Syariah

Status Utang Orang Tua kepada Anak

Rab, 10 Juli 2019 | 07:30 WIB

Memuliakan orang tua merupakan salah satu budi pekerti yang mulia dan sangat dianjurkan dalam Islam. Perintah untuk bersikap baik pada kedua orang tua secara tegas tercantum dalam Al-Qur’an:

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia,” (QS al-Isra’: 23).

Di antara sikap baik kepada orang tua adalah memenuhi berbagai keperluan yang dibutuhkan mereka dengan cara membiayainya. Lantas bagaimana jika seandainya orang tua justru berutang pada sang anak? Apakah utang yang mereka tanggung wajib untuk dibayar, mengingat hal itu adalah uang anaknya sendiri?

Soal kewajiban membayar, para ulama mengategorikan tanggungan utang orang tua kepada anak sebagaimana utang pada orang lain. Artinya, orang tua punya tanggung jawab melunasi, dan anak memiliki hak untuk menagih bila orang tua dirasa sudah mampu membayarnya (menurut selain mazhab Hanbali). Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah:

ولو استقرض الأب من ولده فإنّ للولد مطالبته ، عند غير الحنابلة ، لأنّه دينٌ ثابتٌ فجازت المطالبة به كغيره وقال الحنابلة: لا يطالب

“Jika seorang ayah berutang pada anaknya, maka sang anak berhak untuk menagih utang tersebut menurut selain mazhab Imam Hanbali, sebab utang ayah tersebut merupakan sebuah tanggungan yang tetap (tsabit). Boleh (bagi anak) untuk menagih utang tersebut, seperti halnya utang-utang yang lain. Sedangkan menurut mazhab Hanbali, utang pada orang tua tidak boleh untuk ditagih,” (Kementrian Wakaf dan Urusan Keagamaan Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 5, hal. 86)

Meski begitu, utang orang tua pada anak ini memiliki kekhususan yang membedakannya dengan utang pada orang lain, yakni tentang hak memberikan sanksi oleh anak kepada orang tua. Dalam literatur fiqih hukuman tersebut adalah habsu (menahan/memenjarakan). Dalam konteks sekarang, sanksi itu bisa disetarakan dengan menyeretnya sebagai kasus hukum atau menyita barang-barang yang masih dibutuhkan muqtaridl (orang yang berutang). Syariat tidak membenarkan adanya hukuman yang dilakukan oleh anak kepada orang tua (Lihat: Syekh Syamsuddin ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, juz 4, hal. 333).
Ketentuan yang dijelaskan di atas berlaku bila akad utang dilakukan sesuai ketentuan syariat. Berbeda ketika anak sebatas menyerahkan uang pada orang tua tanpa ada penegasan penyerahan uang tersebut atas nama transaksi apa. Maka dalam hal demikian, perlu untuk diberikan penjelasan tentang akad yang dimaksud dalam penyerahan uang yang diberikan oleh anak pada orang tuanya.

Selain itu, perlu pula mempertimbangkan kondisi dan keadaan orang tua. Ketika orang tua dalam keadaan tidak mampu, maka uang yang diberikan oleh anak yang masih berkaitan dengan kebutuhan pokok kedua orang tuanya, seharusnya bukan atas nama akad utang, melainkan atas nama nafaqah (nafkah). Sebab anak memang diwajibkan untuk menafkahi kedua orang tuanya.

Kewajiban menafkahi orang tua ini berlaku bagi anak ketika sang anak dalam keadaan memiliki harta yang cukup, dan orang tuanya berada dalam keadaan tidak memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Kewajiban itu gugur ketika yang terjadi adalah sebaliknya (lihat: Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini, Kifayah al-akhyar, hal. 576).

Dapat disimpulkan bahwa utang orang tua terhadap anak statusnya sama halnya dengan utang pada orang lain, dalam hal orang tua wajib untuk dibayar dan anak berhak untuk menagih utang tersebut. 

Meski demikian sebaiknya secara praktik sangat penting mereka mengedepankan asas kekeluargaan dan mempertimbangkan budaya yang berlaku dalam sebuah keluarga. Rasanya sangat tidak elok jika seorang anak memberi utang orang tua yang sejak awal hidupnya didedikasikan untuk membesarkan dan menyukseskan anaknya. Tak heran jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam salah satu hadisnya:

أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِى مَالاً وَوَلَدًا وَإِنَّ وَالِدِى يَحْتَاحُ مَالِى. قَالَ: أَنْتَ وَمَالُكَ لِوَالِدِكَ إِنَّ أَوْلاَدَكُمْ مِنْ أَطْيَبِ كَسْبِكُمْ فَكُلُوا مِنْ كَسْبِ أَوْلاَدِكُمْ

“Seorang lelaki mendatangi Nabi, lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku memiliki harta dan anak, sedangkan orang tuaku membutuhkan hartaku.’ Rasulullah lalu bersabda, ‘Dirimu dan hartamu milik orang tuamu, sungguh anak-anak kalian itu termasuk yang paling baik dari usaha kalian. Maka makanlah dari hasil kerja anak-anak kalian,” (HR Baihaqi). Wallahu A’lam.


Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember.