Diyat atau Kompensasi Hukum dalam Lintasan Sejarah: Sebelum dan Sesudah Islam
NU Online ยท Sabtu, 9 Agustus 2025 | 12:00 WIB
Sunnatullah
Kolomnis
Sejarah pensyariatan diyat, denda pidana atau kompensasi hukuman, tidak dapat dipahami sebagai ketetapan hukum yang muncul tiba-tiba. Ia merupakan respons transformatif terhadap realitas sosial masyarakat Arab pra-Islam. Praktik kompensasi materi atas tindak pidana sebenarnya telah lama mengakar dalam budaya kesukuan Jahiliah, namun penerapannya sering bersifat diskriminatif dan kerap memicu lingkaran kekerasan yang tidak berkesudahan.
Kemudian ketika Islam datang, ia merekonstruksi kembali sistem ini melalui pendekatan yang lebih adil, tertata, dan setara, sehingga diyat tidak sekadar pengganti atau denda atas tindak pidana yang dilakukan seseorang, tetapi juga instrumen rekonsiliasi sosial yang revolusioner.
Namun, sebelum membahas lebih jauh tentang sejarah disyariatkannya diyat, penting kiranya bagi penulis untuk menjelaskan apa itu diyat perspektif Islam, dan apa dalilnya. Dengan demikian, kita akan memiliki pemahaman yang utuh perihal bagaimana Islam menerapkan diyat sebagai hukuman karena melakukan tindak pidana.
Baca Juga
Bagaimana Ketentuan tentang Diyat?
Apa Itu Diyat dan Dalilnya?
Dalam beberapa kitab-kitab fiqih, diyat didefinisikan sebagai sejumlah harta yang wajib dibayarkan sebagai kompensasi atas tindak pidana terhadap jiwa (pembunuhan) atau anggota badan (luka/cacat). Pada dasarnya, diyat dibayarkan dengan unta sebagai standar utamanya, namun dapat pula diganti dengan nilai setara dalam bentuk lain sesuai ketentuan syariah. Demikian definisi yang ditulis oleh Syekh Dr. Musthafa al-Bugha, Syekh Dr. Musthafa al-Khin, dan Syekh Dr. Ali as-Syarbaji. Dalam kodifikasi kitab fiqihnya disebutkan:
ููุงูุฏููููุฉู ุดูุฑูุนุงู: ุงูุณูู
ู ููููู
ูุงูู ุงููููุงุฌูุจู ุฏูููุนููู ุจูุณูุจูุจู ุฌูููุงููุฉู ุนูููู ุงููููููุณู ุฃููู ู
ูุง ุฏูููููููุงุ ููุชููููููู ู
ููู ุงููุฅูุจููู ุฃุตูุงููุฉูุ ุฃููู ููููู
ูุชูููุง ุจูุฏููุงู
Artinya, โDiyat secara syariat adalah nama bagi harta yang wajib dibayarkan karena suatu tindak pidana (jinayah) terhadap jiwa atau selainnya, dan diyat itu pada asalnya berupa unta, atau nilainya sebagai pengganti.โ (al-Fiqhul Manhaji โala Mazhabil Imam asy-Syafiโi, [Damaskus: Darul Qalam, 1992 M], jilid VIII, halaman 40).
Konsep diyat tidak sekadar produk yang dihasilkan oleh ijtihad para ulama, melainkan memiliki pijakan yang kuat dalam syariat Islam. Al-Qurโan secara tegas mengakui diyat sebagai salah satu mekanisme penyelesaian yang sah dalam kasus-kasus tertentu, terutama terkait tindakan pidana. Allah SWTberfirman:
ููุง ุฃููููููุง ุงูููุฐูููู ุขู
ููููุงู ููุชูุจู ุนูููููููู
ู ุงููููุตูุงุตู ููู ุงููููุชูููู ุงููุญูุฑูู ุจูุงููุญูุฑูู ููุงููุนูุจูุฏู ุจูุงููุนูุจูุฏู ููุงูุฃููุซูู ุจูุงูุฃููุซูู ููู
ููู ุนููููู ูููู ู
ููู ุฃูุฎูููู ุดูููุกู ููุงุชููุจูุงุนู ุจูุงููู
ูุนูุฑูููู ููุฃูุฏูุงุก ุฅููููููู ุจูุฅูุญูุณูุงูู ุฐููููู ุชูุฎูููููู ู
ููู ุฑููุจููููู
ู ููุฑูุญูู
ูุฉู
Artinya, โWahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu (melaksanakan) kisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, dan perempuan dengan perempuan. Siapa yang memperoleh maaf dari saudaranya hendaklah mengikutinya dengan cara yang patut dan hendaklah menunaikan kepadanya dengan cara yang baik. Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu.โ (QS Al-Baqarah, [2]: 178).
Ayat ini secara tegas menjelaskan bahwa Islam memberikan dua opsi penyelesaian dalam kasus tindak pidana pembunuhan. Pertama, melalui qishash, di mana pelaku dapat dihukum setimpal dengan tindakannya, sebagaimana ditegaskan, โrang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan perempuan dengan perempuan.โ Kedua, pemberian maaf disertai dengan kompensasi yang baik (diyat).
Pilihan kedua ini disebut sebagai keringanan dan rahmat dari Allah (takhfif wa rahmah), untuk menunjukkan bahwa mekanisme diyat merupakan wujud kasih sayang Allah kepada hamba-Nya di tengah ketegangan. Dengan begitu, ayat ini tidak hanya mengatur sanksi, tetapi juga mendorong nilai-nilai pemaafan, kedamaian, dan kemanusiaan dalam penyelesaian konflik. Lantas, bagaimana sebenarnya sejarah disyariatkannya diyat dalam Islam? Mari kita bahas.
Sejarah Diyat pra-Islam
Merujuk penjelasan Syekh Jawad Ali, seorang pakar sejarah Islam pra-Islam asal Baghdad, ia menjelaskan bahwa praktik diyat sebenarnya telah dikenal luas di masyarakat Arab sebelum datangnya Islam, namun penerapannya sarat dengan ketimpangan dan diskriminasi.
Saat itu, masing-masing suku memiliki wewenang penuh untuk menetapkan besaran diyat sesuai kepentingan mereka. Mereka yang kuat bisa berlaku sewenang-wenang, dari mereka ada suku yang dengan bangga meminta dua kali lipat diyat ketika anggotanya menjadi korban, tetapi hanya bersedia membayar setengahnya jika yang terbunuh berasal dari suku lain.
Baca Juga
Ini Jenis-jenis Wajib dalam Hukum Islam
Suku al-Ghatharif, salah satu klan terpandang dari Bani Bakr bin Syukr, menjadi contoh nyata bagaimana sistem ini bekerja untuk mengukuhkan dominasi mereka. Mereka terkadang mengambil dua diyat atau lebih untuk korban dari kalangan mereka, tetapi hanya membayar satu diyat untuk korban dari suku lain, hal ini disebabkan kekuatan dan kedigdayaan mereka,
ุฑููููู ุฃูููู ุงูุบูุทูุงุฑููููู ููููู
ู ููููู
ู ุงููุญูุงุฑูุซู ุจููู ุนูุจูุฏู ุงูููู ุจููู ุจูููุฑู ุจููู ุดูููุฑูุ ููุงููููุง ููุฃูุฎูุฐููููู ููููู
ูููุชููููู ู
ูููููู
ู ุฏูููุชููููู ููููุนูุทููููู ุบูููุฑูููู
ู ุฏูููุฉู ููุงุญูุฏูุฉู ุฅูุฐูุง ููุฌูุจูุชู ุนูููููููู
ู
Artinya, โDiriwayatkan bahwa suku al-Ghatharif, yaitu kaum al-Harits bin Abdullah bin Bakr bin Syukr, mereka mengambil dua diyat untuk orang yang terbunuh dari kalangan mereka, namun hanya memberikan satu diyat kepada selain mereka jika kewajiban itu jatuh atas mereka.โ (al-Mufasshal fi Tarikhil Arab Qablal Islam, [Beirut: Dar as-Saqi, 2001], jilid X, halaman 265).
Selain itu, ada juga beberapa kelompok dari al-Aswad bin Razan yang rela membayar dua diyat, sementara suku lain dari Bani ad-Dail hanya membayar satu diyat, sebagai bentuk keutamaan mereka. Bani Al-Aswad-lah yang menetapkan dan mengukuhkan jumlah tersebut. Penetapan ini tidak karena mereka lemah, tetapi sebagai bentuk kemurahan hati mereka terhadap keluarga korban dari suku lain, juga sebagai sikap santun dan menjaga martabat dengan tidak melakukan tawar-menawar dalam masalah nyawa.
Di tengah kekacauan sistem ini, muncul beberapa tokoh reformis seperti Abdul Muthalib yang berusaha menstandarisasi diyat menjadi seratus unta. Upaya Abdul Muthalib menjadikan seratus unta sebagai diyat bukan tidak beralasan, hal itu karena sebelumnya sudah terjadi kesepakatan yaitu sepuluh ekor unta di antara mereka, namun dari sepuluh itu terus berlanjut dan terus bertambah hingga menjadi seratus, maka ia sebagai tokoh utama di masa itu, menjadikan seratus unta sebagai diyat yang sah.
Demikian apa yang dijelaskan oleh Syekh Abul Faraj Ali bin Ibrahim bin Ahmad al-Halabi asy-Syafiโi, dalam kitabnya menjelaskan:
ููุงูู ุนูุจูุฏู ุงููู
ูุทููููุจู ุฃูููููู ู
ููู ุณูููู ุฏูููุฉู ุงููููููุณู ู
ูุงุฆูุฉู ู
ููู ุงููุฅูุจูููุ ุฃููู ุจูุนูุฏู ุฃููู ููุงููุชู ุนูุดูุฑูุฉู ููู
ูุง ุชูููุฏููู
ู
Artinya, โAbdul Muthalib adalah orang pertama yang menetapkan diyat jiwa sebanyak seratus ekor unta, yaitu setelah sebelumnya hanya sepuluh ekor sebagaimana telah disebutkan.โ (Insanul โUyun fi Siratil Aminil Makmun, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 1427 H], jilid I, halaman 55).
Penetapan jumlah seratus unta ini tidak hanya menjadi titik balik penting dalam sejarah diyat, tetapi juga menyatukan masyarakat Arab yang tercerai-berai oleh fanatisme kesukuan dan superioritas. Sebelumnya, tak ada kesepakatan universal tentang berapa nilai nyawa seseorang. Setiap suku bebas menetapkan harga berdasarkan kedudukan, kekuasaan, atau bahkan hawa nafsu mereka. Namun melalui upaya Abdul Muthalib tersebut, lahirlah sebuah angka yang kemudian disepakati bersama.
Setelah peristiwa itu, angka seratus unta lambat laun diterima luas oleh kabilah-kabilah Arab, dan menjadi standar tidak tertulis yang dijunjung bahkan sebelum datangnya Islam. Namun demikian, tradisi ini tetap mengandung kelemahan, karena ia masih bergantung pada konsensus kabilah dan belum berdiri di atas asas hukum yang kukuh dan menyeluruh. Maka setelah Rasulullah diutus, Nabi mengakui ketentuan ini dan diakui dalam Islam,
ุซูู
ูู ููุดูุชู ููู ุงููุนูุฑูุจู ููุฃูููุฑููููุง ุฑูุณููููู ุงูููู ุตููููู ุงูููู ุนููููููู ููุณููููู
ู
Artinya, โSetelah itu menyebarlah ketentuan ini di kalangan bangsa Arab, dan Rasulullah pun menetapkannya (sebagai hukum yang sah).โ (al-Halabi, I/56).
Dalam hukum Islam, ketentuan ini kemudian dikodifikasi secara sistematis dalam berbagai kitab fikih. Para ulama sepakat bahwa diyat terbagi menjadi dua jenis besar, yaitu: (1) ย diyat mughallazhah (diyat berat); dan (2) diyat mukhaffafah (diyat ringan), dengan seratus ekor unta sebagai patokan utama dalam kasus pembunuhan jiwa. Namun jika tidak ada unta, maka diyat juga bisa dibayar dengan nilai padanannya, baik berupa emas, perak, atau bahkan uang, tergantung kesepakatan dan kemampuan pihak yang wajib membayar. Syekh Dr. Musthafa al-Khin, dkk, mengatakan:
ููุฅููู ููู
ู ูููููู ููููุงูู ุฅูุจูููุ ููุฌูุจู ุฃููู ุชูุฏูููุนู ููููู
ูุชูููุง ุจูุงููุบูุฉู ู
ูุง ุจูููุบูุชูุ ููููุฌูุจู ุฃููู ุชููููููู ููู ู
ูุงูู ุงููุฌูุงูููุ ููุชููููููู ู
ูุนูุฌููููุฉู ุบูููุฑู ู
ูุคูุฌููููุฉู
Artinya, โJika tidak terdapat unta, maka wajib dibayarkan nilai (diyat)-nya, berapa pun besar nilainya. Nilai tersebut wajib diambil dari harta pelaku (kejahatan) dan harus dibayarkan secara langsung (tunai) bukan ditangguhkan.โ (al-Fiqhul Manhaji โala Mazhabil Imam asy-Syafiโi, [Damaskus: Darul Qalam, 1992 M], jilid VIII, halaman 41).
Alhasil, adanya qishash dan diyat dalam syariat Islam menegaskan bahwa perkara nyawa bukanlah sesuatu yang remeh dan sepele, melainkan urusan yang amat besar, berat, dan sakral. Syariat tidak membiarkan darah tertumpah tanpa konsekuensi. Maka siapa yang menghilangkan nyawa orang lain, balasannya adalah nyawa pula yang kemudian dikenal dengan qishash.
Namun jika pihak keluarga korban memilih memberi maaf, maka tidak serta-merta pelaku bebas begitu saja, melainkan tetap harus menanggung beban diyat berupa seratus ekor unta, atau harga yang senilai dengannya yang harus dibayar dari hartanya sendiri secara tunai dan tidak ditangguhkan. Diyat ini disyariatkan tidak untuk menggantikan nyawa yang telah hilang, karena tentu saja itu mustahil, tetapi untuk menunjukkan betapa mahal dan tak ternilainya kehidupan manusia dalam pandangan Islam. Wallahu aโlam bisshawab.
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Meyongsong HUT RI dengan Syukur dan Karya Nyata
2
Khutbah Jumat: Menjadikan Aktivitas Bekerja sebagai Ibadah kepada Allah
3
Khutbah Jumat: Menjaga Kerukunan dan Kerja Sama Demi Kemajuan Bangsa
4
Khutbah Jumat: Dalam Sunyi dan Sepi, Allah Tetap Bersama Kita
5
Khutbah Jumat: Rawatlah Ibumu, Anugerah Dunia Akhirat Merindukanmu
6
Redaktur NU Online Sampaikan Peran Strategis Media Bangun Citra Positif Lembaga Filantropi
Terkini
Lihat Semua