Sirah Nabawiyah

Praktik Judi pada Zaman Jahiliah 

Sen, 22 Agustus 2022 | 17:00 WIB

Praktik Judi pada Zaman Jahiliah 

Judi bukan hal baru dalam kehidupan masyarakat Arab modern. Judi sudah dipariktikkan juga pada masyarakat Arab Jahiliyah

Sebelum diharamkan, praktik perjudian sudah mendarah daging di kehidupan masyarakat jahiliah. Mereka melakukan perjudian ada kalanya sebatas untuk bersenang-senang, ada pula yang memang menjadikannya sebagai salah satu mata pencaharian.


Hanya saja, karena praktik ini memiliki banyak mudharat seperti pemborosan, menimbulkan permusuhan, dan sebagainya, maka Islam mengharamkannya. 


Dalam bahasa Arab, yang juga disebutkan dalam Al-Qur’an, kata ‘judi’ diistilahkan dengan ‘al-maysir’ (الْمَيْسِر) yang secara etimologi berarti ‘mudah’. Kata ‘al-maysir’ sendiri diambil dari kata ‘yusrun’ (يُسْرٌ)  yang memiliki arti gampang atau mudah. Alasan penamaan ini karena praktik judi dianggap sebagai upaya mendapatkan kekayaan tanpa harus bekerja keras. (Az-Zamaskhsyari, Tafsir al-Kasysyaf, 1998: juz I, halaman 427) 


Judi pada Zaman Jahiliah 

Zaman jahiliah merupakan masa saat Nabi Muhammad belum diutus. Kendati masyarakat jahiliah terkenal banyak pelanggaran moralnya seperti memiliki fanatisme kesukuan, membunuh anak perempuan, dan sebagainya, akan tetapi mereka masih memiliki beberapa sifat luhur seperti dermawan, menepati janji, kompak, dan sebagainya. 


Sejarawan Sayfurrahman al-Mubarakfuri menjelaskan, saking tingginya sifat dermawan masyarakat jahiliah, ketika rumah mereka didatangi tamu padahal kondisi ekonomi keluarga sedang sangat memburuk, mereka akan tetap menghormati tamu tersebut dengan jamuan hidangan terbaik. Bahkan andaikan hanya memiliki satu ekor unta, mereka akan menyembelihnya untuk disuguhkan pada si tamu. 


Salah satu ekspresi kedermawanan ini adalah kebiasaan meminum khamr dan berjudi. Mengonsumsi khamr bagi mereka merupakan simbol kedermawanan, karena di sinilah mereka bisa menghambur-hamburkan uang. Sementara dalam praktik judi, biasanya keuntungan hasil permainan ini akan disedekahkan untuk fakir miskin. (Sayfurrahman al-Mubarakfuri, Rahiq al-Makhtum, 2016: halaman 29) 


Demikianlah gambaran mengonsumsi khamr dan praktik judi pada zaman jahiliah. Masyarakat lebih memandangnya sebagai ekspresi kedermawanan, tanpa disadari bahwa sebenarnya di balik itu banyak mudharat yang mengintai. 


Pengharaman Judi

Praktik perjudian bagi masyarakat jahiliah sudah begitu mentradisi dan menjadi bagian dari hidup. Oleh sebab itu, Allah swt tidak langsung menurunkan ayat yang mengharamkannya, akan tetapi terlebih dahulu menjelaskan bahwa dalam permainan judi terdapat banyak mudharat yang merugikan banyak pihak. Allah swt berfirman, 


يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِۗ قُلْ فِيْهِمَآ اِثْمٌ كَبِيْرٌ وَّمَنَافِعُ لِلنَّاسِۖ وَاِثْمُهُمَآ اَكْبَرُ مِنْ نَّفْعِهِمَاۗ وَيَسْـَٔلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ ەۗ قُلِ الْعَفْوَۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَۙ 


Artinya, “Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, ‘Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.’ 


Mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, “Kelebihan (dari apa yang diperlukan).” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan.” (QS Al-Baqarah [2]: 219) 


Pada ayat ini praktik perjudian belum diharamkan, hanya saja Allah swt menyinggungnya bahwa judi sebenarnya memiliki manfaat seperti berpotensi menguntungkan pemainnya, akan tetapi mudharatnya lebih besar lagi karena menjadi menyebabkan banyak kerugian, melalaikan dari berdzikir, menimbulkan permusuhan, dan sebagainya. Sehingga, setelah turun ayat ini, sebagian orang mulai meninggalkan, tapi masih banyak juga yang melakukannya. 


Imam al-Qurthubi dengan mengutip Ibnu Abbas menjelaskan, sebab turunnya ayat ini adalah sekali waktu pada masa jahiliah ada seorang laki-laki beradu spekulasi dengan laki-laki lain dengan taruhan berupa keluarga dan harta bendanya. Siapa yang undiannya keluar, maka ia berhak membawa harta laki-laki lainnya beserta keluarga. (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 2019: juz II, halaman 41) 


Kemudian, setelah masyarakat sudah mulai mengerti bahaya judi, Allah swt menurunkan ayat yang mengharamkan permainan merugikan ini. Disebutkan dalam Al-Qur’an, 


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. اِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطٰنُ اَنْ يُّوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاۤءَ فِى الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ وَعَنِ الصَّلٰوةِ فَهَلْ اَنْتُمْ مُّنْتَهُوْنَ 


Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung. 


Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan shalat, maka tidakkah kamu mau berhenti?” (QS Al-Maidah [5]: 90-91) 


Imam Al-Qurthubi menjelaskan, alasan Allah swt menurunkan keharaman judi dan meminum khamr secara bersamaan karena keduanya memiliki keserupaan. Pertama, meminum sedikit khamr sehingga tidak memabukkan hukumnya haram, sebagaimana bermain judi hukumnya haram meski tidak memabukkan. 


Kedua, meminum khamr bisa membuat orang lalai beribadah karena pengaruh memabukannya, demikian juga judi bisa membuat pemainnya larut dalam kesenangan sehingga membuatnya lalai. (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 2006: juz VIII, halaman 165) 


Simpulannya, alasan judi diharamkan dalam Islam karena memiliki beberapa faktor, yaitu; merugikan banyak pihak, bisa menyulut api permusuhan antar sesama, membuat seseorang lalai untuk beribadah kepada Allah swt, dan pelakunya bisa terjerumus dalam mengonsumsi barang haram karena uang hasil judi jelas haram. Wallahu a’lam. 


Ustadz Muhamad Abror, penulis keislaman NU Online, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta.