Tafsir Al-Baqarah 178: Diyat sebagai Solusi Keadilan Restoratif dalam Hukum Islam
Senin, 11 Agustus 2025 | 15:00 WIB
Di tengah padang pasir yang panas dan ego yang membara, orang Arab pra-Islam punya hukum sendiri: darah dibayar darah. Tapi “dibayar” di sini bukan hitung-hitungan akurat. Satu nyawa bisa dibalas dua, tiga, bahkan nyawa orang tak bersalah ikut terseret. Balas dendam seperti rantai besi yang semakin mengikat, membuat luka semakin dalam, dan perdamaian terasa seperti fatamorgana.
Lalu, Al-Qur’an turun dengan bahasa yang tegas sekaligus lembut. Dalam Surat Al-Baqarah ayat 178, Allah menetapkan qishash sebagai hukum, nyawa dibalas nyawa, namun Ia juga membuka pintu lain: diyat (tebusan) atau memaafkan sama sekali. Dan di antara semua pilihan itu, memaafkanlah yang oleh Al-Qur’an disebut lebih dekat kepada takwa.
Allah berfirman:
فَمَنْ عُفِيَ لَهٗ مِنْ اَخِيْهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ ۢ بِالْمَعْرُوْفِ وَاَدَاۤءٌ اِلَيْهِ بِاِحْسَانٍۗ ذٰلِكَ تَخْفِيْفٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌۗ فَمَنِ اعْتَدٰى بَعْدَ ذٰلِكَ فَلَهٗ عَذَابٌ اَلِيْمٌ ١٧٨
Artinya; "Siapa yang memperoleh maaf dari saudaranya hendaklah mengikutinya dengan cara yang patut dan hendaklah menunaikan kepadanya dengan cara yang baik. Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Siapa yang melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih."
Profesor Quraish Shihab, dalam Tafsir Al-Misbah mengatakan ayat ini turun untuk menata kembali rasa keadilan dan kasih sayang di tengah masyarakat yang pada masa itu mudah terbawa dendam. Di sebagian kabilah Arab, pembunuhan sering dibalas berlipat ganda, satu nyawa dibalas dengan dua atau lebih, atau bahkan dengan membunuh orang yang tak bersalah.
Dalam keadaan seperti itu, Allah menurunkan aturan yang adil, namun tetap memberi ruang bagi kasih sayang: qisas ditegakkan, tetapi pintu pemaafan tetap dibuka (Profesor Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, [Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2002], Jilid I, hlm. 393).
Pun, ayat ini menjelaskan dalam kasus pembunuhan, keluarga korban berhak memilih: menuntut pelaku dengan hukuman qisas atau memaafkannya. Bila mereka memilih memaafkan, hukuman itu dapat diganti dengan diyat, sejumlah harta yang dibayarkan oleh pelaku atau keluarganya. Islam membenarkan pilihan itu.
Pemaafan bukanlah sesuatu yang harus dipaksakan, karena maaf yang lahir dari paksaan sering kali justru menumbuhkan kebencian baru. Tetapi, jika maaf diberikan dengan kerelaan hati, demi kemanusiaan atau demi kemaslahatan yang lebih besar, itu adalah sikap yang sangat terpuji dan sejalan dengan semangat kasih sayang yang diajarkan agama.
Allah lalu mengajarkan etika bagi kedua pihak. Keluarga korban yang memberi maaf hendaknya menuntut tebusan dengan cara yang baik, tidak melampaui batas, dan tidak mempersulit pelaku. Sebaliknya, pihak pelaku yang wajib membayar diat hendaknya melakukannya dengan penuh tanggung jawab, membayar tepat waktu, sesuai jumlah yang disepakati, tanpa pengurangan atau penundaan yang tidak beralasan. Inilah cara agar perdamaian yang diinginkan benar-benar terwujud, dan hubungan antarmanusia tetap terjaga (Tafsir Al-Misbah, Jilid I, hlm. 393).
Ketentuan ini adalah bentuk keringanan dan rahmat dari Allah. Dengan itu, dendam yang berlarut dapat dicegah, dan mata rantai pembunuhan balas dendam dapat terputus. Syariat memberi ruang yang manusiawi, bukan sekadar memutuskan perkara, tetapi juga memelihara hati.
Namun, siapa pun yang melanggar ketentuan ini, baik dengan kembali menganiaya pelaku yang telah dimaafkan, maupun dengan mengingkari pembayaran yang telah disepakati, akan berhadapan dengan azab Allah yang pedih. Keadilan harus berjalan bersama kasih sayang, agar tak seorang pun merasa dirugikan.
Dalam Islam, kata Syekh Wahbah Zuhaili, dalam Tafsir Al-Munir, syariat memberi pilihan kepada wali korban pembunuhan untuk menentukan bentuk penyelesaian: menuntut qishash, menerima diyat (tebusan), atau memaafkan tanpa menuntut ganti rugi sedikit pun. Bahkan, dalam banyak ayat, Islam mendorong sikap memberi maaf, karena hal itu lebih dekat kepada ketakwaan.
Misalnya, dalam firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Baqarah ayat 237 menegaskan:
وَاَنْ تَعْفُوْٓا اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰى
Artinya, “Dan pemaafanmu itu lebih dekat kepada takwa.”
Begitu pula dalam ayat surat Al-Baqarah ayat 178, di atas:
فَمَنْ عُفِيَ لَهٗ مِنْ اَخِيْهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ ۢ بِالْمَعْرُوْفِ
Artinya; "Siapa yang memperoleh maaf dari saudaranya hendaklah mengikutinya dengan cara yang patut dan hendaklah menunaikan kepadanya dengan cara yang baik."
Selanjutnya, kata Syekh Wahbah, ayat ini mengingatkan kaum mukminin tentang hubungan persaudaraan yang harus dipelihara. Persaudaraan itu seharusnya mendorong mereka untuk memaafkan, menghapus rasa marah, menghilangkan dendam, dan menggantinya dengan kasih sayang di antara sesama. Dengan itu, hati menjadi lapang dan jiwa rela mengampuni kesalahan saudaranya.
Kemudian, tentang pembunuhan yang dilakukan secara sengaja, kata Syekh Wahbah para ulama berbeda pendapat. Imam Malik (dalam riwayat Asyhab), Imam asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad berpendapat bahwa wali korban berhak memilih antara qishash atau menerima diyat, meskipun pelaku pembunuhan tidak rela (Sykeh Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir, [Beirut: Darul Fikr, 1991 M], Jilid II, hlm, 114).
Dalilnya adalah hadits Abu Syuraih al-Khuza’i pada peristiwa Fathu Makkah yang diriwayatkan Ahmad, bahwa Rasulullah bersabda:
من قتل له قتيل، فله أن يقتل أو يعفوا أو يأخذ الدية
Artinya, “Barang siapa yang keluarganya dibunuh, maka ia berhak membunuh pelakunya, atau memaafkan, atau menerima diyat.”
Sementara itu, Imam Abu Hanifah dan Imam Malik dalam riwayat Ibnul Qasim (yang ini lebih masyhur darinya) berpendapat bahwa wali korban hanya memiliki hak menuntut qishash. Ia tidak boleh menuntut diyat kecuali jika pelaku rela. Menurut mereka, ayat ini berbicara tentang pemaafan dalam arti pemberian, bukan kewajiban membayar diyat.
Mereka berdalil dengan hadits Anas tentang kisah ar-Rubayyi’, ketika ia mematahkan gigi seorang perempuan. Rasulullah memutuskan qishash dan bersabda: “Qishash adalah kewajiban dari Allah.” Sejatinya, Nabi tidak memberi pilihan antara qishash dan diyat, sehingga menurut mereka, hukum asal pembunuhan sengaja adalah qishash.
Lebih jauh, Syekh Wahbah menjelaskan bahwa pelaksanaan qishas an diyat,bukanlah hak perorangan secara mutlak. Tidak boleh seorang pun mengeksekusi qishash, begitupun tanpa izin dan campur tangan penguasa atau pihak yang ditunjuk untuk menjalankan hukum. Hal ini demi menjaga keteraturan, mencegah kekacauan, dan menegakkan keadilan dengan cara yang benar sesuai syariat.
اتفق أئمة الفتوى على أنه لا يجوز لأحد أن يقتص من أحد حقه، دون السلطان، وليس للناس أن يقتص بعضهم من بعض، وإنما ذلك للسلطان أو من نصبه السلطان لذلك
Artinya, "Para imam fatwa sepakat bahwa tidak boleh bagi seseorang menuntut qishash atas haknya dari orang lain tanpa perantaraan penguasa. Manusia tidak berhak saling menuntut qishash di antara mereka, melainkan hal itu adalah kewenangan penguasa atau orang yang ditunjuk oleh penguasa untuk melakukannya," (Syekh Wahbah Zuhaili, Tafsir Al-Munir, [Beirut: Darul Fikr, 1991 M], Jilid II, hlm, 116).
Imam Abu Muhammad Al-Baghawi dalam kitab Tafsir Ma'alimut Tanzil, mengatakan ayat tentang pembunuhan sengaja, Allah tidak menutup pintu pada satu-satunya jalan: qishas. Justru, Al-Qur’an menawarkan pilihan lain, diyat (ganti rugi)—atau bahkan yang lebih luhur lagi: memaafkan tanpa imbalan apa pun. Kata yang digunakan ayat itu, “diampuni”, mengandung makna yang tak bisa diabaikan. Ia memberi isyarat bahwa keluarga korban boleh memilih untuk tidak menuntut darah dibayar dengan darah.
Yang lebih mengejutkan adalah, sapaan “saudaranya", sebuah frasa yang menampar kesadaran kita. Betapa pun ngeri peristiwa yang terjadi, pelaku pembunuhan tetap disebut “saudara” oleh Allah. Ada hubungan kemanusiaan yang tak terhapuskan oleh amarah. Ada pengakuan bahwa pelaku pun masih manusia, yang punya ruang untuk menyesal, bertobat, dan memperbaiki diri.
Jika keluarga korban, lanjut Imam Baghawi, rela menerima diyat, maka kewajiban qishash gugur. Mayoritas ulama, termasuk para sahabat dan tabi’in, berpendapat bahwa wali korban boleh menuntut diyat itu bahkan jika pelaku tidak setuju. Namun ada juga suara minoritas yang berkata: diyat hanya berlaku jika pelaku mengizinkan.
قَوْلُهُ تَعَالَى {فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ} أَيْ تُرِكَ لَهُ وَصُفِحَ عَنْهُ مِنَ الْوَاجِبِ عَلَيْهِ وَهُوَ الْقِصَاصُ فِي قَتْلِ الْعَمْدِ وَرَضِيَ بِالدِّيَةِ هَذَا قَوْلُ أَكْثَرِ الْمُفَسِّرِينَ، قَالُوا: الْعَفْوُ أَنْ يَقْبَلَ الدِّيَةَ فِي قَتْلِ الْعَمْدِ
Artinya, "Barang siapa yang diampuni oleh saudaranya sesuatu, yakni dimaafkan dan dilepaskan darinya kewajiban qishash dalam kasus pembunuhan sengaja, lalu ia ridha dengan menerima diyat. Ini adalah pendapat mayoritas ahli tafsir. Mereka mengatakan bahwa ‘afwu (memaafkan) di sini adalah menerima diyat pada kasus pembunuhan sengaja," (Imam Baghawi, Ma'alim Tanzil, [Dar Thayibah lin Nasyar wa Tauzi', 1997 M], Jilid I, hlm. 191).
Menariknya, Al-Qur’an tidak berhenti di aspek hukum. Ia masuk ke ranah etika. Dua pihak—penuntut dan pembayar—diajak untuk menjaga martabat. Keluarga korban diminta menagih diyat dengan cara yang baik, tanpa menggelembungkan jumlah. Pelaku diminta membayar dengan kesungguhan, tanpa menunda atau mempersulit. Tidak ada tempat untuk keserakahan di satu pihak dan kelicikan di pihak lain.
وَمَذْهَبُ أَكْثَرِ الْعُلَمَاءِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ أَنَّ وَلِيَّ الدَّمِ إِذَا عَفَا عَنِ الْقِصَاصِ عَلَى الدِّيَةِ فَلَهُ أَخْذُ الدِّيَةِ وَإِنْ لَمْ يَرْضَ بِهِ الْقَاتِلُ، وَقَالَ قَوْمٌ: لَا دِيَةَ لَهُ إِلَّا بِرِضَاءِ الْقَاتِلِ، وَهُوَ قَوْلُ الْحَسَنِ وَالنَّخَعِيِّ وَأَصْحَابِ الرَّأْيِ
Artinya; Pendapat mayoritas ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in menyatakan bahwa wali korban (ahli waris yang berhak menuntut) jika memaafkan pelaksanaan qishash dengan menggantinya pada pembayaran diyat (tebusan darah), maka ia berhak mengambil diyat tersebut meskipun pelaku pembunuhan tidak menyetujuinya. Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa ia tidak berhak menerima diyat kecuali dengan persetujuan pelaku pembunuhan. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Hasan, An-Nakha’i, dan para ulama madzhab Ahlur Ra’yi (Imam Baghawi, Ma'alim Tanzil, Jilid I, hlm, 192].
Di sini kita belajar bahwa penyelesaian konflik tidak selalu berakhir di pengadilan atau medan balas dendam. Ada jalan sunyi, yang lebih sulit ditempuh karena membutuhkan kelapangan hati dan keberanian moral: memaafkan. Jalan ini tidak menghapus keadilan, tetapi memulihkannya dalam bentuk yang lebih damai.
Mungkin, inilah yang dimaksud Al-Qur’an ketika ia menyebutkan bahwa memberi maaf lebih dekat pada takwa. Sebab, dalam memaafkan, kita sedang mengalahkan bukan hanya orang lain, tetapi juga amarah kita sendiri. Dan kemenangan semacam itu, adalah kemenangan yang sesungguhnya. Wallahu a'lam.
Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Keislaman tinggal di Parung.