ الْخَمْرِ، وَالمَيْتَةِ، وَالْخِنْزِيْرِ، وَالْأَصْنَامِ
 

Artinya, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan jual beli khamr, bangkai, babi, dan berhala.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
 

Menjelaskan hadits ini, Imam An-Nawawi dalam menyatakan bahwa larangan tersebut telah menjadi konsensus (ijma') di kalangan ulama, terutama terhadap jual beli babi di antara umat Islam. Beliau mengatakan:
 

وأما الميتة والخمر والخنزير : فأجمع المسلمون على تحريم بيع كل واحد منها .قال القاضي : تضمن هذا الحديث أن ما لا يحل أكله والانتفاع به لا يجوز بيعه ولا يحل أكل ثمنه كما في الشحوم المذكورة في الحديث
 

Artinya, “Adapun bangkai, khamr, dan babi: maka para ulama sepakat atas haramnya menjual masing-masing dari ketiganya. Qadhi berkata: Hadits ini menunjukkan bahwa sesuatu yang tidak halal dimakan dan tidak boleh dimanfaatkan, maka tidak sah untuk diperjualbelikan dan haram pula memakan hasil penjualannya, sebagaimana pada lemak-lemak yang disebutkan dalam hadits tersebut.” (Syarah Nawawi 'ala Shahih Muslim, [Beirut, Darul Ihya’it Turats: 1392], jilid XI, halaman 8).
 

Mayoritas ulama mengharamkan penjualan babi, baik kepada sesama Muslim maupun kepada Nonmuslim. Mereka berpendapat bahwa Nonmuslim juga termasuk dalam cakupan khithab syariat, sehingga memperjualbelikan babi kepada mereka pun tetap dianggap haram.
 

Namun, Mazhab Hanafi memiliki pandangan berbeda. Menurut mereka, meskipun hukum Islam juga melarang Nonmuslim mengonsumsi babi, tetapi mereka tidak dilarang untuk menjual babi. Alasannya, karena Nonmuslim tidak meyakini keharamannya, menganggapnya sebagai harta yang bernilai, dan Islam memerintahkan agar mereka dibiarkan menjalani keyakinan mereka sendiri.
 

Imam Al-Kasani dari mazhab Hanafi menjelaskan:
 

وَعَنْ بَعْضِ مَشَايِخِنَا: حُرْمَةُ الْخَمْرِ، وَالْخِنْزِيرِ ثَابِتَةٌ عَلَى الْعُمُومِ فِي حَقِّ الْمُسْلِمِ، وَالْكَافِرِ؛ لِأَنَّ الْكُفَّارَ مُخَاطَبُونَ بِشَرَائِعَ هِيَ حُرُمَاتٌ هُوَ الصَّحِيحُ مِنْ مَذْهَبِ أَصْحَابِنَا فَكَانَتْ الْحُرْمَةُ ثَابِتَةً فِي حَقِّهِمْ لَكِنَّهُمْ لَا يُمْنَعُونَ عَنْ بَيْعِهَا؛ لِأَنَّهُمْ لَا يَعْتَقِدُونَ حُرْمَتَهَا، ويتمولونها. وَنَحْنُ أُمِرْنَا بِتَرْكِهِمْ، وَمَا يَدِينُونَ
 

Artinya, “Menurut sebagian ulama kami, keharaman khamr dan babi itu berlaku secara umum, baik bagi Muslim maupun Nonmuslim. Sebab Nonmuslim juga dikenai tuntutan untuk menjalankan syariat, termasuk dalam perkara yang diharamkan. Inilah pendapat yang benar menurut mazhab para ulama kami. Maka, keharaman tetap berlaku atas Nonmuslim.
 

Namun begitu, mereka tidak dilarang menjualnya, karena mereka tidak meyakini keharamannya dan menganggap barang-barang itu sebagai sesuatu yang bernilai. Dan kita (kaum Muslimin) diperintahkan untuk membiarkan mereka dengan agama dan keyakinan mereka.” (Badai’us Shana’i, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: t.t.], jilid V, halaman 143).
 

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, segala bentuk produksi yang berkaitan dengan babi hukumnya haram, karena babi termasuk sesuatu yang diharamkan untuk dikonsumsi. Sebab itu, pemerintah memiliki peran penting dalam merumuskan regulasi yang ketat dan penuh pertimbangan terkait perdagangan babi. Misalnya, perdagangan babi hanya diperbolehkan secara terbatas kepada kalangan tertentu, dan tidak didistribusikan secara bebas.
 

Dalam konteks ini, regulasi mengenai peredaran daging babi harus disusun secara terstruktur, dibatasi dengan jelas, dan diawasi secara ketat. Tujuannya adalah untuk mencegah masuknya daging babi ke lingkungan komunitas Muslim serta menghindari tercampurnya produk halal dan haram.
 

Meski demikian, pemerintah tidak bisa serta-merta melarang peredaran babi secara mutlak agar terhindar dari dampak sosial, ekonomi, dan hukum yang lebih besar, terutama bagi masyarakat Nonmuslim yang mengonsumsinya. Pelarangan total tanpa pertimbangan yang matang bisa memicu ketegangan antarumat beragama serta melanggar hak sipil sebagian warga negara yang dijamin oleh konstitusi.
 

Sikap ini selaras dengan prinsip dasar dalam syariat Islam yang mengedepankan pencegahan kerusakan yang lebih besar. Dalam kaidah fiqih disebutkan:
 

إذا تعارضت مفسدتان رُوعي أعظمهما ضررًا بارتكاب أخفهم
 

Artinya, “Jika dua kerusakan saling bertentangan, maka diperhatikan mana yang paling besar bahayanya, lalu diambil yang lebih ringan.”
 

Dengan demikian, pembatasan dan pengawasan ketat terhadap peredaran babi merupakan langkah kompromi yang secara syar'i dan konstitusional lebih bijaksana. Pemerintah perlu mengatur peredarannya secara terbatas sembari memastikan bahwa komunitas Muslim terlindungi dari potensi pelanggaran syariat, seperti tersebarnya produk haram di lingkungan mereka atau tercampurnya dengan produk halal. Wallahu a’lam.
 

 

Ustadz Bushiri, Pengajar di Zawiyah Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan