Assalamu alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online. Saya mau bertanya terkait tradisi atau bahkan sudah menjadi hal yang biasa di kalangan masyarakat. Terkait tentang pelaksanaan akad nikah di bulan Ramadhan, baik itu di awal atau di akhir bulan. Apa yang menyebabkan hal semacam ini sudah menjadi kebiasaan di kalangan masyarakat? (Afifatul Masruroh)
Jawaban
Saudari penanya, semoga diberikan pemahaman agama yang baik. Pada dasarnya tidak ada petunjuk yang jelas dalam Al-Qur’an dan hadits yang memerintahkan dalam kategori wajib atau sunnah (anjuran yang sangat jelas) untuk melangsungkan pernikahan pada waktu atau bulan tertentu. Juga tidak ada larangan melangsungkan pernikahan pada waktu dan bulan tertentu, kecuali saat ihram (haji/umrah).
Sungguh demikian, para ulama Mazhab Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah menganjurkan akad nikah dilangsungkan di bulan Syawal berdasarkan hadits shahih riwayat Muslim, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan An-Nasa’i:
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ: تَزَوَّجَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِيْ شَوَّالٍ، وَبَنَى بِيْ فِيْ شَوَّالٍ، فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّيْ، قَالَ: وَكَانَتْ عَائِشَةُ رضي الله عنها تَسْتَحِبُّ أَنْ تُدْخِلَ نِسَاءَهَا فِيْ شَوَّالٍ. أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
Artinya, ”Dari ‘Aisyah r.a. berkata: Rasulullah SAW menikahi saya pada bulan Syawal, dan membangun rumah tangga (berhubungan badan) dengan saya pada bulan Syawal, maka siapakah isteri-isteri Rasulullah SAW yang lebih mendapatkan tempat di sisi beliau daripada saya? Perawi berkata, ‘Aisyah RA senang bila berhubungan badan suami istri dilakukan di bulan Syawal,’” (HR Muslim dari Aisyah RA)
Imam Nawawi menjelaskan hadits ini:
فِيْهِ اسْتِحْبَابُ التَّزْوِيْجِ وَالتَّزَوُّجِ وَالدُّخُوْلِ فِيْ شَوَّالٍ، وَقَدْ نَصَّ أَصْحَابُنَا عَلَى اسْتِحْبَابِهِ، وَاسْتَدَلُّوْا بِهَذَا الْحَدِيثِ، وَقَصَدَتْ عَائِشَةُ بِهَذَا الْكَلَامِ رَدَّ مَا كَانَتِ الْجَاهِلِيَّةُ عَلَيْهِ، وَمَا يَتَخَيَّلُهُ بَعْضُ الْعَوَامِّ الْيَوْمَ مِنْ كَرَاهَةِ التَّزَوُّجِ وَالتَّزْوِيْجِ وَالدُّخُوْلِ فِيْ شَوَّالٍ، وَهَذَا بَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ، وَهُوَ مِنْ آثَارِ الْجَاهِلِيَّةِ، كَانُوْا يَتَطَيَّرُوْنَ بِذَلِكَ لِمَا فِي اسْمِ شَوَّالٍ مِنَ الْإِشَالَةِ وَالرَّفْعِ
Artinya,”Dalam hadits ini terdapat anjuran (istihbâb) menikah, dan menikahkan serta berhubungan badan suami istri di bulan Syawal. Bahkan para ulama kami (mazhab Syafiiyah) telah menetapkan anjuran/kesunahan tersebut, dan mereka menggunakan dalil hadits ini. ‘Aisyah dengan perkataannya ini bermaksud menolak tradisi Jahiliyah, dan anggapan sebagian orang awam mengenai kemakruhan nikah, menikahkan dan berhubungan badan di bulan Syawal. Padahal hal ini salah, tidak ada dasarnya, tetapi merupakan tradisi Jahiliyah. Sebabnya mereka (orang-orang Jahiliyah) meramalkan keburukan dengan menghindari nikah, menikahkan dan berhubungan badan di bulan Syawal, karena di dalam nama Syawal terjadi kematian, sial atau keburukan,” (Lihat An-Nawawi, Shahîh Muslim bi-Syarhin Nawawi [Al-Azhar, Al-Mathba’ah Al-Mishriyah: 1929], juz 9, halaman 209).
Selain ketentuan bulan tersebut, yang penting diperhatikan adalah hari yang disunnahkan untuk akad nikah, yaitu hari Jumat, waktu sore harinya atau malam Jumat. Alasannya, hari Jumat adalah hari mulia, ”hari raya” umat Islam, dan penuh keberkahan, merupakan waktu istijâbah (terkabulkan doa), serta diamalkan para ulama salaf, dan pernikahan memang dimaksudkan untuk keberkahan, berdasarkan hadits:
أَمْسُوْا بِالْأَمْلَاكِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِلْبَرَكَةِ (رَوَاهُ أَبُوْ حَفْصٍ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه
Artinya, ”Laksanakan pernikahan di sore/malam hari, yakni hari Jumat, karena itu merupakan waktu yang paling besar berkahnya,” (HR Abu Hafsh dari Abu Hurairah r.a.) (Lihat Abû Ishâq Ibn Muflih Al-Hanbalî, Al-Mubdi‘ Syarhul Muqni‘ [Beirut, Dârul Fikr: 1997], juz 6, halaman 92-93).
Atas dasar itu, kebiasaan masyarakat melangsungkan pernikahan pada bulan Ramadhan, misalnya di daerah Bojonegoro Jawa Timur dan sekitarnya, yang dikenal ”Malam Songo” (pernikahan pada malam ke-29 Ramadhan) tidaklah bertentangan dengan ajaran dan ketentuan Islam.
Tidak adanya perintah atau larangan mengenai bulan tertentu untuk melangsungkan pernikahan ini bisa menjadi faktor atau alasan adanya kebiasaan atau tradisi melangsungkan pernikahan di bulan Ramadhan, yang dimaksudkan untuk memperoleh keberkahan.
Selain itu, kebiasaan tersebut terkait pula dengan tradisi di tanah air, Lebaran Hari Raya Idul Fitri umumnya diperingati lebih meriah dibandingkan Hari Raya Idul Adha (Bulan Haji), sehingga dimaksudkan pula agar pasangan suami istri bisa leluasa merayakan lebaran dengan silaturahim, halal bihalal, rekreasi, dan sebagainya.
Kebiasaan tersebut masuk ke dalam kategori kaidah fikih al-‘Âdatu muhakkamah, yakni adat atau kebiasaan dalam masyarakat bisa dijadikan hukum, selama tidak bertentangan dengan ajaran atau ketentuan dalam Islam. Menjadi lebih istimewa, bila pernikahan yang dilangsungkan pada bulan Ramadhan itu pun bertepatan dengan hari Jumat, hari mulia dan penuh berkah.
Demikian penjelasan ini, semoga dapat dipahami dengan baik. Kami terbuka menerima masukan dari pembaca yang budiman.
Wallâhul Muwaffiq Ilâ Aqwamith Tharîq.
Wassalamu ’alaikum wr.wb.
(Ahmad Ali MD)