Tasawuf/Akhlak

Rahmat dan Ampunan Allah yang Kerap Disalahgunakan

Sabtu, 14 Agustus 2021 | 10:15 WIB

Rahmat dan Ampunan Allah yang Kerap Disalahgunakan

Ilustrasi: Rahmat dan ampunan-Nya bagi hamba yang berdosa digambarkan begitu luas dan besar seolah tanpa batas.

Rahmat dan ampunan Allah dibahas dalam kajian tasawuf yang umumnya pada "Bab Raja" atau "Bab Harapan." Rahmat dan ampunan-Nya bagi hamba yang berdosa digambarkan begitu luas dan besar pada bab ini seolah tanpa batas.


Deskripsi rahmat dan ampunan Allah bagi hamba-Nya didukung banyak dalil dan riwayat-riwayat yang kuat. Rahmat dan ampunan-Nya ini memang dimaksudkan agar dapat menumbuhkan harapan hamba-Nya terkait kasih sayang dan ampunan Allah.


Meski rahmat dan ampunan-Nya demikian besar, pintu harapan tidak terbuka untuk umum. Pintu harapan dibuka bagi mereka yang uzur untuk beramal seperti orang kurang sehat atau orang tua, dan mereka yang dilanda ketakutan akan masa depan alam kubur dan akhirat.


Rahmat dan ampunan Allah yang memberikan harapan ini kerap disalahpahami atau disalahgunakan oleh kelompok sufi pemula bisa jadi atau orang-orang tertentu yang tidak memiliki uzur, yaitu orang sehat, orang muda, atau orang yang memiliki kemampuan fisik dan finansial untuk melaksanakan kewajiban agama. Mereka melalaikan amal saleh dan mudah mengerjakan larangan Allah atas nama keluasan rahmat dan ampunan-Nya.


Mereka menjadi orang-orang yang malas beramal (mengabaikan syariat) dan mudah melanggar larangan Allah karena mengandalkan rahmat dan ampunan-Nya. Mereka oleh Imam Al-Ghazali disebut sebagai orang-orang dungu yang terpedaya (al-hamqa al-maghrurun). 


فهذه هي الأسباب التي بها يجلب روح الرجاء إلى قلوب الخائفين والآيسين فأما الحمقى المغرورون فلا ينبغي أن يسمعوا شيئا من ذلك بل يسمعون ما سنورده في أسباب الخوف فإن أكثر الناس لا يصلح إلا على الخوف كالعبد السوء والصبى العرم لا يستقيم إلا بالسوط والعصا وإظهار الخشونة في الكلام


Artinya, “Demikian sebab-sebab yang dapat mendatangkan angin harapan ke dalam hati mereka yang takut dan putus asa. Adapun orang-orang dungu yang terpedaya tidak selayaknya mendengarkan sedikitpun materi terkait (raja/harapan) ini. Bahkan, mereka harus mendengarkan apa yang kami sebutkan perihal sebab-sebab ketakutan (khauf) karena kebanyakan orang tidak layak (mendapatkan rahmat dan ampunan) kecuali dalam ketakutan seperti budak yang buruk (yang mesti selalu dipecut untuk bekerja). Anak-anak yang buruk perangainya tidak dapat istiqamah tanpa pecut, (pukulan) tongkat, dan nasihat-nasihat kasar,” (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz IV, halaman 162).


Imam Al-Ghazali tentu saja tidak bermaksud membatasi keluasan rahmat dan ampunan Allah. Ia hanya ingin mengatakan, raja (harap rahmat dan ampunan), khauf (takut neraka), dan juga mahabbah (cinta kepada Allah) merupakan resep manjur bila menyasar pasien dan dosis yang tepat (proporsional).


Bila salah menyasar pasien atau salah dosis, maka resep obat itu dapat menjadi racun. Imam Al-Ghazali mengutip Makhul Ad-Dimasyqi yang mengatakan sebagai berikut:  


وقال مكحول الدمشقي من عبد الله بالخوف فهو حروري ومن عبده بالرجاء فهو مرجىء ومن عبده بالمحبة فهو زنديق ومن عبده بالخوف والرجاء والمحبة فهو موحد 


Artinya, “Makhul Ad-Dimasyqi berkata, ‘Siapa yang menyembah Allah dengan ketakutan, maka ia menjadi pengikut Haruri (kelompok khawarij). Siapa saja yang menyembah-Nya dengan harapan, maka ia menjadi murji’ah (fatalis yang melalaikan kewajiban). Siapapun yang menyembah-Nya dengan cinta, maka ia menjadi zindiq (yang mengabaikan syariat). Tetapi siapa yang menyembah-Nya dengan takut, harap, dan cinta, niscaya ia menjadi ahli tauhid (Muslim yang baik dan taat syariat),’” (Imam Al-Ghazali, 2018 M/1439-1440 H: IV/173).


Oleh karena itu, kata Imam Al-Ghazali, setiap Muslim mesti menggabungkan semuanya, yaitu harap (raja), takut (khauf), dan cinta (mahabbah). Namun demikian, dosis semuanya harus ditakar sesuai dengan kebutuhan yang bersangkutan karena kebutuhan dan kondisi setiap orang berbeda.


Orang yang masih 'jauh' dari kematian, hendaknya memperbesar takutnya untuk memecutnya dalam memperbanyak amal saleh dan menjauhi larangan Allah. Adapun orang dekat dengan kematian atau uzur untuk beramal (lansia dan orang sakit), hendaknya memperbanyak harapan dan husnuz zhan kepada Allah. (Imam Al-Ghazali, 2018 M/1439-1440 H: IV/173-174).


Kalaupun harus memilih salah satunya (raja, khauf, atau mahabbah), tentu seseorang harus mempertimbangkan ilmu, sunnah, dan adat kebiasaannya. (Az-Zabidi, Ithafus Sadatil Muttaqin, bi Syarhi Ihya Ulumiddin, [Beirut, Muassasatu Tarikh Al-Arabi: 1994 M-1414 H], juz IX, halaman 220).


Demikian juga ketika seseorang ingin menggabungkan semuanya, maka ia sebaiknya mengamalkan itu semua dengan pertimbangan ilmu dan sunnah sehingga ia menjadi seorang yang alim dan arif lahir dan batin. (Az-Zabidi, 1994 M-1414 H: IX/220). Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan).