Syariah

Equity Crowdfunding dalam Perspektif Hukum Islam

Sen, 24 Mei 2021 | 13:30 WIB

Equity Crowdfunding dalam Perspektif Hukum Islam

Equity crowdfunding, menurut para fuqaha kontemporer diistilahkan dengan akad syirkah musahamah, hasil modifikasi dan hasil pendekatan hukum terhadap konsepsi akad syirkah, qiradl, dan mudharabah.

Dalam dunia ekonomi modern, equity crowdfunding merupakan sebuah cara untuk melakukan penggalian modal usaha melalui program urun dana lewat pasar sekunder atau pasar modal. Istilah klasiknya adalah gotong royong/patungan mendirikan usaha. Akan tetapi pesertanya terdiri dari orang-orang yang tidak kita kenal dan tempat tinggalnya jauh. Pihak penjaminnya adalah aparat penegak hukum positif negara. Mereka terdiri dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi).

 

Menurut teori ekonomi klasik, yang dinamakan patungan usaha itu ya dilakukan oleh beberapa orang yang kita kenal. Mau mengajak orang yang tidak dikenal, dan lokasinya berjauhan, tentu sangat riskan. Yang mau keluar dana itu pasti akan mikir-mikir. Bagaimana uang hendak diserahkan, sementara pihak penerimanya tidak dikenal? Jadi, masalah yang hadir adalah masalah kepercayaan (amanah). Nah, dalam equity crowdfunding, masalah kepercayaan ini didekati dengan jaminan hukum dari otoritas yang berwenang.

 

 

Equity Crowdfunding dalam Konteks Fiqih Klasik

Ditinjau dari sisi fiqih klasik, ketika ada 2 orang atau lebih melakukan kesepakatan untuk saling bekerja sama mendirikan sebuah usaha, melakukan urun modal secara bersama-sama dengan jenis modal yang sama, untuk mendapatkan keuntungan yang akan dinikmati bersama, dengan usaha yang dijalankan bersama, untung rugi ditanggung bersama, maka tidak kita ragukan lagi bahwa akad semacam ini kita kenal sebagai akad kemitraan (syirkah). Kadang kita menyebutnya sebagai koperasi.

 

Karena modalnya ada dalam bentuk modal tunai, maka syirkahnya dinamakan dengan syirkah ‘inan. Dlawabith (batasan syara’) dari syirkah ‘inan adalah akad ini bisa dirusak kapan saja oleh kedua pelaku yang terjalin dalam kemitraan.

 

Karena sifat usahanya harus dijalankan secara bersama-sama, maka di dalam akad syirkah ‘inan ini, meniscayakan adanya hubungan antarpersonal anggota syirkah untuk saling mengenal satu sama lain. Paling tidak, kehadiran kedua belah pihak atau lebih dari anggota yang terjalin dalam akad kemitraan adalah suatu hal yang menjadi suatu keniscayaan disebabkan harus adanya kerja dan usaha bersama-sama.

 

Jika ada salah satu pihak yang hanya setor modal saja, tanpa melakukan kerja bersama, maka akad syirkah ‘inan ini menjadi gugur (fasidah) sehingga tidak bisa disebut sebagai syirkah ‘inan lagi. Lalu disebut akad apa? Bisa jadi adalah akad qiradl, atau mudharabah, atau murabahah. Namun, dalam konteks ketiga akad terakhir, meniscayakan adanya modal 100% berasal dari rabbu al-mal (pemodal). Jika hal itu dilakukan pada dunia pertanian, maka termasuk jenis akad musaqah, atau muzara’ah atau mukhabarah.

 

 

Ketika Jarak dan Waktu Diperhitungkan untuk Penyerahan Modal

Untuk mendirikan usaha, seseorang butuh modal. Modal ini terkadang sulit didapatkan dari orang terdekat atau orang yang dikenal. Ada banyak faktor yang menjadi alasan sulitnya penggalian dana itu. Namun di era modern ini, jarak dan waktu bisa dijembatani oleh media. Meski demikian, sifat menjembatani ini merupakan sesuatu yang bersifat relatif. Artinya, uangnya bisa hadir, namun orangnya yang tidak bisa hadir. Dan ini menjadi kendala ketika hal itu berkaitan dengan pendirian usaha dengan basis akad syirkah.

 

Karena orangnya tidak bisa hadir, dan yang bisa hadir hanya uangnya saja, sehingga tidak mungkin melakukan kerja bersama untuk mendapatkan keuntungan bersama, maka ketika dua pihak tersebut memutuskan untuk menjalin kerja sama mendirikan sebuah usaha, dibutuhkan sebuah akad yang bisa mengadopsinya.

 

Jika mengikutii konsep fiqih turats, maka hanya ada 3 kemungkinan akadnya, yaitu murabahah, qiradl, dan mudharabah. Jika usaha itu tidak berbasis jual beli, maka yang tersisa hanya dua akad, yaitu akad qiradl dan akad mudharabah.

 

Namun, kedua akad ini meniscayakan 100% modal adalah dari rabbu al-mal (pemodal). Alhasil, akad urun modal itu tidak bisa dikelompokkan ke dalam akad keduanya juga. Lantas, apa solusi yang musti dilakukan? Apakah dimasukkan ke dalam akad qardl (utang-piutang) saja?

 

Dalam hokum Islam, akad penyerahan uang kepada pihak lain dengan harapan kembali sebagaimana besarannya uang itu sendiri dengan pergantian fisik pada barang yang diserahterimakan, adalah akad qardl (utang-piutang) di satu sisi dan termasuk akad bai’ muajjal (jual beli tempo) di sisi yang lain. Dari keduanya, tidak boleh ada kelebihan dalam pengembalian. Jika terjadi adanya kelebihan maka pelakunya dapat terseret dalam pusaran arus riba qardli atau riba al-yad yang diharamkan.

 

 

Masalahnya, Pihak Pemodal Butuh Untung

Sekali lagi, situasi ini berlaku ketika ada dua pihak atau lebih yang sepakat untuk patungan mendirikan sebuah usaha. Pihak yang hendak dimodali bisa jadi sudah setengah jalan usahanya, atau memang sama sekali baru namun dirinya juga punya modal (misalnya 40% dari modal yang dibutuhkan).

 

Sementara itu, sisa modal yang lain diperoleh dari pemodal lain dengan total 60%; atau 30% dari pemodal kedua, dan 30% dari pemodal ketiga; dan bila digabungkan akan menjadi total 100% modal usaha. Pihak pemodal kedua dan ketiga, ada di lokasi yang jauh dari pelaku usaha sehingga tidak mungkin ikut andil bekerja bersama. Modal itu benar-benar digunakan untuk mendirikan usaha, dengan untung rugi ditanggung bersama. Nah, akad semacam ini termasuk akad apa?

 

Equity Crowdfunding dalam Konteks Fiqih Kontemporer

Para fuqaha kontemporer menamai akad sebagaimana telah diuraikan di atas, sebagai akad syirkah musahamah (kemitraan berbagi saham). Namun, masyarakat modern menyebutnya sebagai equity crowdfunding. Menurut konteks hukum positiif negara, kegiatan ini diatur oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 37/POJK.04/2018.

 

Ketika membahas akad ini, para fuqaha kontemporer, misalnya sepertii Syekh Wahbah Al-Zuhaili dan Syekh Abdul Wahab Khalaf mengambil dasar tarjihat (indikator dalil) pada hishah (nisbah modal) yang dimiliki oleh masing-masing pemodal (rabbu al-mal).

 

Faktor murajjih lainnya adalah bahwa modal itu memang benar-benar digunakan untuk membangun usaha sehingga bukan untuk semata dikonsumsi (modal konsumtif). Di sisi lain yang digunakan untuk mendukung adalah masalah dlarurat jarak antara masing-masing pemodal. Selebihnya, ada pendekatan terhadap dalil nash bahwa antara mukmin satu dengan mukmin yang lain adalah ibarat 1 tubuh yang menguatkan antara satu sama lain. Jadi, urun dana untuk modal usaha yang diwadahi oleh satu personal/badan penyelenggara, adalah diqiyaskan layaknya satu badan/satu jiwa berbekal dalil nash ini.

 

Berbagai illat di atas, yang sebenarnya diambil berdasarkan tarjihat terhadap beberapa dalil hikmah ini, adalah digunakan sebagai faktor penguat bahwa kerja sama permodalan di atas dihukumi sebagai boleh dengan alasan dlarurah li al-hajah. Hajat itu adalah hajat membangun kemaslahatan bersama.

 

Keberadaan tarjihat ini juga tidak menisbikan bahwa penyerahan modal kepada pihak lain yang tidak dikenal, dan tidak memenuhi kaidah qiradl dan mudharabah, pada dasarnya adalah termasuk akad utang. Keberadaan pihak penjamin secara hukum itulah yang menjadikan akad ini menjadi tidak sepenuhnya dipandang sebagai utang, melainkan menjadi berbasis permodalan. Alasannya, sebab ada ruang usaha yang jelas.

 

Faktor yang memberatkan hanya disebabkan, pihak pemodal seringkali berada di luar wilayah pengusaha sehingga tidak mungkin duduk dan melakukan usaha bersama. Alhasil, menetapkan syarat kepada para pemodal (investor) ini untuk kerja bersama-sama menjalankan satu usaha merupakan faktor yang sulit terjadi. Jadi, membutuhkan upaya kemudahannya (al-masyaqqah tajlib al-taisir). Urun modalnya tetap diperhatikan, ruang usahanya juga tetap dipertimbangkan, sementara keikutsertaan diperingan, atau keharusan modal 100% untuk qiradl dan mudharabah menjadi diperingan.

 

Legalitas Akad Equity Crowdfunding dalam Hukum Islam

Dalam konteks akad syariah, persentase bagi hasil saham, ditentukan berdasarkan nilai untung-rugi yang terjadi dalam perjalanan usaha. Persentase ditentukan berdasarkan nisbah modal yang disertakan. Misalnya, nilai valuasi aset adalah senilai 1 miliar rupiah dan dibagi 100 ribu lembar saham. Harga per saham secara tidak langsung bernilai 10 ribu rupiah. Jika ada seseorang yang mengakomodir 10 ribu lembar saham, itu artinya dia mengakuisisi aset perusahaan senilai 100 juta rupiah, sehingga modal yang disertakan menempati nisbah 10% dari total aset yang divaluasi.

 

Melalui nisbah ini, pihak yang mengakuisisi saham, berhak mendapatkan bagi hasil sebesar 10% dari keuntungan usaha (deviden), atau menanggung kerugian sebesar 10% kerugian. Demikian halnya dengan ongkos usaha atau gaji, maka seolah pihak ini menanggung 10% dari total ongkos usaha atau gaji.

 

Syirkah semacam inilah yang dimaksud sebagai syirkah musahamah. Syekh Wahbah Al-Zuhaili menegaskan mengenai aplikasi syirkah ini sebagai berikut:

 

لا مانع شرعاً من إنشاء شركة مساهمة ذات مسؤولية محدودة برأس مالها، لأن ذلك معلوم للمتعاملين مع الشركة وبحصول العلم ينتفي الغرور عمن يتعامل مع الشركة.

 

“Tidak ada larangan membikin syirkah musahamah berdasar pertanggungjawaban nisbah modal yang disertakan, karena hal demikian itu merupakan yang sudah maklum di kalangan orang yang terlibat dalam muamalah. Dan berkat ilmu pengetahuan, unsur penipuan (praktik ghurur) di dalam akad ini bisa dihilangkan atas semua pihak yang tergabung bersama dalam akad kemitraan.” (al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, juz 7, h. 194).

 

Bagaimana bila saham-saham itu dijual di pasar sekunder atau pasar modal lewat pedagang perantara efek atau manajer investasi? Syekh Wahbah Al-Zuhaili kembali menegaskan:

 

للجهات الرسمية المختصة أن تنظم تداول بعض الأسهم بأن لا يتم إلا بواسطة سماسرة مخصوصين ومرخصين بذلك العمل، لأن هذا من التصرفات الرسمية المحققة لمصالح مشروعة.

 

“Untuk beberapa saluran resmi (media) yang menawarkan saham kepada masyarakat, mereka boleh menyelenggarakan trading saham itu sebab peredarannya tidak mungkin sempurna tanpa melalui adanya pedagang perantara (samsarah) (manajer investasi), atau pihak-pihak yang diberi keringanan untuk menjalankannya. Praktik ini dibolehkan dengan alasan penyelenggaraan trading melalui saluran resmi tersebut merupakan yang nyata dapat menghadirkan kemaslahatan yang masyru’.” (al-Fiqhu al-Islamy wa adillatuhu, juz 7, h. 194).

 

Itulah sekilas beberapa pokok pemikiran dan dasar bagi diterapkannya equity crowdfunding, yang menurut bahasa para fuqaha kontemporer diistilahkan dengan akad syirkah musahamah. Akad ini tidak termaktub dalam fiqih turats (fiqih tradisional). Namun, akad ini merupakan modifikasi dan hasil pendekatan hukum terhadap konsepsi akad syirkah, qiradl, dan mudharabah. Maslahat yang didapat dari akad syirkah musahamah ini, menurut fuqaha kontemporer, boleh karena dlarurat li al-hajah (kebutuhan). Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

Muhammad Syamsudin, Direktur eL-Samsi, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim, dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim