Syariah

Awas Money Game: Beda Top Up yang Boleh dan yang Haram

Rab, 17 Maret 2021 | 06:30 WIB

Awas Money Game: Beda Top Up yang Boleh dan yang Haram

Top up yang halal dan yang haram bisa dikenali dengan mencermati sisi manfaat yang diperoleh oleh pengguna aplikasi.

Mengetahui istilah token saja, pembaca tentu banyak yang sudah paham gambaran fisik atau praktiknya. Gambaran sederhananya ada pada praktik isi ulang pulsa listrik pra bayar, pulsa kartu seluler handphone, saldo kartu E-Tol, dan sejenisnya. Proses melakukan isi ulang itu dikenal dengan istilah top up, atau topping up.

 

Ketika Anda top up pulsa listrik, misalnya, Anda bisa melakukan transaksi lewat platform penyedia layanan tersebut atau datang ke suatu konter pulsa listrik, lalu Anda menyerahkan sejumlah uang, kemudian dari uang itu, Anda mendapatkan kode sandi (nomor token) yang Anda masukkan ke meteran listrik yang ada di rumah, dan Anda pun bisa menikmati fasilitas penerangan listrik.

 

Jadi, pada dasarnya, akad top up ini adalah akad kontrak dengan pembayaran suatu jasa yang dilakukkan di depan, sementara manfaat yang Anda peroleh bisa dinikmati di belakang hari.

 

Jika manfaat itu bisa Anda nikmati seketika itu juga maka itu artinya, kontrak yang Anda lakukan adalah masuk kelompok kontrak kontan (ijarah halan). Akan tetapi, jika manfaat itu hanya bisa Anda dapatkan bila Anda melewati fasilitas tertentu maka akad kontrak yang Anda lakukan adalah termasuk akad ijarah muajjalan (kontrak bertempo/berjangka) atau bisa juga disebut dengan ijarah maushufah fi al-dzimmah, atau ijarah salam.

 

Karena sifat kontraknya adalah ijarah maushufah fi al-dzimmah maka kartu E-Tol, token listrik, kartu SIM telepon seluler yang Anda pergunakan itu, dalam fiqihnya bisa disebut sebagai aset berjamin utang (ma fi al-dzimmah) atau dikenal juga sebagai maal duyun.

 

Inilah prinsip-prinsip dasar dari top up itu. Dengan demikian, top up secara fiqih dapat diartikan sebagai kontrak berjangka atas penggunaan suatu fasilitas tertentu, dan pembayarannya memanfaatkan harta yang tersimpan di balik aset fisik token (ma fi al-dzimmah).

 

Dualisme Pengertian Top Up

Menyimak dari paparan di atas, permasalahannya adalah ada dualisme pengertian top up yang selama ini dipraktikkan dalam dunia digital. Beberapa aplikasi menawarkan istilah top up tapi ketergunaan manfaat yang dikontrak itu tidak ada atau sesuatu yang tidak pas untuk disebut sebagai manfaat. Kalau mengontrak manfaat jalan tol maka jelas manfatnya jalan tol itu disifati dan dirasakan. Namun, jika manfaat itu berupa video yang dibikiin oleh seorang content creator maka hal itu menjadi masalah seiring harga top up-nya yang mahal. Agar lebih rinci dalam memahami masalah itu, mari kita simak penjelasannya sebagai berikut:

 

Token Berjamin Manfaat Mu’tabar

Maksud dari manfaat mu’tabar ini setidaknya ada tiga. Jika manfaat itu berupa barang maka barang itu bisa dikuasai. Jika manfaat itu berupa utang maka utangnya lunas. Jika manfaat itu berupa pekerjaan maka pekerjaannya terselesaiikan. Nah, token yang berjamin manfaat mu’tabar, secara tidak langsung harus memiliki ikatan dengan hal sebagaimana dicontohkan ini.

 

Mekanisme transaksi token berjamin utilitas mu’tabar seperti ini dilakukan dengan jalan: “setelah melakukan aksi top up, pihak pemegang token memiliki jaminan berupa bisanya dia memanfaatkan fasilitas/fitur tertentu yang disediakan oleh patform bersangkutan.” Suatu misal, setelah top up, pihak gammers mendapatkan fasilitas berupa tambahan “nyawa”. Akhirnya, dengan fasilitas nyawa itu, ia masih bisa menggunakan suatu game online sampai dengan nyawa itu habis. Bisanya ia menggunakan fitur nyawa itu menunjukkan adanya utilitas yang bisa dimanfaatkan.

 

Contoh sederhana yang lain adalah pemakaian fasilitas Youtube Premium. Ketika youtuber telah melakukan top up maka dia bisa menikmati video Youtube tanpa adanya jeda iklan. Alhasil, ada utilitas bebas gangguan iklan merupakan manfaat dari fitur tersebut. Manfaat berupa ketiadaan iklan telah dikontrak oleh pihak yang menyaksikan video. Adanya iklan memiliki ikatan relasi dengan youtuber pemilik konten, sebab iklan itu sumber pendapatan. Dengan adanya kontrak penonton, kewajiban memberi gaji kepada pemilik konten lewat iklan, sebagai yang diganti rugi (dlaman) oleh penonton.

 

 

Contoh lain lagi yang barangkali lebih dekat dengan kehidupan para pengguna laptop adalah top up penggunaan software Windows Premium atau fasilitas MS Office Premium, atau Netflix, Zoom, dan sejenisnya. Alhasil, ada beda yang cukup mencolok pada penggunaan fasilitas yang diperantarai dengan top up dan tidak pada masing-masing Software dan aplikasi yang sudah disebutkan di atas. Aktifnya fitur premium berbanding lurus dengan aksi top up.

 

Token Berjamin Manfaat Tidak Mu’tabar

Contoh dari token berjamin manfaat tidak mu’tabar adalah top up dengan jaminan ia bisa memberi harta kepada orang lain. Akad semacam ini secara nyata bertentangan dengan akad dlaman al-mal dan akad kafalah bi al-nafsi.

 

Perlu diketahui bahwa syarat bisanya pihak dlamin atau kafil bisa menanggung tanggung jawab orang lain adalah bila si dlamin atau si kafil (pihak penjamiin) memiliki ikatan relasi khusus dengan pihak madlmun ‘anhu atau pihak ashil (pihak yang ditanggung).

 

Ikatan ini bisa berupa ikatan yang bersifat tsubut (dipastikan adanya), atau bersifat luzumah (adanya setelah terjadinya sebab). Dan kedua relasi ini sifatnya harus pasti dan diketahui. Jika tanggungan itu berupa utang maka berapa besaran utangnya harus diketahui (ma’lum). Jika berupa pekerjaan maka jenis dan apa yang dikerjakan juga harus diketahui. Dan bila tanggungan itu berupa barang maka jenis dan macam barang, harus bersifat terlebih dulu diketahui oleh penjamin.

 

Saat ini, ada beberapa aplikasi yang menggunakkan istilah top up, namun setelah melakukan top up tersebut, harta/saldo top up, memiliki ikatan kelaziman harus diberikan kepada orang lain. Saldo itu diistilahkan dengan diamond. Alhasil, karena diamond itu bersifat dibeli maka diamond itu merupakan harta token yang berjamin utang.

 

Harga diamond itu pun juga diketahui, dan harganya meningkat seiring jumlah diamond yang dibeli atau diakuisisi. Misalnya, pada aplikasi Snack Video, 70 diamond berharga 16 ribu rupiah. 200 diamond berharga 50 ribu rupiah. 300 diamond berharga 100 ribu rupiah, dan seterusnya, hingga mencapai harta jutaan . Hal yang sama juga berlaku atas aplikasi TikTok. Dua-duanya menampilkan konten-konten video dalam durasi pendek.

 

 

Dari hasil pembelian diamond tersebut, selanjutnya pihak yang melakukan top up, memberikan sticker berupa like, love, dan semacamnya yang masing-masing sticker tersebut bisa dicairkan sebagai uang. Alhasil kedudukan sticker itu menyerupai sebuah voucher dengan aset penjaminnya terdiri dari diamond, di mana diamond itu merupakan harta yang berjamin utang, sebagaimana telah diuraikan di atas.

 

Uniknya, di dalam kedua aplikasi terakhir ini (Snack Video dan TiktTok), sticker itu diberikan kepada pihak content creator atas nama hadiah (gift). Uniknya lagi, pihak yang telah membeli diamond iitu kemudian berharap mendapat imbalan lain dalam bentuk Koin Digital yang juga sama-sama bisa dicairkan menjadi rupiah. Sifat atau relasi pemberian hadiah ini adalah bersifat luzumah, dan bukan bersifat tsubutah. Alhasil, saldo deposit diamond akan berkurang seiring pemberian like, love, dan sejenisnya.

 

 

Inilah masalah utamanya. Top up diamond, namun hasil top up-nya diberikan kepada orang lain atas nama hadiah (gift). Sudah barang tentu relasi ini tidak bersifat mu’tabar. Alasannya, karena ketiadaan utilitas (manfaat) yang bisa diterima oleh pihak yang melakukan top up. Antara ia yang melakukan top up dan tidak melakukan top up, menerima fasitas dan fitur yang sama. Ibaratnya, sebuah jalan umum, namun jika A lewat maka ia membayar, dan bila si B yang lewat atau C yang lewat maka tidak membayar. Pungutan yang dikenakan pada A itu disebut apa? Dalam syariat, secara jelas itu masuk kelompok muksu (pungutan liar).

 

Itu sebabnya, hasil kajian penulis pada beberapa tulisan yang lalu terkait dengan hukum Snack Video, adanya pola apresiasi semacam inilah, yang menyebabkan aplikasi tersebut dihukumi sebagai haram. Alasannya, sebab hal itu seolah menyerupai praktik member membayar member. Kreator konten adalah member. User yang memberikan apresiasi juga merupakan member.

 

Adanya mekanisme pembayaran member oleh member lain ini yang merupakan alasan bagi terbitnya status pengalabuan (taghrir dan tadlis) yang dilakukan oleh pihak platform. Secara fiqih, pihak content creator adalah pihak yang diberi pekerjaan oleh Platform. Seharusnya, pihak yang berkewajiban menggaji adalah pihak platform tersebut dan bukan malah diberikan kepada pihak lain, yang tidak punya relasi ikatan apa pun dengan Platform. Jika pola semacam ini terjadi maka secara akad, sistem penggajian itu menjadi sistem hiwalah fasidah, disebabkan adanya penngalihan kewajiban menggaji dari Platform kepada pihak lain. Pihak Platform seolah cuci tangan dari keharusan menggaji.

 

ولا تجوز الحوالة إلا على من له عليه دين لأنا بينا أن الحوالة بيع ما في الذمة بما في الذمة فإذا أحال من لادين عليه كان بيع معدوم


“Tidak boleh mempraktikkan oper tanggugan kecuali kepada orang yang memiliki ikatan utang kepada pihak yanng mengalihkan. Karena kita sudah mengetahui secaraa jelas bahwasanya hiwalah itu pada dasarnya adalah jual beli aset berjamin dengan aset berjamin yang lain. Karenanya, apabila ada pengalihan kepada orang yang tidak memiliki relasii utang kepada pihak pengalih maka akad semacam adalah sama artinya dengan jual beli barang ma’dum (fiktif).” (Al-Muhaddzab fi Fiqh al-Imam al-Syafi’i, juz 2, halaman: 144).

 

Kesimpulan Hukum

Seiring adanya dualisme istilah top up di dalam aplikasi digital maka untuk memudahkan cara mengenali bahwa suatu top up sebagai yang halal dan sebagai yang haram adalah dengan mencermati sisi manfaat yang diperoleh oleh pengguna aplikasi.

 

Ada dua sisi manfaat dalam syariat, yang dalam hal ini kita istilahkan sebagai manfaat mu’tabar dan manfaat yang tidak mu’tabar.

 

Contoh dari manfaat mu’tabar adalah setelah melakukan top up, kita bisa mengakses fitur tertentu yang membedakan diri dari yang gratisan. Contoh dari manfaaat yang tidak mu’tabar adalah setelah melakukan aksi top up, kita tidak menerima fitur khusus, tetap menerima perlakuan sama dengan user lainnya, namun kita kehilangan harta, sementara pihak lain tidak kehilangan harta.

 

Satu pertanyaan yang mudah untuk membedakannya adalah seandainya ada pihak pengguna Facebook gratisan, sementara Anda harus top up untuk memberi apresiasi teman Anda, apakah Anda rela? Jawab dengan hati nurani Anda! Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur