Syariah

Badan Usaha dan Individu: Mengapa Hak dan Kewajibannya Dibedakan dalam Fiqih?

Rab, 10 November 2021 | 05:00 WIB

Badan Usaha dan Individu: Mengapa Hak dan Kewajibannya Dibedakan dalam Fiqih?

Badan Usaha dan Individu: Mengapa Hak dan Kewajibannya Dibedakan dalam Fiqih?

Diksi manusia ilusi di kalangan ekonom sering disampaikan dengan istilah syakhshiyah i’tibariyah. Ditinjau dari sisi bahasa, diksi “syakhshiyah” berasal dari kata “syakhshun” yang bermakna personal atau individu. Ketika disemati dengan ya’ nisbah, maka diksi tersebut menjadi bermakna sesuatu yang diserupakan dengan person/individu.

 

Adapun diksi i’tibariyah, secara bahasa bermakna ungkapan, sehingga apabila disemati dengan ya’ nisbah, maka maknanya menjadi sesuatu yang berkenaan dengan ungkapan. Jadi, secara tidak langsung bila disebutkan istilah syakhshiyah i’tibariyah maka yang dimaksud dengan istilah itu adalah individu maknawi atau sesuatu yang diumpamakan sebagai individu, lengkap dengan segala tanggung jawab yang melekat padanya.

 

Jika direnungkaan, syakhshiyah i’tibariyah ini sebenarnya merupakan bidang kajian ilmu hukum. Oleh karena itu, objek kajian dari materi ini tidak lain dan tidak bukan adalah berkaitan dengan hak dan kewajiban sebuah badan hukum yang diumpamakan sebagai layaknya individu. Bisa ataukah tidak? Itulah bagian dari dinamika pemikiran ini dibangun.

 

Lalu, apa pentingnya buat kita membahasnya?

 

Bagaimanapun juga, fiqih adalah bagian dari produk hukum juga, bukan? Bedanya, jika hukum positif dibentuk oleh lembaga legislasi suatu negara. Namun, fiqih dilegalformalkan oleh Syari’ (Allah dan rasul-Nya) melalui perantara kodifikasi para ulama mujtahid mazhab. Di sinilah letak titik persinggungan kedua bidang ini.

 

Persamaan dan Perbedaan

Ada banyak sisi menarik yang menghendaki untuk dikaji dan ditelaah terkait dengan persamaan dan perbedaan antara individu maknawi dengan individu hakiki/insani. Misalnya, ketika seorang manusia lahir, maka secara tidak langsung ia sudah bisa disebut individu hukum. Ia bisa berlaku selaku subjek hukum (ahliyatu al-ada’), atau sebaliknya berperan selaku objek penerima hukum (ahliyatu al-wujub). Jika menunaikan hukum sesuai dengan yang digariskan, maka ia disebut individu taat hukum. Demikian sebaliknya, bila tidak taat hukum, maka ia bisa disebut pembangkang.

 

Suatu misal, individu yang baru lahir di akhir bulan Ramadhan sebelum tenggelamnya matahari, maka pada dirinya sudah berlaku hukum wajib membayar zakat. Di sisi yang lain, ia juga berhak mendapatkan zakat, bisa menerima waris, berhak mendapatkan hibah, sedekah, dan sejenisnya. Apabila orang tuanya meninggal, meski baru sedetik menghirup udara bebas, dia sudah berhak mendapatkan warisan atau objek penerima wasiat.

 

Keberadaan wajibnya si mungil yang baru lahir dalam membayar zakat menandakan dia adalah subjek hukum (ahli ada’). Adapun haknya dalam menerima waris dari orang tuanya, adalah bagian dari haknya selaku objek hukum (ahli wujub).

 

Bagaimana dengan badan hukum? Sebuah badan usaha yang baru didirikan, saat awal kali ia membelanjakan hartanya untuk membeli bahan baku (raw material) untuk kepentingan melakukan proses produksi, maka badan usaha tersebut sudah terhitung melakukan akad niaga. Karenanya dia sudah terikat oleh kewajiban bahwa 1 tahun (haul) mendatang wajib untuk mengeluarkan zakat tijarah (perniagaan). Dalam kondisi ini, maka badan usaha tersebut telah menduduki selaku subjek hukum (ahli ada’).

 

 

Di sisi lain, apabila perjalanan usahanya dirugikan oleh pihak lain, namanya dicemarkan sehingga mengganggu kegiatan usahanya, badan usaha ini berhak untuk menuntut ganti rugi di hadapan hakim. Di sini letak perannya selaku objek hukum. Artinya, selaku objek hukum, sebuah badan hukum juga bisa menuntut hak ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkan oleh pihak lain. Persis seperti individu manusia, bukan?

 

Namun uniknya, berbagai keserupaan ini, tidak membuat badan hukum memiliki kewajiban untuk membayar zakat fitrah. Sementara pada individu manusia, begitu ia lahir, ia sudah terbebani dengan kewajiban zakat fitrah. Meskipun pada dasarnya hal itu diatasnamakan hukum taklifi, dan pihak yang menunaikannya adalah wali si anak. Mengapa hal ini tidak berlaku kepada badan hukum juga?

 

Di samping itu, ada sebuah pertanyaan yang menggelitik. Meskipun ini sebenarnya adalah berasal dari gurauan, namun juga masuk akal. Pertanyaan itu, adalah: “jika seorang individu manusia memiliki kewajiban membayar zakat, demikian halnya dengan sebuah badan usaha yang dikelola untuk melakukan akad niaga, juga dikenakan kewajiban berzakat, namun mengapa pihak individu manusia bisa menerima zakat sementara sebuah badan usaha tidak bisa?”

 

Seorang individu yang terlilit utang, maka ia dimasukkan dalam ashnaf gharim (golongan penerima zakat karena banyak utang). Bagaimana dengan sebuah badan usaha? Bisakah dimasukkan dalam ashnaf gharim? Kalau saja bisa, maka pastinya akan banyak perusahaan yang akan mengajukan diri sebagai gharim, ya?

 

Sebenarnya banyak permasalahan-permasalahan yang menyentil dan menggelitik lainnya seiring badan usaha atau semacam badan hukum didirikan dalam aneka bentuk dan ruang gerak. Ada yang bergerak di bidang penyaluran donasi korban bencana, korban perang, dan sejenisnya. Apakah mereka juga bisa dimasukkan dalam ashnaf sabilillah?

 

Ruang dialog dan dialektika mengenai hal di atas, sudah banyak dibuka. Apalagi di Timur Tengah, ruang-ruang publikasi sudah banyak dipenuhi aktivitas yang diatasnamakan kajian syakhshiyah i’tibariyah (individu maknawi) ini. Mungkin kitanya yang agak ketinggalan dalam mendiskusikannya. Semoga ke depan, ada ruang untuk memulai kajian. Wallahu a’lam bi al-shawab.

 

Muhammad Syamsudin, kolomnis Ekonomi Syariah