Syariah

Ketika Dituduh Punya Utang, Penuduh atau Tertuduh yang Benar?

Sab, 13 Juli 2019 | 12:00 WIB

Ulasan tentang utang sering tak lepas dari pembahasan mengenai persengketaan. Kerap kita dapati seseorang menuduh orang lain memiliki utang padanya, tapi si tertuduh mengingkarinya. Ketegangan dan hubungan tidak harmonis pun terjadi. Dalam keadaan demikian, bagaimana syariat mengatur soal perkataan siapa yang dijadikan sebagai acuan kebenaran, penuduh atau tertuduh?
 
Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 
لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْواهُم ، لادَّعى رِجالٌ أموالَ قَومٍ ودِماءهُم ولكن البَيِّنَةُ على المُدَّعي واليَمينُ على مَنْ أَنْكر
 
“Andai semua klaim (tuduhan) manusia itu diterima, maka akan ada banyak orang yang mengklaim untuk menguasai harta orang lain, atau menuntut darah orang lain. Namun, mendatangkan bukti itu tanggung jawab orang yang mengklaim dan sumpah untuk mengingkari menjadi hak yang diklaim. (HR Baihaqi).
 
Imam Nawawi dalam menjelaskan hadits di atas memberikan penafsiran yang begitu mendalam, berikut penjelasan beliau:
 
وهذا الحديث قاعدة كبيرة من قواعد أحكام الشرع ففيه أنه لا يقبل قول الإنسان فيما يدعيه بمجرد دعواه بل يحتاج إلى بينة أو تصديق المدعى عليه فإن طلب يمين المدعى عليه فله ذلك
 
“Hadits ini merupakan kaidah pokok dari beberapa kaidah hukum syara’. Dalam hadits ini dijelaskan bahwa tuduhan seseorang tidak dapat diterima begitu saja, tapi membutuhkan bukti (atas tuduhannya) atau pembenaran dari orang yang dituduh. Jika orang yang menuduh menuntut sumpah pada orang yang didakwa, maka lakukanlah sumpah itu,” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim li An-Nawawi, juz 4, hal. 3).
 
Dalam prahara utang piutang ini, secara umum terdapat dua macam keadaan yang sering berlaku. Pertama, kedua belah pihak berbeda pendapat tentang adanya transaksi utang piutang yang pernah terjadi di antara keduanya. Si A tiba-tiba menuduh si B pernah berutang padanya, sementara si B mengklaim tidak pernah.
 
Dalam keadaan demikian, klaim adanya transaksi utang dari pihak penggugat tidak dapat diterima dan dibenarkan kecuali (1) tuduhan tersebut dibenarkan (diakui) oleh pihak tergugat; atau (2) pihak penggugat dapat menunjukkan bukti yang konkret atas terjadinya transaksi utang piutang, seperti adanya catatan tertulis tentang utang, adanya saksi adil yang mengetahui waktu terjadinya utang, dan bukti-bukti lain yang dapat diterima secara syara’ dan pihak tergugat tidak dapat menunjukkan bukti yang dapat membantah gugatannya atau bukti yang menunjukkan telah terbebasnya utangnya.
 
Tidak diterimanya berbagai tuduhan tentang utang selain berlandaskan pada hadits di atas, juga berdasarkan salah satu kaidah “al-Ashlu Bara’ah adz-Dzimmah” (hukum asal dari sesuatu adalah terbebasnya (orang yang didakwa) atas sebuah tanggungan). Hal ini seperti dijelaskan dalam kitab Syarh al-Muhadzab:
 
وإن ادعى على رجل دينا في ذمته فأنكره ولم تكن بينة فالقول قوله مع يمينه لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه و سلم قال : [ لو أن الناس أعطوا بدعواهم لادعى ناس من الناس دماء ناس وأموالهم لكن اليمين على المدعى عليه ] ولأن الأصل براءة ذمته فجعل القول قوله
 
“Jika seseorang mendakwa orang lain memiliki tanggungan (utang) padanya, namun orang tersebut mengingkarinya, dan ia tidak memiliki bukti, maka ucapan yang dibenarkan adalah ucapan orang yang didakwa beserta sumpahnya. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Andai semua klaim manusia diterima, niscaya seseorang akan menuntut darah dan harta orang lain, akan tetapi sumpah berlaku bagi orang yang didakwa’ dan karena hukum asal adalah terbebasnya orang yang didakwa atas sebuah tanggungan, maka ucapan yang dibenarkan adalah ucapan si tertuduh,” (Syekh Abu Ishaq Ibrahim as-Syairazi, Syarh al-Muhadzab, juz 3, hal. 411).
 
Kedua, kedua belah pihak sama-sama mengakui adanya transaksi utang piutang, tapi mereka berbeda pendapat apakah utang tersebut sudah dilunasi atau belum. Si A menuduh si B belum melunasi utangnya, sementara si B mengklaim sudah melunasinya. Dalam hal ini, jika ternyata orang yang menuduh memiliki bukti yang kuat atas utang yang ditanggung oleh orang yang tertuduh, dan orang yang tertuduh tidak mampu mendatangkan bukti atas telah terbebasnya utang yang ia tanggung, maka yang dibenarkan adalah orang yang menuduh.
 
Sedangkan jika keduanya sama-sama memiliki bukti yang kuat—penuduh memiliki bukti atas terjadinya transaksi utang, dan orang yang tertuduh memiliki bukti atas telah lunasnya utang tersebut—maka dalam keadaan demikian, putusan yang dibenarkan adalah menerima terhadap bukti milik orang yang tertuduh yang berupa terbebasnya utang yang ia tanggung. Dalam hal ini Imam as-Syairazi menjelaskan:
 
وهذا كما تقول في رجل أقام بينة بدين وأقام المدعي عليه بينة بالبراءة، فإنا نقدم بينة البراءة، لأنا تيقنا أن البراءة وردت على دين واجب فأزالته ونحن نشك هل اشتغلت ذمته بعد البراءة بدين بعدها، فلا نزيل يقين البراءة بالشك.
 
“Permasalahan ini seperti dalam kasus ketika seseorang mendatangkan bukti atas utang (yang ditanggung orang lain) dan orang yang dituduh (punya utang) juga memiliki bukti bahwa utangnya telah lunas, maka kita dahulukan bukti terbebasnya/lunasnya utang. Sebab kita meyakini bahwa terbebasnya utang berlaku atas utang yang telah tetap, lalu bukti tersebut menghilangkan terhadap utang yang ditanggung, sedangkan kita masih ragu, apakah orang yang tertuduh memiliki tanggungan lain setelah terbebasnya utang yang awal, maka keyakinan atas terbebasnya utang tidak bisa hilang dengan sebuah keraguan” (Syekh Abu Ishaq Ibrahim as-Syairazi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab, juz 1, hal. 35)
 
Bila keduanya sama-sama ragu tentang terbayarnya utang atau belum, maka yang dimenangkan adalah pihak penuduh. Sebab pada dasarnya mereka sepakat bahwa transaksi utang piutang pernah terjadi, tapi pada poin pelunasannyalah mereka berselisih (masih praduga). Dalam kaidah fiqih dikenal al-yaqînu lâ yuzâlu bisy syakki (fakta [hal yang sudah yakin terjadi] tak bisa dihilangkan dengan praduga). Tuduhan tersebut dianggap lebih faktual karena pihak tertuduh pun mengakui (iqrar) pernah melakukan transaksi utang, hanya saja di kemudian hari ia ragu dan tak punya bukti apakah sudah melunasinya atau belum.
 
Prinsipnya, manusia terbebas dari tanggungan utang dan siapa pun tak bisa seenaknya tiba-tiba melontarkan tuduhan sepihak. Ini aturan pokok alias hukum asal. Tuduhan atau klaim baru diperhitungkan tatkala ada bukti atau pengakuan (iqrar). Ketika bukti ada maka yang diharapkan adalah adu kuat bukti. Ada kaidah idzâ ta’âradha baina al-ashli wadh-dhâhir fihi qaulani (ketika bertentangan antara dalil asal dan dalil dhahir maka terdapat dua pendapat). Khusus dalam kasus ini yang dimenangkan adalah hal yang dhahir, yakni pengakuan dan bukti, sebab keduanya tergolong sebagai hujjah syara’ (dasar argumentasi hukum).
 
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tuduhan utang tidak dapat dibenarkan secara syara’ kecuali berdasarkan bukti yang kuat, atau terdapat iqrar (pengakuan) dari pihak tertuduh. Ketika kedua belah pihak sama-sama mendatangkan bukti, maka yang dapat dibenarkan adalah bukti yang menunjukkan atas terbebasnya utang. Ketika kedua belah pihak sadar pernah terjadi transaksi utang piutang, tapi lalu muqridl (pemberi utang) sebagai penuduh dan muqtaridl (penerima utang) tertuduh ragu tentang pelunasannya, maka yang dibenarkan adalah penuduh, sebab ada satu hal yang tidak mereka ragukan: pernah berlangsung akad utang piutang.
 
Ketentuan demikian merupakan ketetapan syariat Islam dalam menyikapi problem tuduhan-tuduhan utang. Jika ternyata masih terdapat pihak yang tidak terima atas ketetapan ini, maka alangkah baiknya persoalan tersebut diserahkan pada pengadilan atau hakim yang dapat menyelesaikan perselisihan yang terjadi, terlebih dalam kaidah fiqih dikenal istilah hukmu-l-hâkim yarfa’u-l-khilâf (keputusan hakim menghilangkan perselisihan). Wallahu a’lam.
 
 
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember