Bahtsul Masail

Hukum Makan Babi dengan Mengucapkan Basmalah

Selasa, 1 Agustus 2023 | 14:25 WIB

Hukum Makan Babi dengan Mengucapkan Basmalah

Hukum Makan Babi dengan Mengucapkan Basmalah

Beberapa bulan yang lalu, dunia maya sempat heboh karena sebuah video viral seorang selebgram yang makan babi dengan mengucapkan basmalah. Selebgram ini kemudian mendapat kritikan dan hujatan dari para netizen. Bahkan kasusnya ini pun sempat diseret ke pihak yang berwajib.


Melalui keterangannya, ia menjelaskan alasan kenapa ia memakan babi, yaitu karena rasa penasaran terhadap rasa kulit babi yang akhir-akhir ini juga marak di konten non-muslim di media sosial. Nahasnya, videonya itu viral di dunia maya dan mendapat kritikan oleh banyak kalangan, bahkan sampai disebut sebagai bentuk penistaan agama.


Lalu, bagaimana Islam memandang fenomena tersebut?


Hukum Mengawali Pekerjaan dengan Mengucapkan Basmalah 

Dalam Islam, membaca basmalah dalam mengawali setiap pekerjaan dan kegiatan merupakan perkara yang amat penting. Seorang Muslim dianjurkan untuk membaca basmalah saat memulai suatu pekerjaan. Hal ini berdasarkan pada sebuah hadits Rasulullah Saw yang menganjurkan untuk mengawali semua pekerjaan dengan membaca basmalah. Rasulullah Saw bersabda:


كل ‌أَمر ‌ذِي ‌بَال لَا يبْدَأ فِيهِ بِبسْم الله فَهُوَ أَبتر


Artinya: “Segala perbuatan baik yang tidak diawali dengan membaca bismillah itu terputus.” (HR. Abu Daud).


hadits ini tidak hanya diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam kitab Sunannya, namun juga diriwayatkan oleh beberapa ahli hadits terkemuka di dalam kitab-kitab hadits mereka. Diantaranya, Ibnu Majah di dalam kitab sunannya, Ahmad bin Hanbal di dalam Musnadnya, Ibnu Hibban di dalam kitab Sahihnya dan beberapa ulama lainnya.


Menurut Ibnu Ruslan, hadits ini menjadi dalil kesunnahan untuk memuji Allah Swt sebelum memulai pekerjaan. Karena orang yang tidak mengawali urusannya dengan memuji Allah Swt, maka pekerjaannya luput dari keberkahan. (Ibnu Ruslan, Syarah Sunan Abi Daud, [Mesir, Dar al-Falah li al-Buhus: 2016 M], jilid. 18, halaman. 538).


Lebih lanjut, para ulama menggaris bawahi bahwa hukum basmalah tidak terbatas pada hukum sunnah saja. Karena hukum membaca basmalah sewaktu-waktu bisa berubah. Terkadang membaca basmalah bisa menjadi sunnah, wajib, makruh bahkan haram. 


Abu Bakri Syatha di dalam kitab I’anah at-Thablibin menjelaskan sebagai berikut:


‌البسملة ‌مطلوبة في كل أمر ذي بال - أي حال - يهتم به شرعا، بحيث لا يكون محرما لذاته ولا مكروها كذلك، ولا من سفاسف الأمور - أي محقراتها - فتحرم على المحرم لذاته كالزنا، لا لعارض كالوضوء بماء مغصوب. وتكره على المكروه لذاته كالنظر لفرج زوجته، لا لعارض كأكل البصل.


Artinya: “Basmalah diperintahkan di setiap urusan yang penting dalam syariat, dalam artian urusan itu bukan sesuatu yang diharamkan dan tidak dimakruhkan karena zatnya, dan juga bukan urusan yang hina. Sehingga haram membaca basmalah atas perkara yang haram karena zatnya sendiri, seperti berzina, tidak haram atas sesuatu yang haram karena faktor lain, seperti membaca basmalah pada saat berwudu dengan air yang dirampas. Dan basmalah makruh atas perkara yang makruh karena zatnya, seperti pada saat memandang kemaluan pasangan, tidak dimakruhkan basmalah atas perkara yang makruh karena faktor lain, seperti pada saat makan bawang merah.” (Abu Bakri Syatha, I’anah at-Thalibin, [Dar al-Fikri li at-Tauzi’ wa an-Nasyr, 1997 M), jilid. 1, halaman. 9)


