Syariah

3 Teori dan Konsekuensi Badan Hukum sebagai Subjek Hukum

Rab, 29 Desember 2021 | 23:00 WIB

3 Teori dan Konsekuensi Badan Hukum sebagai Subjek Hukum

Ada beberapa teori yang dijadikan landasan mengapa badan hukum itu bisa diberlakukan sebagai subjek hukum dalam ranah hukum positif.

Dalam hukum positif, badan hukum diakui sebagai sebagai subjek hukum, selain manusia. Sebagaimana penjelasan ini disampaikan oleh Prof. Wirjono Prodjodikoro dan dikutip oleh P.N.H. Simanjuntak di dalam buku Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia (2009: 28-29). Menurutnya, badan hukum adalah suatu badan yang di samping manusia perorangan juga dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.

 

Penjelasan yang kurang lebih sama juga disampaikan oleh Profesor Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. Menurutnya, badan hukum adalah kumpulan dari orang-orang yang bersama-sama mendirikan suatu badan (perhimpunan) dan kumpulan harta kekayaan, yang ditersendirikan untuk tujuan tertentu (yayasan).

 

Ada beberapa teori yang dijadikan landasan mengapa badan hukum itu bisa diberlakukan sebagai subjek hukum dalam ranah hukum positif. Dari semua teori itu, ada konsekuensi logis yang tak bisa dihindari. Apa saja konsekuensinya? Simak ulasan berikut ini!

  

1. Teori Fiksi (Fictie Theorie)

Teori ini menyatakan bahwa subjek hukum yang sebenarnya adalah manusia. Sementara badan hukum adalah bukan manusia sehingga ada beberapa karakteristik manusia yang tidak dimiliki oleh badan hukum. Badan hukum dijadikan subjek hukum karena alasan penyerupaan atau pengandaian semata. Inilah inti dasar dari teori fiksi tersebut. Para sarjana muslim menyebutnya sebagai syakhshiyah i’tibariyah.

 

Adapun kelemahan dari teori fiksi (syakhshiyah i’tibariyah) ini adalah:

  1. Teori ini tidak mampu menjawab mengenai siapa yang wajib memenuhi gugatan hukum apabila ada pihak penggugat mengajukan gugatan atas badan hukum tersebut, baik secara pidana maupun perdata.
  2. Teori ini juga tidak mampu menjawab mengenai siapa yang wajib mengajukan gugatan atas pihak yang dinilai merugikan badan hukum.
 

2. Teori Organ

Menurut Otto von Gierke, badan hukum merupakan sebuah entitas sejati yang bisa melakukan pergaulan (muamalah) dalam tataran hukum guna mewujudkan kehendaknya melalui instrumen organ yang dimilikinya (pengurus).

 

Berbekal teori ini, apabila terjadi kasus merugikan pihak lain, maka organ (divisi bidang) yang melakukan tindak kerugian itulah yang dipandang bertanggungjawab melakukan ganti rugi. Oleh karenanya, ia berhak dibubarkan dan pihak yang berada di divisinya siap untuk dipecat atau dimutasikan.

 

Sebaliknya, apabila terjadi kasus yang merugikan divisi/organ tersebut, maka organ/divisi ini berhak untuk melakukan penuntutan sehingga berlaku sebagai subjek hukum.

 

Alhasil, menurut teori ini, sebuah badan hukum dipandang sebagai wilayah/kekuasaan. Adapun pihak yang bertugas mengurusi wilayah/kekuasaan merupakan pihak yang bertindak sebagai penanggung jawab yang sebenarnya (subjek hukum) dari divisi yang diembannya, sehingga tidak sebagaimana teori fiksi (syakhshiyah i’tibariyah) di atas.

 

3. Teori Kekayaan Tujuan

Menurut teori satu ini, berdirinya badan hukum tidak dipandang sebagai akibat akumulasi hak pemegangnya. Badan hukum dipandang sebagai ada, karena adanya tujuan bersama yang hendak dicapai. Tujuan bersama ini selanjutnya disebut sebagai hak. Oleh karenanya, yang bertindak selaku subjek hukum di sini bukan atas nama perseorangan, melainkan kehendak bersama.

 

Jadi, berdasarkan teori ini, apabila terjadi kasus merugikan pihak lain, maka yang bertanggung jawab dalam menanggung kerugian adalah badan hukum itu sendiri yang cenderung bersifat temporal. Apabila badan hukum itu membubarkan diri setelah tercapai maksud dan tujuannya maka tidak ada yang bisa dituntut untuk mempertanggungjjawabkan kerugian tersebut.

 

Di Indonesia, badan hukum ini umumnya mewujud dalam bentuk aliansi-aliansi atau sebuah serikat tak bertuan. Mereka berkumpul karena didorong oleh kepentingan bersama. Setelah suara kepentingan itu disampaikan, mereka kemudian membubarkan diri. Kasus-kasus penggalangan masa untuk melakukan demonstrasi, adalah contoh termudah. Serikat semacam ini terbukti menyulitkan aparat penegak hukum untuk melakukan penuntutan kasus kerugian yang ditimbulkan. Misalnya, kasus demonstrasi massa yang menyebabkan kerusakan fasilitas umum beberapa waktu yang lalu. Aparat penegak hukum hanya bisa mencari dalang di balik kerusuhan (provokator) tanpa bisa menuntut seluruh individu yang terlibat dalam aliansi tersebut guna mempertanggungjawabkan perbuatannya.

 

Di Indonesia, sulitnya melakukan penuntutan ini sebenarnya juga berangkat dari dasar batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang mengakui hak berserikat dan berkumpul masyarakat tersebut. Akibatnya, dalam setiap aksi demonstrasi, akan selalu muncul aliansi-aliansi yang mengatasnamakan persatuan hak dan kepentingan. Wallahu a’lam bish shawab.

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur