Mengapa Shalat Tidak Mencegah Maksiat? Ini Pandangan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani
Rabu, 28 Agustus 2024 | 10:00 WIB
M. Tatam Wijaya
Kolomnis
Shalat sebagai salah satu rukun Islam tidak hanya terdiri dari rangkaian gerakan fisik dan bacaan, tetapi juga mencakup dimensi spiritual yang mendalam. Allah SWT menyatakan bahwa shalat memiliki kemampuan untuk mencegah perbuatan keji dan munkar, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran Surah Al-‘Ankabut ayat 45:
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ
wa aqimish-shalâh, innash-shalâta tan-hâ ‘anil-faḫsyâ'i wal-mungkar,
Baca Juga
Ini Doa Shalat Tahajud Rasulullah SAW
Artinya, “Tegakkanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al-An’kabut [29]: 45).
Pertanyaannya, mengapa masih banyak orang yang sudah shalat tetapi belum mampu meninggalkan perbuatan keji dan munkar? Lantas di manakah letak kesalahannya. Apakah pada orang yang menunaikannya ataukah pada pelaksanaannya? Yang jelas, tidak mungkin kesalahan terletak pada shalat, apalagi pada ayatnya.
Mari kita perhatikan kembali shalat kita. Sudahkan shalat kita sesuai dengan tuntunan syariat? Sudahkan kita menunaikannya dengan segenap kekuatan lahir dan batin kita? Sudahkah kita memenuhi aspek-aspeknya? Mengapa shalat kita belum mampu menghalangi perbuatan keji dan munkar?
Baca Juga
Tata Cara Melaksanakan Shalat Jenazah
Dalam kaitan ini, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengajak kita untuk memerhatikan aspek eksoteris dan esoteris, atau dimensi lahiriah dan batiniah shalat kita. Aspek eksoteris shalat diistilahkan oleh Syekh Abdul Qadir sebagai “shalat syariat,” di mana shalat ini terdiri dari serangkaian ucapan dan perbuatan seperti bacaan fatihah, tahyiyyat, berdiri, rukuk, sujud, dan lain sebagainya. (Sirrul Asrar, [Damaskus: Maktabah al-Jailani, 1993], halaman 104).
Sementara aspek esoteris atau dimensi batiniah shalat diistilahkan oleh Syekh Abdul Qadir dengan “shalat tarekat” atau “shalat qalbu”. Dalam pengertian ini, shalat tidak terbatas pada waktu tertentu dan berlangsung terus-menerus, berbeda dengan “shalat syariat” yang dilakukan lima kali sehari semalam pada waktu-waktu tertentu. Aspek esoteris shalat tidak bisa dipisahkan dari perintah Al-Quran sendiri, yaitu:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُوْمُوْا لِلّٰهِ قٰنِتِيْنَ
Baca Juga
Tata Cara dan Doa Shalat Istikharah
ḫâfidhû ‘alash-shalawâti wash-shalâtil-wusthâ wa qûmû lillâhi qânitîn
Artinya, “Peliharalah semua shalat (fardhu) dan shalat wusṭha. Berdirilah karena Allah (dalam shalat) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah [2]: 238).
Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, shalat wustha juga dikenal sebagai “shalat qalbu,” karena posisi hati yang terletak di tengah-tengah tubuh, di antara kiri dan kanan, atas dan bawah, serta antara kesedihan dan kebahagiaan. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah:
إِنَّ قُلُوبَ بَنِي آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ، كَقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ
Artinya, “Sesungguhnya seluruh hati anak cucu Adam berada di antara dua jari Allah Yang Maha Pengasih. Sehingga hati-hati tersebut seperti satu kalbu yang digerakkan sesuai dengan kehendak-Nya,” (HR. Muslim).
Dari hadits di atas, dapat dipahami bahwa asal mula shalat adalah "shalat qalbu" atau shalat yang diiringi dengan kesadaran hati. Sedangkan "shalat syariat" yang melibatkan gerakan tubuh mengikuti kehendak shalat qalbu.
Seperti halnya shalat syariat, shalat qalbu juga memiliki keadaan yang membatalkannya, yaitu ketika hati menjadi lupa dan lalai dalam menjalankan shalatnya. Mengingat pentingnya shalat qalbu ini, Rasulullah mengingatkan kita dengan sabdanya:
لَا صَلَاةَ إِلَّا بِحُضُورِ الْقَلْبِ
Artinya, “Tidak ada shalat tanpa kehadiran hati.” (HR Ibnu Hibban)
Keterangan di atas menegaskan bahwa shalat qalbu seorang hamba tidak sah kecuali jika disertai kekhusyukan. Demikian pula, shalat syariat tidak akan memiliki dampak yang diharapkan kecuali jika dipimpin oleh hati yang khusyuk. Pada dasarnya, shalat adalah bentuk munajat seorang hamba kepada Tuhannya, sekaligus menjadi sarana bagi hati untuk terhubung dengan Allah.
