Belakangan ini, jagat media sosial diramaikan oleh tren S Line, sebuah istilah yang berasal dari drama Korea terbaru berjudul "S Line", yang bisa disaksikan melalui platform Vidio dan lain sebagainya. Drama bergenre thriller-fantasi ini mengusung premis yang unik dan cukup provokatif: munculnya garis merah (S Line) di atas kepala seseorang yang mengindikasikan jumlah hubungan seksual yang pernah mereka lakukan. Dalam cerita tersebut, hanya tokoh utama laki-laki yang dapat melihat garis ini.
Meskipun S Line dalam drama tersebut adalah fiksi belaka dan dimaksudkan sebagai metafora dalam konteks cerita, konsepnya dengan cepat ditransformasikan menjadi tren nyata di media sosial. Pengguna TikTok, Instagram, dan media sosial lainnya mulai mengedit foto atau video mereka dengan menambahkan red line di atas kepala, seolah ingin memvisualisasikan atau bahkan mengakui "pengalaman seksual" mereka secara terbuka.
Banyak pengguna media sosial ikut-ikutan memamerkan S Line-nya, entah dengan tujuan iseng, pengakuan jujur, atau bahkan mencari validasi sosial. Tak sedikit pula yang merasa tren ini melewati batas, karena menormalisasi pengumbaran aib pribadi di ruang publik.
Baca Juga
Doa ketika Sulit Tinggalkan Maksiat
Tren ini memperlihatkan bagaimana budaya pop bisa memengaruhi batas etika digital, terutama ketika bersinggungan dengan hal-hal yang seharusnya bersifat privat. Dalam waktu singkat, fenomena ini menjadi semacam “ajang pengakuan dosa digital”, di mana batas antara ekspresi diri dan pelanggaran etika menjadi semakin kabur.
Dari perspektif syariat Islam, tren semacam ini tentu perlu ditinjau secara kritis. Dalam Islam, konsep hifzhul ‘irdh (menjaga kehormatan dan harga diri) adalah salah satu tujuan pokok syariat (maqashidusy syari'ah). Islam memberikan perhatian besar terhadap upaya menjaga kehormatan pribadi dan mencegah segala bentuk tindakan yang bisa merusaknya, baik dari pihak luar maupun dari diri sendiri.
Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Nabi SAW bersabda:
مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya, "Barang siapa menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allah akan menutupi (aib)nya di hari kiamat," (HR Al-Bukhari).
Hadits ini mengisyaratkan betapa pentingnya menjaga rahasia dan aib, baik milik sendiri maupun orang lain, sebagai bentuk perlindungan terhadap martabat kemanusiaan. Lebih jauh lagi, dalam riwayat Imam Al-Hakim disebutkan:
اجْتَنِبُوا هَذِهِ الْقَاذُورَاتِ الَّتِي نَهَى اللَّهُ عَنْهَا، فَمَنْ أَلَمَّ بِهَا فَلْيَسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ، وَلْيَتُبْ إِلَى اللَّهِ، فَإِنَّهُ مَنْ يُبْدِ لَنَا صَفْحَتَهُ نُقِمْ عَلَيْهِ كِتَابَ اللَّهِ
Artinya, "Jauhilah perbuatan-perbuatan keji yang dilarang oleh Allah. Siapa pun yang terjerumus ke dalamnya, hendaklah ia berlindung di balik tirai Allah dan bertaubat kepada-Nya. Sebab, siapa saja yang menampakkan (perbuatannya) kepada kami, niscaya akan kami berlakukan padanya hukum Allah," (HR Al-Hakim).
Pesan dari hadits ini sangat jelas: bukan hanya aib orang lain yang perlu dijaga, melainkan juga aib pribadi. Tidak ada keutamaan dalam membuka-buka dosa di hadapan publik, apalagi menjadikannya konten viral. Dua hadits di atas menjadi dalil bagi para ulama dalam merumuskan hukum kewajiban melindung harga diri dan kehormatan manusia, baik diri sendiri ataupun orang lain. Hal ini sebagaimana keterangan berikut:
وَمِنَ الْمُقَرَّرِ شَرْعًا: أَنَّ السَّتْرَ عَلَى الْمُسْلِمِ وَاجِبٌ لِمَنْ لَيْسَ مَعْرُوفًا بِالأَْذَى وَالْفَسَادِ.- الى ان قال - وَالسَّتْرُ وَاجِبٌ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي خَاصَّةِ نَفْسِهِ إِذَا أَتَى فَاحِشَةً
Artinya: “Telah menjadi ketetapan dalam syariat bahwa menutupi (aib) seorang Muslim adalah wajib, selama ia bukan orang yang dikenal suka menyakiti (orang lain) dan berbuat kerusakan. ... Dan menutupi (aib) juga wajib atas seorang Muslim terhadap dirinya sendiri jika ia melakukan perbuatan keji (fahisyah),” (Wizaratul Awqaf, Mausuatul Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, juz XII, halaman 42-43).
Setelah diketahui bahwa syariat memerintahkan para pemeluknya untuk menjaga harga diri dan kehormatan manusia, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, sebagaimana yang tergambar dalam sabda Nabi SAW di atas, maka syariat juga menegaskan bahwa mengumbar aib pribadi di hadapan khalayak umum adalah perbuatan yang tidak dibenarkan. Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari dalam kitabnya menyatakan:
أَمَّا التَّحَدُّثُ بِهَا تَفَكُّهًا أَوْ مُجَاهَرَةً فَحَرَامٌ قَطْعًا لِلْأَخْبَارِ الصَّحِيحَةِ فِيهِ
Artinya: “Adapun membicarakan aib pribadi (perbuatan asusila) untuk bersenda-gurau atau secara terang-terangan, maka hukumnya haram secara pasti, berdasarkan hadis-hadis shahih dalam hal ini,” (Asnal Mathalib, [Dar al-Kutub al-Islami, tanpa tahun], juz IV, hlm. 131).
Syekh Abdur Rahman Al-Jazairi menjelaskan bahwa larangan mengumbar aib pribadi kepada khalayak umum tidak lain karena hal itu mengandung unsur yang mencederai harga diri dan merendahkan kehormatan diri sendiri. Lebih dari itu, tindakan semacam ini menunjukkan kesombongan dalam berbuat maksiat kepada Allah dan merupakan bentuk penyiaran dosa yang dapat mendorong orang lain untuk menirunya.
Ibarat orang yang sedang mengidap penyakit menular lalu berbaur dengan orang-orang sehat, niscaya penyakit itu akan menyebar dan membahayakan orang lain, (Al-Fiqhu ‘ala Madzahibil Arba’ah, [Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003], juz V halaman 118)
Syekh Ibnu Allah dalam kitabnya menyebutkan sebuah riwayat, bahwa suatu ketika Sayyidah Aisyah ra didatangi oleh seorang wanita yang mengadukan perbuatan maksiat yang telah dilakukannya. Namun, Aisyah ra segera mencegahnya dan berkata:
"Wahai wanita mukmin, jika di antara kalian melakukan dosa, maka janganlah kalian ceritakan kepada manusia. Mohonlah ampun kepada Allah dan bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya manusia hanya akan mencela kalian dan tidak mampu mengubah keadaan (mengampuni dosa), sedangkan Allah bisa mengubahnya (mengampuninya) tanpa mencela kalian." (Al-Futuhatur Rabbaniyah, [Kairo: Perhimpunan Penerbitan dan Penulisan Al-Azhar, t.t.], juz VII, hlm. 117).
Bahkan, Nabi SAW secara tegas mengancam mereka yang secara terang-terangan memamerkan dosa. Dalam sabdanya:
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافَاةٌ إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ
Artinya: “Setiap umatku akan diampuni, kecuali mereka yang memamerkan (kemaksiatannya),” (HR Muslim).
Berangkat dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa tren “s-line” yang beredar dengan cara mengedit foto atau video menggunakan garis merah di atas kepala untuk menyatakan pernah melakukan dosa tertentu merupakan bentuk penyiaran aib yang semestinya tidak perlu dilakukan. Meskipun tren ini dikemas dalam narasi pengakuan dan kejujuran, ia justru mengandung mudarat, baik dari sudut pandang agama maupun kacamata sosial.
Menjaga aib, memohon ampunan, dan kembali kepada Allah secara diam-diam adalah sikap yang lebih mulia di sisi-Nya. Karena Allah mencintai hamba yang menyesali dosa dengan sembunyi, bukan yang membanggakannya di depan manusia. Wallahu a'lam.
Ustadz M. Minanur Rohman, Pegiat Literasi Mahad Aly Faidhu Dzil jalal Ngangkrur Grobogan Jawa Tengah.