Dari paparan Abu Bakri Syatha ini, dapat kita tarik kesimpulan bahwa hukum membaca basmalah tergantung kepada hukum perbuatan atau urusan yang akan kita lakukan dalam syariat. Apabila kita melakukan perbuatan yang wajib pada asalnya maka, hukumnya menjadi wajib. Dan jika kita mau melaksanakan perkara yang pada dasarnya diharamkan karena zatnya, maka mengawali perbuatan itu dengan basmalah juga haram. Dan  begitu seterusnya sesuai dengan hukum masing-masing pekerjaan.


Hukum Makan Babi 

Babi merupakan salah satu hewan yang diharamkan untuk dikonsumsi oleh umat Islam. Bahkan keharaman memakan babi di dalam hukum Islam sudah mencapai tingkatan ijma’ (konsensus) para ulama. Pendapat ini berdasarkan kepada firman Allah Swt yang menyebutkan secara tegas tentang keharaman mengonsumsi babi. Allah Swt berfirman:


إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ


Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” (QS. Al-Baqarah [2]: 173).


Namun, perlu diketahui bahwa ulama berbeda pendapat dalam bagian organ babi yang diharamkan di dalam ayat ini. Dalam hal ini, para ulama terbagi kepada dua pandangan. Kalangan Daud az-Zahiri memahami ayat ini secara tekstual. Menurut mereka yang diharamkan hanyalah bagian daging babi, bukan bagian kulit dan organ yang lain. 


Sedangkan menurut jumhur ulama ayat ini mencakup semua bagian organ tubuh dari babi. Sehingga yang diharamkan itu bukan hanya bagian daging, namun juga meliputi bagian organ lain, seperti kulit dan lainnya.


Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh al-Mawardi sebagai berikut:


وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ فِيهِ قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا التَّحْرِيمُ مَقْصُورٌ عَلَى لَحْمِهِ دُونَ غَيْرِهِ اِقْتِصَاراً عَلَى النَّصِّ ، وَهَذَا قَوْلُ دَاوُدَ بْنِ عَلِيٍّ وَالثَّانِيُّ أَنَّ التَّحْرِيمَ عَامٌّ فِي جُمْلَةِ الْخِنْزِيرِ وَالنَّصُّ عَلَى اللَّحْمِ تَنْبِيهٌ عَلَى جَمِيعِهِ لِأَنَّهُ مُعْظَمُهُ ، وَهَذَا قَوْلُ الْجُمْهُورِ 


Artinya: “Ada dua pendapat dalam memahami ayat ‘wa lahmal khinzir’ (dan daging babi). Pertama, keharamannya hanya sebatas daging babi, bukan yang lainnya sesuai bunyi nash. Ini adalah pendapat Dawud bin Ali. Kedua, keharamannya itu umum mencakup semua organ tubuh babi. Sedangkan nash yang hanya menyebutkan sebatas dagingnya itu dimaksudkan untuk mengingatkan keseluruhan bagian organnya karena sebagian besar organ tubuh babi adalah dagingnya,” (Al-Mawardi, An-Nukat wal ‘Uyun, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1431 H], jilid. I, halaman, 222).


Kesimpulan 

Berdasarkan ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum makan babi dengan basmalah adalah haram dan termasuk perilaku maksiat. Karena makan babi termasuk perkara yang diharamkan, baik itu daging atau organ tubuh lainnya menurut jumhur ulama. Dan ini adalah pendapat yang lebih kuat. Apalagi jika maksud dan tujuan seseorang melakukan hal itu dalam rangka memperolok dan memainkan agama, tentu hal ini sangat dikecam di dalam Islam.


Dengan kemajuan teknologi saat ini terutama media sosial, kita dituntut lebih arif dan bijak dalam menggunakan media sosial. Hal ini bertujuan agar sikap dan perilaku kita di media sosial tidak membuat orang lain resah dan memicu kemarahan pihak-pihak tertentu.  Wallahua'lam


Ustadz Abdul Kamil, Pegiat kajian tafsir dan hadits, tinggal di Jakarta