Jika hatinya lalai, maka anggota tubuhnya pun tidak akan khusyuk. Sebab, pada dasarnya, gerakan dan aktivitas anggota tubuh adalah cerminan dari kondisi hati. Hati berperan sebagai pemimpin, sementara anggota tubuh lainnya mengikuti arahannya. Sebagaimana sabda Rasulullah dalam hadits lainnya:
أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ, وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ
Artinya, “Ingatlah sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh jasad, namun apabila segumpal daging itu rusak maka rusak pula seluruh jasad. Perhatikanlah, bahwa segumpal daging itu adalah hati!” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Selanjutnya, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani menjelaskan bahwa dari aspek eksoteris, shalat syariat merupakan serangkaian ucapan dan gerakan yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.
Shalat ini dilaksanakan sebanyak lima kali dalam sehari. Disunnahkan untuk dilakukan secara berjamaah di masjid dengan menghadap kiblat, serta dilaksanakan tanpa disertai perasaan riya dan sum’ah.
Di sisi lain, dari aspek esoteris, shalat dilakukan dengan kehadiran hati yang penuh dan khusyuk. Shalat ini tidak hanya terbatas pada pelaksanaan shalat syariat, tetapi berlangsung terus-menerus, baik di dalam maupun di luar waktu shalat syariat. Shalat ini juga menjadi sarana untuk menghubungkan hamba dengan Tuhannya.
Kehadiran hati yang senantiasa sadar ini merupakan bentuk pelaksanaan perintah dzikir kepada Allah, yang dilakukan tanpa terikat waktu dan keadaan, baik ketika berdiri, duduk, maupun berbaring, sebagaimana disebutkan dalam ayat:
ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ
alladzîna yadzkurûnallâha qiyâmaw wa qu‘ûdaw wa ‘alâ junûbihim
Artinya, “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring,” QS. Ali Imran [3]: 191).
Layaknya shalat syariat, shalat qalbu dilakukan sepanjang hayat, masjidnya adalah hati, berjamaahnya berupa terkumpulnya kekuatan dan lisan batin untuk sibuk mengucap kalimat tauhid, imamnya adalah kerinduan hati pada Allah, kiblatnya adalah hadirat keesaan Allah dan keindahan-Nya.
Hati bersama-sama ruh sibuk untuk menunaikan shalat yang langgeng ini, sehingga tidak ada kesempatan bagi hati untuk lalai, kotor, tidur, apalagi mati. Baik dalam keadaan terjaga maupun tidur, hati kita hidup dan sibuk berhubungan dengan Allah. Di sini seorang hamba benar-benar menjalankan ayat:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
iyyâka na‘budu wa iyyâka nasta‘în
Artinya, “Hanya kepada Engkau kami beribadah dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah [1]: 5).
Menurut Al-Baidhawi sebagaimana dikutip oleh Syekh Abdul Qadir, ayat ini memberikan petunjuk bagi orang yang memiliki makrifat untuk beralih dari keadaan gaib menuju keadaan hadir, dari kelalaian menuju dzikir. Hati mereka senantiasa sibuk dengan Allah dan selalu bermunajat kepada-Nya.
Ketika shalat syariat dan shalat tarekat yang melibatkan aspek lahiriah dan batiniah menyatu, maka tercapailah kesempurnaan shalat. Dalam keadaan ini, timbul pula kekuatan untuk menghindari perbuatan keji dan munkar. Wallahu a'lam.
Ustadz M. Tatam Wijaya, Penyuluh dan Petugas KUA Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat
Terpopuler
1
Ustadz Maulana di PBNU: Saya Terharu dan Berasa Pulang ke Rumah
2
Kick Off Harlah Ke-102 NU Digelar di Surabaya
3
Pelantikan JATMAN 2025-2030 Digelar di Jakarta, Sehari Sebelum Puncak Harlah Ke-102 NU
4
Khutbah Jumat: Mari Menanam Amal di Bulan Rajab
5
Respons Gus Yahya soal Wacana Pendanaan Makan Bergizi Gratis Melalui Zakat
6
Puluhan Alumni Ma’had Aly Lolos Seleksi CPNS 2024
Terkini
Lihat Semua