Syariah

Pelunasan Utang saat Inflasi Tinggi

Selasa, 27 Agustus 2024 | 09:00 WIB

Pelunasan Utang saat Inflasi Tinggi

Pelunasan Utang saat Inflasi Tinggi (NU ONLINE).

Prinsip utang adalah mengembalikan dengan nilai yang sama. Masalahnya bagaimana dengan penyelesaian utang-piutang yang sudah terjadi bertahun-tahun dan telah terjadi inflasi yang sangat tinggi?
 

Contohnya orang utang 1 juta rupiah pada tahun 1990 dan baru akan dibayar pada tahun 2024, yang mana harga emas pada tahun 1990 sebesar Rp 20.000/gram sementaar pada tahun 2024 sudah meningkat menjadi di atas 1 juta rupiah tiap gram.
 

Berkaitan permasalah seperti ini Syaikh 'Athiyyah Shaqr dalam kitabnya Mausu'atu Ahsanil Kalam fil Fatawa wa al-Ahkam menjelaskan: 
 

س : يحدث كثيرا أن يقترض إنسان مبلغا من المال يرده بعد مدة من الزمن ، فتتغير القوة الشرائية لهذا المبلغ بارتفاع أسعار الأشياء وانخفاضها ؟ فهل يلزم المقترض برد هذا المبلغ ، أو برد أكثر منه أو أقل مراعاة لقيمته ؟ 
 

Artinya, “Pertanyaan: banyak sekali terjadi seseorang berutang sejumlah uang dan mengembalikannya setelah sekian lama sehingga daya beli uang tersebut telah berubah. Apakah bagi pengutang (debitur) wajib membayar sejumlah yang sama atau disesuaikan dengan nilai uang tersebut mengikuti daya belinya?” 
 

Syaikh 'Athiyyah menjawab bahwa dalam hal ini ada tiga pendapat, yaitu:
 

الرأي الأول : أن المعول عليه المثل عند الاقتراض فالمائة ترد مائة ، وهذا هو الرأي المشهور عند المالكية والمشهور عند الشافعية ، ورأى في مذهب الحنفية والمذهب الحنبلي يقول السيوطي) : وقد تقرر أن القرض الصحيح يرد فيه المثل مطلقا . فإذا اقترض منه رطل فلوس فالواجب رد رطل من ذلك الجنس ، سواء زادت قيمته أم نقصت . ومثل ذلك جاء في كلام ابن رشد في النوازل ، والحطاب على قول خليل ، والكاساني في البدائع ، والبهوتي في كشاف القناع . وذلك لأن التغير ليس ناشئا من ذات النقد ، بل من فتور رغبات الناس .
 

Artinya, "Pertama, mengacu pada jumlah yang sama saat berutang, seperti mengembalikan 100 jika memang berutang sejumlah 100. Ini adalah pendapat masyhur dalam mazhab Maliki dan Syafi'i, serta menjadi satu pendapat dalam mazhab Hanafi dan Hanbali. 
 

Imam As-Suyuthi dalam kitab Al-Hawi lil Fatawa berkata: 'Telah tetap hukum bahwa utang yang sah dikembalikan dengan yang sama secara mutlak. Ketika seseorang berutang satu rithl fulus, maka ia wajib mengembalikan satu rithl fulus dari jenis yang sama baik nilainya naik ataupun turun'. 
 

Serupa dengan pendapat As-Suyuthi di atas adalah pendapat Ibnu Rusyd dalam kitab An-Nawazil, Al-Hatthab di kitab Syarh Mukhtashar Khalil, Al-Kasani dalam kitab Al-Badai', dan Al-Buhuti dalam Kasyyaful Qina'.
 

Alasannya adalah perubahan nilai tersebut bukan karena dzatiah uangnya, namun karena lemahnya selera masyarakat."
 

والرأي الثاني : أن المعول عليه هو القيمة عند السداد ، وهو قول أبي يوسف ، ورجحه متأخر و الحنفية ، ورأى في المذهب الشافعي ، وفي المذهب المالكي ، وقوى ذلك ابن تيمية ، معتمدا على أن تغير السعر أو القيمة يعتبر في حد ذاته عيبا ، فلا يرد المثل بل القيمة عند ثبوت الدين
 

Artinya, “Kedua, mengacu pada nilai dari uang tersebut saat pembayaran. Ini adalah pendapat Abu Yusuf yang ditarjih oleh ulama muta'akhkhir mazhab Hanafi, satu pendapat dalam mazhab Syafi'i dan Maliki, serta dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah.
 

Alasannya adalah perubahan nilai (daya beli) merupakan 'aib yang terjadi pada uang itu sendiri sehingga yang dikembalikan bukan jumlah yang sama, akan tetapi sesuai nilai pada saat utang tersebut tetap."
 

والرأي الثالث: يقول : إن كان الفرق قليلا ردت القيمة عند الاقتراض ، وإن كان كبيرا ردت القيمة عند السداد ، وقال به بعض المالكية ، وعند بعض الشافعية قريب منه
 

Artinya, "Ketiga, jika perbedaan nilainya kecil, maka dikembalikan sejumlah yang sama saat utang. Namun jika perbedaannya besar, maka dikembalikan sesuai nilainya saat pembayaran. Ini adalah pendapat sebagian ulama mazhab Maliki dan Syafi'i."
 

Menurut Syaikh 'Athiyyah pendapat pertama memberatkan pemberi utang (kreditur) jika daya beli uang sangat turun, karena menerima sejumlah nominal uang yang sama padahal nilainya sangat jauh berbeda. Sebaliknya pendapat kedua memberatkan pengutang (debitur) ketika harus membayar dengan nominal yang jauh lebih besar dari yang diutangnya, karena disesuaikan dengan nilainya. 
 

Menurut Syaikh 'Athiyyah kedua pendapat tersebut juga merupakan masalah ijtihadiyah yang tidak memiliki nash pasti sehingga masing-masing memiliki kelemahan dan sanggahan. Karena itu, beliau mengusulkan jalan tengah sebagai berikut:
 

وقد يكون الاتفاق على كيفية السداد هو الأسلم والأبعد عن التنازع والغبن وإن كان فيه غَرَرٌ ما ، وذلك من باب ارتكاب أخف الضررين. فكثير من المعاملات المالية لا يخلو من غرر ، ولكن يتسامح فيه عند تحقق مصلحة أكبر ، والدين يسر.
 

Artinya, "Terkadang adanya kesepakatan antara kedua belah pihak (kreditur dan debitur) terkait cara pelunasan utang adalah cara yang paling selamat dan menjauhkan dari perselisihan dan kerugian, meskipun di dalamnya terdapat ketidakpastian (gharar).
 

Hal ini masuk kategori mengambil risiko paling ringat, yang mana banyak sekali dalam transaksi keuangan terjadi gharar namun ditolelir karena untuk merealisasikan kemaslahatan yang lebih besar dan agama itu prinsipnya adalah kemudahan." ([Kairo, Maktabah Wahbah: 2011], jilid V, halaman 72-73).
 

Kesimpulannya, mengacu pada solusi terakhir dari Syaikh 'Athiyyah adalah kedua belah pihak menyepakati cara penyelesaian utang-piutangnya.
 

Kembali pada contoh kasus di atas, utang 1 juta rupiah dengan harga emas Rp 20.000/gram pada tahun 1990 adalah senilai 50 gram emas, atau setara dengan 65 juta rupiah dengan mengacu harga emas 1,3 juta rupiah pada Agustus 2024. Namun keduanya bisa menyepakati untuk dikurskan menjadi senilai 20 gram emas saja misalnya, sehingga
utang dilunasi dengan pembayaran sebesar 26 juta rupiah. Wallahu a'lam.


Ustadz Abdul Wahid Al-Faizin, Dosen Manajemen Bisnis Syariah STAI Sidogiri