Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 173: Hikmah Keharaman Babi

Sel, 31 Januari 2023 | 05:00 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 173: Hikmah Keharaman Babi

Ilustrasi: Tafsir Marahul Labid karya Syekh Nawawi Banten (NU Online).

Berikut ini adalah teks, terjemahan, kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat Al-Baqarah ayat 173:
 

اِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ بِهٖ لِغَيْرِ اللّٰهِۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَلَآ اِثْمَ عَلَيْهِۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
 

Innamā harrama ‘alaikumul-maitata wad-dama wa laḫmal-khinzīri wa mā uhilla bihī lighairillāh, fa manidlthurra ghaira bāghiw wa lā ‘ādin fa lā itsma ‘alaīh, innallāha ghafūrur rahīm.
 

Artinya: “Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah. Akan tetapi, siapa yang terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
 

 

Ragam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 173

Pada ayat 173 surat Al-Baqarah di atas Allah mengharamkan orang untuk memakan bangkai, darah, daging babi dan hewan yang disembelih dengan menyebut selain Allah. Namun ada pengecualian limpa dan hati yang merupakan bagian dari darah. Demikian juga bangkai ikan dan belalang. Keempatnya dihukumi halal untuk dikonsumsi. Sebagaimana Imam As-Suyuthi dalam tafsirnya meriwayatkan sebagai berikut:
 

أخرج أحمد وابن ماجه والدراقطني والحاكم وابن مردويه عن ابن عمر قال: قال رسول الله صم: أحلت لنا ميتتان ودمان: السمك والجراد والكبد والطحال
 

Artinya: “Imam Ahmad, Ibnu Majah, Ad-Daraqutni, Al-Hakim dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah bersabda: “Dihalalkan bagi kami dua bangkai dan dua darah: ikan, belalang, hati dan limpa.” (Jalaluddin as-Suyuthi, Addurul Mantsur fi Tafsiril Ma’tsur, [Beirut, Darul Fikr: 1433 H/2011 M], juz I, halaman 407).
 

Syekh Nawawi Al-Bantani dalam tafsirnya menjelaskan makna lafal “Innamā harrama ‘alaikumul-maita”, yaitu Allah mengharamkan umat Islam untuk memakan bangkai dan mengambil kemanfaatan darinya. Maksud dari bangkai di sini ialah hewan yang mati tanpa disembelih dengan sembelihan syar’i, dengan mengecualikan dua bangkai yang diperbolehkan oleh syariat yaitu bangkai ikan dan belalang. Seperti halnya limpa yang dikecualikan dari (golongan) darah. 
 

Adapun lafal “Wad-dama wa laḫmal-khinzīri ”, Syekh Nawawi menjelaskan bahwa Allah juga mengharamkan darah dan seluruh bagian babi (bukan hanya daging saja). Disebutkannya lafal “al-lahm” yang memiliki makna daging dikarenakan biasanya yang menjadi objek untuk dimakan adalah daging.
 

Pada lafal selanjutnya “wa mā uhilla bihī lighairillāh”, maksudnya ialah hewan-hewan yang disembelih dengan menyebut selain Allah. Dalam penafsiran pada lafal ini, Syekh Nawawi juga memberi peringatan kepada orang-orang yang menyembelih hewan untuk mendekatkan diri kepada selain Allah dengan berkata:
 

“Ulama berkata, jika seorang muslim menyembelih dengan tujuan mendekatkan diri kepada selain Allah, maka ia murtad dan sembelihannya ialah sembelihan orang murtad.”

 

Hal tersebut didasarkan sebab dulu orang-orang kafir menyembelih dengan melantangkan suaranya dengan menyebut berhala sesembahan mereka.
 

Terkait makna orang yang terpaksa tanpa berlebihan dan melewati batas yang mendapatkan rukhsah dari Allah pada lafal “fa manidlthurra ghaira bāghiw wa lā ‘ādin fa lā itsma ‘alaīh”, Syekh Nawawi menjelaskan bahwa maksud dari orang yang terpaksa tersebut digambarkan dengan orang yang terkena kelaparan berat (sekiranya mengancam nyawa) dan tidak menemukan makanan lain yang halal. Ia dapat memakan makanan haram hanya sekedar untuk menyambung nyawanya saja. Atau digambarkan dengan orang yang dipaksa (dengan taruhan nyawanya) untuk memakannya. 
 

Kebolehan tersebut disyaratkan dengan tidak adanya unsur “Al-Baghyu” dan “At-Ta'addi”, yang dijelaskan oleh Syekh Nawawi, yaitu bukan untuk mencari keenakan atau kelezatan dan melewati batas dengan melebihi dari hanya sekedar menyambung nyawa”. Orang-orang yang berada dalam keadaan demikian tidak mendapatkan dosa dengan apa yang mereka lakukan sebab Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang.
 

Karenanya Allah mengakhiri ayat ini dengan lafal “innallāha ghafūrur rahīm”, dengan makna bahwa Allah mengampuni orang-orang yang memakan makanan yang haram dalam keadaan terpaksa dan Ia Maha Pengasih karena memperbolehkan hal tersebut untuk sekadar kebutuhan. (Muhammad Nawawi Al-Jawi, At-Tafsirul Munir li Ma’alimt Tanzil, juz I, halaman 39).

 

Syekh Muhammad Ali As-Shabuni dalam tafsirnya menjelaskan hikmah diharamkannya bangkai, darah, daging babi dan hewan yang disembelih dengan menyebut selain Allah. 
 

Pertama, hikmah diharamkannya bangkai dikarenakan memiliki banyak bahaya di dalamnya. Dikarenakan bangkai adakalanya mati karena penyakit yang merusak badannya sehingga ia mati atau ia mati karena sebab tertentu (tertabrak, jatuh semisal). Hewan yang mati karena penyakit maka dagingnya buruk dan terkotori dengan banyaknya penyakit. Dikhawatirkan hal tersebut dapat menyebabkan orang yang memakannya juga akan terkena penyakit. Sedangkan hewan yang mati kaget karena sebab tertentu memungkinkan adanya sesuatu yang berbahaya pada tubuhnya.
 

Kedua, hikmah diharamkannya darah dikarenakan darah merupakan sesuatu yang kotor dan berbahaya (untuk dikonsumsi). Ilmu medis menetapkan bahwa darah berbahaya sebagaimana bangkai karena terdapat banyak materi berbahaya di dalamnya (seperti mikroba jahat).
 

Ketiga, hikmah diharamkannya daging babi karena asupan babi diperoleh dari kotoran dan najis. Juga dikarenakan ilmu kedokteran telah mengungkapkan bahwa daging babi mengandung zat-zat yang sulit untuk terurai.

 

Keempat, adapun hewan yang disembelih dengan menyebut selain Allah diharamkan bukan karena terdapat penyakit di dalamnya. Melainkan karena memalingkan kepada selain Allah. Daging hewan tersebut diharamkan karena 'illat ruhiyah untuk keselamatan hati dan sucinya ruh dari kotoran. Islam sangat menjaga agar umatnya selalu menghadapkan dirinya untuk beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya. (Muhammad Ali As-Shabuni, Rawai’ul Bayan Tafsir Ayatil Ahkam minal Qur’an, [Beirut, Muassasah Manahilul Irfan: 1400 H/ 1980 M], juz I, halaman 166).

 

Ustadz Alwi Jamalulel Ubab, Alumni Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Mahasantri Ma'had Aly Saidussidiqiyah Jakarta.