Syariah

Apakah Ada Unsur Perjudian dalam Permainan Capit Boneka?

Ahad, 25 September 2022 | 10:00 WIB

Apakah Ada Unsur Perjudian dalam Permainan Capit Boneka?

Praktik permainan capit boneka telah lama berlangsung. Apakah di dalam permainan tersebut mengandung unsur perjudian?

Banyak permintaan ke penulis agar membahas mengenai hukum jual beli boneka dengan sistem capit claw. Sistem ini dilakukan dengan adanya mesin capit yang dipasang di dalam boks yang berisikan beragam boneka. 


Sebenarnya sistem ini sudah banyak dipraktikkan di berbagai supermarket di kota besar dan banyak peminatnya mencakup orang dewasa dan anak-anak. Bahkan, permainan ini semakin merambah ke toko-toko di wilayah pedesaan. 


Bagaimana sebenarnya hukum jual beli boneka dengan sistem capit claw tersebut? 


Setidaknya ada 2 ringkasan hasil kajian yang tersebar saat ini, antara lain:


Pertama, menurut hasil keputusan bahtsul masail FMPP XXXVII. Pada forum ini disepakati bahwa hukum capit claw dan human claw adalah haram karena illat perjudian (maisir/qimar). 


Kedua, MUI DI Yogyakarta menyatakan hukum capit claw tidak haram karena illat munadhalah atau adu ketangkasan. Uang yang diserahkan dinilai sebagai biaya menggunakan mesin. Sementara itu, boneka yang didapat adalah bagian dari buah keterampilan pengguna mesin. Alhasil, boneka itu dinilai sebagai hadiah keterampilan sehingga dipandangnya sebagai tidak haram. Lebih lanjut, fatwa tersebut menempatkan boneka sebagai layaknya poin.


Mengenal Perjudian

Judi dalam istilah fiqih sering diistilahkan dengan maisir atau qimar. Ciri utama dari judi, adalah sebagai berikut:


عِلّة القمار مَوْجُودَة لِأن كلا مِنهُما دائر بَين أن يغنم ويغرم


Artinya: “Illat perjudian terbentuk karena kedua belah pihak sama-sama berpeluang selaku pemenang dan sekaligus yang kalah.” (Taqiyuddin al-Hishny, Kifayatul Akhyar fi Hilli Ghayatil Ikhtishar, Damaskus: Dar al-Khair, 1994, juz 1, halaman 538).


Berdasarkan ibarat pendek tersebut, mafhum dari perjudian, adalah:


(1) Kedua pihak sama-sama mengeluarkan harta


(2) Kedua pihak sama-sama berpeluang untuk terambil hartanya


(3) Di dalam permainan capit claw dan human claw, masing-masing pihak (penjual dan pembeli) adalah sama-sama mempertaruhkan harta


(4) Apabila pihak yang menyerahkan uang tidak bisa menggunakan mesin, maka dia tidak mendapatkan boneka. Alhasil, uangnya hilang, sementara dirinya tidak mendapatkan apa-apa (yughram). Itu sebabnya permainan di atas masuk dalam ranah perjudian, sehingga bukan sekadar praktik gharar (spekulasi) yang masih bisa dishahihkan dengan adanya khiyar. Dan Forum Musyawarah Pondok Pesantren itu menyepakati akan hal ini.


(5) Hukum permainan capit claw dan human claw akan lain ceritanya, apabila setiap peserta dapat dipastikan dapat memperoleh boneka. Apabila kondisi ini terjadi, maka akad yang berlaku adalah baimuhaqalah atau munabadzah. Hukumnya masih bisa dishahihkan apabila disertai adanya khiyar. Namun, apabila tidak bisa dipastikan mendapatkan boneka, sehingga kadang dapat dan kadang tidak, maka permainan itu adalah murni perjudian (maysir).


Mengenal Munadhalah atau Adu Ketangkasan

Munadhalah (adu ketangkasan) adalah bagian dari akad musabaqah (perlombaan adu cepat). Tujuan dari disyariatkannya munadhalah adalah untuk uji keterampilan.


المناضلة إنما تراد ليعرف بها فضل أحدهما على الآخر، فكانت موضوعة على التساوي


Artinya: “Yang dikehendaki dari permainan adu ketangkasan adalah untuk mengetahui kelebihan salah satu pihak atas pihak lainnya (dalam hal ketangkasan). Oleh karena itu, konteks yang berlaku adalah kesamaan dalam hal keterampilannya.” (Al-Umrany, Al-Bayan fi Madzhab al-Imam al-Syafii, Jiddah: Dar al-Minhaj, 2000, Juz 7, halaman 448).


Sebagaimana diketahui, bahwa baik akad musabaqah maupun munadhalah, adalah cabang dari akad ijarah atau ju’alah.


Di dalam akad ijarah, ada pihak yang berlaku sebagai penyewa (ajir) dan yang disewa (musta’jir). Pihak yang disewa berhak atas upah. 


Secara ju’alah, ada pihak yang memberi pekerjaan (ja’il), dan ada pihak yang diberi pekerjaan (maj’ul lah/‘amil). Pihak yang diberi pekerjaan, berhak atas komisi apabila bisa menyelesaikan misi yang disampaikan oleh ja’il.


Nah, dalam akad munadhalah, pihak lawan tanding menempati derajat musta’jir (pihak yang disewa) atau maj’ul lah (pihak yang mendapat proyek/sayembara). 


Yang dikehendaki dari pihak yang disewa atau lawan adu ketangkasan, adalah amal-nya (pekerjaannya) dan bukan uangnya.

الجُعْل يَئُولُ إلى اللُّزُومِ إذا عَمِلَ العَمَلَ


Artinya, “Komisi berlaku apabila pekerjaan itu telah ditunaikan.” (Al-Buhuty, Kasyaf al-Qina’ ‘an Matn al-Iqna’, Beirut: DKI, tt., juz III, halaman 371)


Berangkat dari sini, maka seharusnya pihak pembeli (lawan adu ketangkasan) tidak dipungut uang.


Dalam faktanya, pada permainan capit claw dan human claw, lawan tanding justru dipungut uang. Apabila lawan tanding tidak bisa menyelesaikan misi, maka uangnya hilang (yughram). 


Itu sebabnya terpenuhi illat yaghnam aw yughram (ada pihak yang kalah atau menang). Dan illat ini adalah identik dengan perjudian. Alhasil, permainan tersebut bukan munadhalah melainkan perjudian.


Simpulan

Sebagai kesimpulan dari tulisan ini, adalah: 


1. bahwa baik permainan capit claw maupun human claw, keduanya memenuhi ta’rif standar dari perjudian (maysir/qimar). Oleh karena itu, kedua permainan itu adalah secara nyata dihukumi sebagai haram syar'an


2. Keduanya ada kemungkinan bisa disahihkan, dengan catatan apabila pihak pembeli “bisa dipastikan” mendapatkan barang. Ketika kondisi ini terjadi, maka akad yang berlaku berubah menjadi akad bai’ munabadzah atau muhaqalah. Rusaknya praktik ini, adalah semata karena illat gharar. Namun, satu gharar yang terjadi pada satu akad, masih bisa dishahihkan apabila disertai adanya khiyar (opsi melanjutkan atau membatalkan akad). Ketiadaan khiyar, menjadikannya tetap dalam hukum keharamannya.


Ustadz Muhammad Syamsudin, peneliti Bidang Ekonomi Syariah–Aswaja NU Center PWNU Jatim.