Syariah

Badan Hukum dalam Perspektif Fiqih

Sen, 27 Desember 2021 | 23:00 WIB

Badan Hukum dalam Perspektif Fiqih

Para ulama klasik dan konteporer sudah membahas dan mendefinisikan badan hukum dalam sudut pandang hukum Islam.

Gelaran acara Muktamar Ke-34 NU telah usai. Salah satu materi yang dibahas dalam salah satu sidang komisi bahtsul masailnya adalah berkenaan dengan syakhshiyah i’tibariyah dengan konteks badan hukum. Apa sih makna dari syakhshiyah i’tibariyah itu?

 

Syakhshiyah i’tibariyah dalam konteks badan hukum bermakna sebagai sekumpulan manusia atau harta yang berkumpul untuk mengadakan suatu ikatan kerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Jadi, dengan berdasar definisi ini maka yayasan, koperasi, perusahaan, organisasi kemasyarakatan, negara, baitul maal, badan waqaf, seluruhnya masuk dalam bagian yang dicakup oleh definisi syakhshiyah i’tibariyah. Oleh karena itu, dalam konteks fiqih turats, maka syakhshiyah i’tibariyah ini adalah bagian dari cabang (furu’) akad buyu’ (jual beli), syirkah (kemitraan), musaqah. qiradl, mudharabah, atau bahkan musabaqah (perlombaan), ijarah (sewa-menyewa), bai’, tijarah (perniagaan), dan lain sebagainya.

 

Konsekuensi dari satu rumpun dengan akad buyu’, maka segala ketentuan yang berlaku dalam syakhshiyah i’tibariyah, adalah meniscayakan terpenuhinya syarat dan rukun akad muamalah. Tidak terpenuhinya salah satu rukun, dapat menjadikan suatu perkumpulan adalah bathil (tidak sah) secara syariat.

  

Rukun Syakhshiyah I’tibariyah

Karena syakhshiyah i’tibariyah dalam konteks badan hukum adalah gambaran dari serikat, dan serikat itu sendiri adalah cabang dari akad jual beli, maka rukun penyusun syakhshiyah i’tibariyah adalah terdiri dari hal-hal sebagai berikut:

 

شروط أركان البيع الثلاثة، التي هي العاقد، والمعقود عليه، والصيغة.

 

"....beberapa syarat rukun bai’ yang tiga, yaitu adanya dua pihak yang berakad, adanya objek akad, dan shighat akad” (al-Bakri Al-Dimyathy bin Syatha’, I’anatu al-thalibin ‘ala hilli Alfadhi Fathi al-Mu’in, juz 3, h. 9).

 

Adapun dalam konteks syirkah, maka rukun penyusunnya adalah sebagai berikut:

 

وأرْكانُها ثَلاثَةٌ: العاقِدانِ، والمَعْقُودُ عَلَيْهِ، وهُوَ المالُ فِي شَرِكَةِ التَّجْرِ، والعَمَلُ فِي شَرِكَةِ الأبْدانِ والصِّيغَةُ

 

“Rukun syirkah dagang ada tiga, yaitu (1) adanya dua pihak yang berakad, (2) adanya objek akad baik berupa harta, niaga, atau amal (jenis pekerjaan) khususnya dalam syirkah abdan, dan (3) shigah akad.” (al-Nafrawy, al-Fawakih al-Dany ‘ala Risalati Ibn Zaid al-Qairuwany, juz 2, h. 119).

 

Di dalam akad produksi semacam akad musaqah, qiradl dan mudlarabah, maka rukun yang wajib terpenuhi, adalah:

  1. Adanya pihak rabbu al-maal (pemilik modal), yang digambarkan sebagai pemilik tanah dan pemodal
  2. Adanya ‘amil, yaitu pihak yang bekerja dan menjalankan modal atau menggarap lahan
  3. Adanya ma’qud ‘alaih berupa kesepakatan bagi hasil mengelola modal dengan nisbah yang disepakati.
  4. Adanya shighah akad, apakah berlaku sebagai akad ijarah (sewa jasa), pengelolaan lahan (musaqah, mukhabarah, atau muzara’ah), ataukah qiradl dan mudlarabah.
 

Di dalam badan hukum seperti amil zakat atau badan wakaf, maka syarat yang berlaku adalah:

  1. Adanya waqif (pihak pewakaf), atau muzakki (penunai zakat)
  2. Adanya pihak yang menerima wakaf atau amil. Dua-duanya inii termasuk muta’aqidain.
  3. Adanya objek wakaf, berupa sebidang tanah, atau objek zakat semisal zakat fitrah atau zakat maal
  4. Adanya tujuan dari wakaf itu sendiri kemana hendak disalurkan, atau zakat kemana hendak ditasarufkan.
  5. Adanya shighah wakaf atau shighah zakat yang disampaikan dalam bentuk lafadh atau isyarah.
 

Baik pihak pewaqif atau amil, seluruhnya wajib memenuhi kriteria selaku ahli taukil dan tawakkul. Kriteria ini, dapat diketahui secara umum di bawah ini.

 

Peserta Syakhshiyah i’tibariyah

Al-Nafwawy (w. 1126 H) menjelaskan mengenai syarat keanggotaan (muta’aqidain) dari suatu badan hukum, antara lain sebagai berikut:

 

فَشَرْطُ العاقِدِ أهْلِيَّةُ التَّوْكِيلِ والتَّوَكُّلِ؛ لِأنَّ كُلَّ واحِدٍ وكِيلٌ، ومُوَكِّلٌ، فَيُشْتَرَطُ فِي كُلٍّ البُلُوغُ والرُّشْدُ، فَلا تَصِحُّ شَرِكَةُ عَبْدٍ غَيْرِ مَأْذُونٍ، ولا صَبِيٍّ ولا سَفِيهٍ، كَما يُؤْخَذُ مِن كَلامِ خَلِيلٍ وابْنِ الحاجِبِ لِعَدَمِ صِحَّةِ تَوَكُّلِ المَحْجُورِ عَلَيْهِ كَما قالَهُ اللَّخْمِيُّ وغَيْرُهُ، خِلافًا لِابْنِ رُشْدٍ القائِلِ بِالصِّحَّةِ؛ لِأنّا نَشْتَرِطُ وُجُودَ شَرْطِ صِحَّةِ التَّوْكِيلِ والتَّوَكُّلِ مَعًا فِي الشَّرِكَةِ، ولِذَلِكَ أوْرَدُوا عَلى كَلامِهِما شَرِكَةَ العَدُوِّ لِعَدُوِّهِ، وشَرِكَةَ الذِّمِّيِّ لِمُسْلِمٍ لِصِحَّةِ شَرِكَتِهِما عَلى المُعْتَمَدِ

 

“Syarat ‘aqid (anggota badan hukum) adalah terdiri dari pihak yang memenuhi kriteria cakap dalam mewakilkan atau menerima perwakilan, karena antar peserta satu dengan yang lain adalah berlaku sebagai wakil atau menjadi mewakilkan. Oleh karena itu, syarat yang harus dipenuhi adalah baligh, cerdas (akalnya sudah berkembang). Oleh karena itu, tidak sah perkumpulannya para budak, anak atau safih (tidak sehat akalnya) sebagaimana penjelasan Imam Khali dan Ibn Hajib, karena illat ketiadaan sahnya perwakilan pihak mahjur ‘alaih. Demikian ini juga disampaikan oleh al-Lukhmy dan para ulama lainnya, khilaf dengan Ibnu Rusyd yang menyampaikan kebalikannya mengenai sahnya akad syirkah pihak mahjur alaih. Karena kita, telah menetapkan syarat bahwa sahnya syirkah adalah apabila pihak anggota memenuhi kriteria bisa mewakilkan (ahi taukil) atau menerima perwakilan (ahli tawakkul) secara bersama-sama maka adanya khilaf dari para ulama tersebut adalah dimaksudkan kebolehan perkumpulan musuh untuk menghadapi musuhnya, perkumpulan ahli dzimmah terhadap orang muslim. Kedua jenis syirkah ini adalah sah menurut qaul yang mu’tamad.” (al-Nafrawy, al-Fawakih al-Dany ‘ala Risalati Ibn Zaid al-Qairuwany, juz 2, h. 119).

 

Lalu Apa itu Syakhshiyah I’tibariyah?

Berangkat dari penjelasan di atas maka makna dari syakhshiyah i’tibariyah dalam konsepsi fiqih turats, sejatinya adalah sudah didefinisikan oleh para ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin, berdasarkan jenis akad yang dilakukan. Jika akadnya adalah kemitraan, maka syakhshiyah i’tibariyah itu mengikuti definisi dari akad syirkah. Jika akadnya adalah investasi, maka definisi dari syakhshiyah i’tibariyah itu mengikuti akad qiradl, mudlarabah, musaqah, dan sejenisnya. Jika akadnya adalah tabarru’, maka definisi syakhshiyah i’tibariyah itu adalah mengikuti ushul (landasan) di mana akad itu dicabangkan. Adapun definisi syakhshiyah i’tibariyah menurut kalangan ulama mu’ashirin sebagai perhimpunan orang-orang atau sekumpulan dana yang dibentuk dengan tujuan tertentu dan diberikan kepribadian hukum sejauh yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, adalah definisi umum dan sudah mencakup kriteria dan definisi dari para ulama mutaqaddimin (klasik) dan mutaakhirin (kontemporer). Misalnya, adalah definisi sebagai berikut:

 

الشَّخْصُ الإِعْتِبَارِيُّ هُوَ مَجْمُوعَةٌ مِنَ الأَشْخَاصِ أَوْ الأَمْوَالِ تَرْمَى إِلَى تَحْقِيقِ غَرَضٍ مُعَيَّنٍ وَيُمْنَحُ الشَّخْصِيَّةَ القَانُونِيَّةَ بِالْقَدرِ اللَّازِمِ لِتَحْقِيقِ هَذَا العَرَضِ

 

“Al-syakhsh al-i’tibari adalah perhimpunan orang-orang atau sekumpulan dana yang dibentuk dengan tujuan tertentu dan diberikan kepribadian hukum sejauh yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu." (Khalid ‘Abd al-‘Aziz bin Ibrahim al-Juraid, al-Syakhshiyyah al-I’tibariyyah, h. 67 Jurnal al-‘Adl edisi 29 Muharram 1427 H).

 

الشَّخْصُ الإِعْتِبَارِيُّ هُوَ مَجْمُوعٌ مِنَ الأَشْخَاصِ أَوْ مَجْمُوعٌ مِنَ الأَمْوَالِ يُسْتَهْدَفُ بِهِ تَحْقِيقُ غَرَضٍ مُعَيَّنٍ وَيَعْتَرِفُ القَانُونُ لَهُ بِالشَّخْصِيَّةِ القَانُونِيَّةِ وَبِالتَّالِي يُصْبِحُ قَابِلًا لِأَنْ تَثْبُتَ لَهُ الحُقُوقُ وَتَجِبُ لَهُ الوَاجِبَاتُ وَيُنْظَرُ مُجَرَّدًا عَنِ الأَشْخَاصِ الْمُؤَسِّسَةِ لَهُ أَوِ الاَمْوَالِ الْمُكَوِّنَةِ لَهُ

 

“Badan hukum ialah sekelompok orang atau sekumpulan harta yang dibentuk guna mencapai tujuan tertentu yang diakui undang-undang sebagai kenyataan yuridis, untuk kemudian dapat ditetapkan hak dan kewajiban atasnya tanpa melihat orang atau pribadi-pribadi yang mendirikan atau harta yang membentuknya.” (‘Abd al-Nashir al-‘Aththar, Madkhal li Dirasah al-Qanun wa Tathbiq al-Syariah, h. 314, Dar al-Sa’adah: Kairo, Mesir)

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peserta Bahtsul Masail Komisi Maudluiyah di Muktamar Ke-34 NU di Bandar Lampung