Syariah

Sedekah Maulid saat Utang Belum Terbayar: Bagaimana Hukumnya?

Sabtu, 21 September 2024 | 21:00 WIB

Sedekah Maulid saat Utang Belum Terbayar: Bagaimana Hukumnya?

Ilustrasi utang. Sumber: Canva/NU Online

Perayaan Maulid Nabi Muhammad saw telah menjadi tradisi bagi sebagian besar umat Islam di Indonesia. Beragam cara khas dan unik diperlihatkan sesuai dengan kearifan lokal di daerah masing-masing.


Biaya yang dikeluarkan pun bervariasi, tergantung pada jumlah tamu undangan, jenis jamuan yang disajikan, dan bingkisan yang diberikan. Bagi individu yang mengadakan maulid di rumahnya, nominal yang dikeluarkan pun bervariasi, mulai dari ratusan ribu, bahkan hingga ratusan juta rupiah.


Bagi yang memiliki kemampuan finansial, bersedekah dengan mengeluarkan biaya untuk perayaan Maulid merupakan salah satu bentuk syukur yang diperbolehkan dalam rangka memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Jalaluddin As-Suyuthi menjelaskan:


والشكر لله تعالى يحصل بأنواع العبادات كالسجود والصيام والصدقة والتلاوة وأي نعمة أعظم من النعمة ببروز هذا النبي صلى الله عليه وسلم الذي هو نبي الرحمة في ذلك اليوم 


Artinya, “Rasa syukur kepada Allah Ta'ala dapat diwujudkan melalui berbagai bentuk ibadah, seperti sujud, puasa, sedekah, membaca Al-Qur'an, dan ibadah lainnya. Lantas, adakah nikmat yang lebih agung daripada kelahiran Nabi di hari tersebut, sedangkan dia adalah Nabi Rahmat (penuh kasih sayang)?” (Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Husnul Maqshid fi Amalil Mawlid, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyyah: tt.], halaman 63).


Dengan demikian, banyak yang rela mengeluarkan biaya besar untuk menyelenggarakan acara tersebut, baik secara pribadi maupun kolektif, sebagai bentuk penghormatan dan kebahagiaan.

 

Namun, tidak semua orang memiliki kemampuan finansial yang sama. Lalu, bagaimana dengan mereka yang memiliki utang namun tetap ingin mengeluarkan biaya untuk mengadakan acara Maulid Nabi Muhammad saw?


Jika memiliki utang dan ditagih oleh pemiliknya, maka wajib segera melunasi utang tersebut. Haram menyedekahkan uang yang semestinya untuk melunasi utang, termasuk bersedekah untuk perayaan Maulid Nabi. Dalam kitab Mughnil Muhtaj dijelaskan:


وقد وجب وفاء الدين على الفور بمطالبة او غيرها فالوجه وجوب المبادرة الى ايفائه وتحريم الصدقة بما يتوجه اليه دفعه في دينه


Artinya: “Wajib hukumnya melunasi utang secara langsung [segera, tanpa ditunda-tunda], baik karena ditagih maupun karena alasan lain. Maka tindakan yang seharusnya adalah segera memenuhi kewajiban tersebut, dan diharamkan bersedekah dengan harta yang seharusnya digunakan untuk melunasi utangnya.” (Syekh Khatib Asy-Syarbini, Mughnil Muhtaj, [Lebanon: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1971], jilid III, halaman 149). 


Berdasarkan penjelasan di atas, haram hukumnya mengeluarkan biaya untuk acara Maulid Nabi jika tindakan tersebut menyebabkan seseorang tidak mampu membayar utangnya, atau jika tidak ada kepastian bahwa dia akan mampu melunasi utangnya di masa mendatang karena uangnya terlanjur habis untuk bersedekah. Dalam Hawasyi Asy-Syarwani wa Ibni Qasim Al-‘Abbadi dikemukakan:


الأصح تحريم صدقته بما يحتاج إليه النفقة من تلزمه نفقته أو لدين لا يرجو له وفاء


Artinya, “Pendapat yang lebih kuat adalah haram hukumnya bersedekah dengan harta yang dibutuhkan untuk menafkahi orang-orang yang menjadi tanggungannya atau untuk melunasi utang yang tidak ada harapan bisa dilunasi.”. (Asy-Syarwani dan Ibni Qasim Al-‘Abbadi, Hawasyi Asy-Syarwani wa Ibni Qasim Al-‘Abbadi, [Lebanon, Darul Fikr: 2019], jilid VII, halaman 214).


Keterangan yang dipaparkan oleh asy-Syarwani dan Ibni Qasim di atas sejalan dengan hadits Nabi Muhammad mengenai larangan sedekah ketika ada kebutuhan dan kewajiban yang harus dipenuhi. Rasulullah saw bersabda:


لَا صَدَقَةَ إِلَّا عَنْ ظَهْرِ غِنًى وَمَنْ تَصَدَّقَ وَهُوَ مُحْتَاجٌ أَوْ أَهْلُهُ مُحْتَاجٌ أَوْ عَلَيْهِ دَيْنٌ فَالدَّيْنُ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى مِنْ الصَّدَقَةِ وَالْعِتْقِ وَالْهِبَةِ وَهُوَ رَدٌّ عَلَيْهِ


Artinya, “Tidak dianjurkan sedekah kecuali dalam kondisi tercukupi. Barangsiapa yang bersedekah, sedangkan dia dalam keadaan membutuhkan atau keluarganya membutuhkan atau ia memiliki tanggungan hutang, maka hutang lebih berhak untuk dibayar daripada ia bersedekah, memerdekakan budak, dan hibah. Dan sedekah ini tertolak baginya” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


Tentu saja, alasan pengharaman sedekah tidak sembarang dikeluarkan oleh Rasulullah. Sedekah diharamkan dalam kondisi tersebut karena membayar utang hukumnya wajib dan tidak boleh ditinggalkan untuk sesuatu yang sunnah. (Asy-Syarwani dan Ibni Qasim Al-‘Abbadi, Hawasyi Asy-Syarwani wa Ibni Qasim Al-‘Abbadi, jilid VII, halaman 214).


Sejalan dengan argumen yang telah dipaparkan di atas, Syekh Khatib Asy-Syarbini menjelaskan:


اما تقديم الدين فلأن أداءه واجب فيتقدم على المسنون 


Artinya, “Adapun mendahulukan pelunasan utang, hal itu dikarenakan membayar utang adalah kewajiban yang harus didahulukan daripada amalan sunnah.” (Mughnil Muhtaj, jilid III, halaman 149). 


Landasan hukum terkait ketidakbolehan bersedekah dalam kondisi memiliki utang yang wajib dibayar diperkuat dengan kaidah:


قضاء الدين واجب فهو مقدم على الصدقة المندوبة


Artinya, "Melunasi utang itu wajib, maka harus didahulukan dari sedekah sunnah." ('Ali bin Sulthan Muhammad al-Qari, Mirqatul Mafatih, [Lebanon: Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1971], jilid VI, halaman 282).


Oleh karena itu, seseorang harus memprioritaskan membayar utang yang hukumnya wajib daripada mengalokasikan dana untuk perayaan Maulid Nabi yang tergolong sebagai sedekah sunnah.


Dengan demikian, jika memiliki utang dan ditagih oleh pemiliknya, maka utang tersebut harus segera dilunasi, dan tidak boleh menggunakan uang tersebut untuk perayaan Maulid Nabi. Demikian pula, jika dana digunakan untuk acara tersebut sehingga tidak ada harapan untuk melunasi utang, maka tidak diperbolehkan. Wallahu a'lam

 


Ustadz Muqoffi, Guru Pon-Pes Gedangan & Dosen IAI NATA Sampang Madura