Syariah

‘Aku Pinjami Kamu Uang dengan Syarat Pinjami Aku Sepeda’, Riba?

Sel, 23 Juli 2019 | 13:45 WIB

Pembahasan tentang riba menyatakan bahwa yang dimaksud sebagai riba qardli (riba utang) adalah كل قرض جرى نفعا للمقرض فهو ربا (semua bentuk utang piutang yang mensyaratkan manfaat bagi pihak yang memberi utang adalah riba). Nah, kali ini kasusnya menyangkut utang piutang dengan syarat balik dipinjami juga. Kebetulan kasus ini berkaitan dengan utang uang dengan syarat meminjami sepeda. Apakah hal ini juga bisa dikelompokkan dalam kategori riba? Dalam hal ini ada dua pendapat ulama yang berbeda dalam memandang kualitas illat (alasan mendasar) hukumnya. 

Inti illatnya adalah keberadaan syarat tersebut. Syarat ini disepakati sebagai syarat yang rusak (al-syarthu al-fasid). Perbedaannya terletak pada anggapan bahwa syarat rusak ini merupakan syarat yang mulgha (bisa diabaikan) sehingga tidak berpengaruh terhadap akad, atau sebaliknya syarat fasid tersebut bukan merupakan syarat mulgha sehingga dapat membatalkan akad.

Pertama, ulama yang menyatakan bahwa syarat sebagaimana tersebut di atas merupakan syarat rusak yang mulgha adalah ulama dari kalangan mazhab Hanafi, pendapat muqabil shahih (lawan dari pendapat shahih) dari kalangan Syafiiyah (qaul dla'if) dan pendapat kalangan Hanabilah. Untuk yang dari kalangan mazhab Hanafi misalnya adalah Ibnu Himam yang disampaikan dalam Kitab Fathul Qadir, Juz 6 halaman 411 atau Ibnu 'Âbidîn dalam Hasyiyah Ibnu 'Âbidîn, juz 5, halaman 165:

القرض لا يتعلق بالجائز من الشروط فالفاسد منها لا يبطله ولكنه يلغو شرط رد شيء آخر، فلو استقرض الدراهم المكسورة  على أن يؤدي صحيحا كان باطلا، وكذا لو أقرضه طعاما بشرط رده في مكان آخر وكان عليه مثل ما قبض  

Artinya: "Utang yang tidak berikatan dengan syarat berupa barang yang diutangkan (jaiz), maka rusaknya syarat (syarat fasid) tidak dapat membatalkan akad utang. Syarat itu merupakan mulgha (yang diabaikan) misalnya syarat mengembalikan berupa barang lain. Lain halnya, apabila seseorang mengutangi dirham pecah kemudian disyaratkan ia harus mengembalikan berupa dirham utuh, maka syarat yang demikian ini merupakan syarat yang batil. Demikian pula seandainya orang mengutangi orang lain berupa makanan dengan syarat ia harus mengembalikan ke tempat lain, padahal apa yang dikembalikan adalah sama dengan apa yang diterima dari pihak pemberi utang (maka syarat seperti ini adalah termasuk syarat fasid yang mulgha)." (Ibnu 'Âbidîn, Hasyiyah Ibn 'Âbidîn, Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyyah, tt.: 5/165).

Dari kalangan mazhab Syafii misalnya sebagaimana disampaikan oleh Imam Nawawi dalam Raudlatu al-Thâlibîn

يحرم كل قرض جر منفعة كشرط رد الصحيح عن المكسر أو الجيد عن الرديء وكشرط رده ببلد آخر….فإن جرى القرض بشرط من هذه فسد القرض على الصحيح فلايجوز التصرف فيه وقيل: لايفسد

Artinya: "Haram melakukan akad utang piutang dengan mengambil kemanfaatan, seperti dengan syarat mengembalikan berupa barang utuh dari utang berupa barang pecah, atau mengembalikan barang bagus dari utang berupa barang buruk, dan seperti mengembalikan utang ke wilayah lain dari tempat berutang….. Jika berlaku akad utang piutang sebagaimana syarat yang telah disebutkan ini maka rusaklah akad qardlu menurut pendapat yang shahih, sehingga tidak boleh melakukan muamalah dengan cara itu. Namun ada pendapat (lemah) bahwa syarat tersebut tidak merusak akad.” (Yahya ibn Syaraf al-Nawâwi, Raudlatu al-Thâlibîn li al-Nawâwi, Kairo: Dâr al-Ma'ârif, tt.: 3/275-276).

Ulama dari kalangan mazhab Hanbali, seperti al-Mardâwy, al-Bahûty, Ibnu Qudâmah dan Ibnu Muflih, menyatakan:

وفي فساد القرض روايتان انتهى. وأطلقهما في المستوعب والتلخيص والرعايتين والحاويين إحداهما يفسد. جزم به ابن عبدوس في تذكيرته. الرواية الثانية لايفسد. قلت: وهو الصواب. وهي من جملة المسائل التي قارنها شرط فاسد وهو ظاهر كلامه في المغني والشرح با أكثر الأصحاب لأنهم قالوا: يحرم ذلك ولم يتعرضوا فساد العقد

Artinya: "Dalam hal rusaknya akad utang piutang maka ada dua riwayat. Dalam kitab al-Mustau'ab wa al-Talkhish wa al-Ri'âyatain serta dua Kitab al Hawi dijelaskan: Salah satu dari riwayat ini menyatakan rusaknya akad. Ibnu Abdus menegaskan pendapat ini dalam Kitab Tadzkirahnya. Adapun riwayat kedua adalah tidak merusak akad. Menurutku, ini adalah yang benar. Pola ini menyerupai beberapa masalah utang piutang yang dibarengi dengan syarat fasid. Dan ini merupakan dhahir dari pendapat pemilik kitab al-Mughny dan penjelasan dari mayoritas kalangan ulama Hanabilah. Kalangan terakhir ini berpendapat: Haram melakukan muamalah utang piutang dengan cara demikian itu, meskipun hal itu tidak menyebabkan rusaknya akad." (Al-Mardawi, Tashîhi al-Furû' li al-Mardâwi, Beirut: Dâr al-Ma'rifah, tt.: 4/204)

Kedua, ulama yang berpendapat bahwa akad utang piutang bisa rusak disebabkan syarat yang rusak. Pendapat ini dinyatakan oleh kalangan Mâlikiyah, pendapat shahih dari kalangan Syafi'iyah, dan sebagian kalangan Hanabilah. Sebagian dari pendapat-pendapat ini sudah kita sampaikan di atas. 

Walhasil, dengan kasus meminjami uang dengan syarat pihak yang diutangi sanggup meminjami sepeda memiliki dua pandangan hukum. Hukum pertama adalah boleh dan keberadaan syarat rusak berupa mau meminjami sepeda dianggap sebagai syarat mulgha (boleh diabaikan). Jika syarat tersebut dianggap mulgha, maka akad utang piutang sebagaimana dimaksud di atas bukan termasuk akad riba. Meskipun dalam hal ini juga masih ada perbedaan pendapat khususnya di kalangan Hanabilah. Mereka menyatakan haram, akan tetapi keharaman itu tidak mampu membatalkan akad. Hukum kedua adalah tidak boleh sehingga akad utang piutangnya harus dibatalkan. Pendapat ini merupakan pendapat shahih dari kalangan Syafi'iyah. Lantas bagaimana kemaslahatan yang perlu diambil? 

Akad yang menyerupai akad di atas setidaknya menyiratkan bahwa orang yang utang harus mengembalikan utangnya di majelis akad dengan rupa barang yang sejenis dengan barang yang diterima di majelis akad utang terjadi. Padahal dalam wilayah praktisnya, terkadang orang meminjam uang dengan jalan cash namun membayar utang dengan jalan mentransfer yang hal itu meniscayakan perbedaan tempat dan majelis antara pihak yang memberi utang dan pengutang. Terkadang utangnya di Surabaya, namun saat membayar akad, salah satu pihak ada di Jakarta. Terpaksa hal itu harus dibayar dengan jalan mentransfer ke rekening yang bersangkutan. Jika hal ini dipandang dengan pola pandangan hukum yang kedua, maka sudah pasti akad tersebut termasuk syarat yang rusak, atau bahkan dipandang haram oleh sebagian kalangan Hanabilah dan Syafiiyah. Namun, bila kita mengikuti pendapat yang pertama, maka syarat mentransfer pengembalian utang bukanlah termasuk syarat yang bisa membatalkan akad. Syarat tersebut ditengarai sebagai syarat mulgha. Wallahu a'lam bish shawab.
 
 
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur