Mengenal Kapengulon: Kantor Urusan Agama dari Era Kerajaan Hingga Masa Kolonial Belanda
NU Online · Ahad, 15 Juni 2025 | 19:00 WIB
Muhamad Iqbal Akmaludin
Kolomnis
Sejak masa Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara pada abad ke-16, urusan agama telah menjadi salah satu unsur penting dalam pemerintahan, berdampingan dengan urusan militer dan sosial-ekonomi. Dalam praktiknya, Sultan atau Raja menyerahkan tanggung jawab urusan keagamaan kepada seorang penghulu atau kadi (hakim agama).
Menurut Nasrudin dalam artikel “Silang Kuasa Dalam Pengelolaan Zakat Era Kolonial Belanda,” untuk menunjang tugas para penghulu, para Raja atau Sultan membentuk suatu lembaga khusus peradilan agama kerajaan yang dikenal sebagai “Kapengulon”. (M Nasrudin “Silang Kuasa Dalam Pengelolaan Zakat Era Kolonial Belanda, An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol VII, No 2 (2015) hlm. 208)
Nasrudin menyebutkan bahwa fungsi utama Kapengulon adalah menjalankan hukum Islam secara yuridis, termasuk menangani perkara-perkara seperti pernikahan, perceraian, rujuk, zakat, wakaf, infak, warisan, dan sedekah. Proses peradilan ini umumnya dilakukan di serambi masjid, sehingga masyarakat mengenalnya dengan istilah “Pengadilan Serambi Masjid”. Selain bertugas sebagai hakim, para penghulu juga sering kali merangkap sebagai imam masjid di wilayahnya.
Nasrudin menyebutkan saat kedatangan Belanda ke wilayah Nusantara pada abad ke-17 hingga awal abad ke-20, Belanda melihat praktek Kapengulon ini sangat penting untuk kestabilan tatanan sosial-keagamaan di Nusantara, mereka pun mengadopsinya dengan nama baru: Raad Agama atau Peradilan Agama, dan tetap memungsikannya sebagai pelaksana urusan keagamaan dalam sistem pemerintahan kolonial. Setelah berada di bawah pemerintahan Kolonial Belanda, para penghulu kemudian tidak hanya mengurus urusan agama, tapi juga menjalankan fungsi sosial-politik di masyarakat, terutama di wilayah administratif yang penting. (hlm. 208).
Pada tahun 1829, Gubernur Jenderal Belanda menetapkan kedudukan penghulu dan jaksa sebagai penasihat dalam pengadilan kabupaten. Setahun kemudian, posisi penghulu diperluas dengan memasukkan Kapengulon sebagai bagian dari “Landraad” (pengadilan negeri).
Amelia Fauzia menyebutkan dalam tulisannya berjudul “Antara Hitam dan Putih: Penghulu pada Masa Kolonial Belanda”, bahwa kebijakan ini bertujuan membatasi pengaruh Islam serta mempermudah upaya kristenisasi dan integrasi hukum pribumi ke dalam sistem hukum Eropa (sistem hukum yang mereka anggap lebih baik). Sejak itu, seluruh keputusan penghulu harus diserahkan kepada Landraad, sebagai pihak yang berhak memutuskan apakah suatu perkara disidangkan di peradilan Islam atau peradilan negeri. Eksekusi dan pembiayaannya pun menjadi tanggung jawab Landraad. Hal ini menimbulkan ketidakjelasan peran penghulu, karena banyak keputusan mereka dibatalkan oleh pihak Landraad (Amelia Fauzia, “Antara Hitam Dan Putih: Penghulu Pada Masa Kolonial Belanda”, Studia Islamika, Vol. 10, No 02 (2003), hal. 187).
Situasi yang membingungkan ini mendorong pemerintah kolonial meminta pendapat para resident (pejabat tinggi Belanda yang berjumlah 12 orang) di wilayah Jawa dan Madura. Namun, hasilnya pun tidak menemui titik temu, lima di antaranya menyarankan pengadilan agama dihapus, sedangkan tujuh lainnya mendukung keberlangsungannya. Akhirnya, keputusan diserahkan kepada Menteri Jajahan di Belanda.
Pristiwiyanto dalam artikel “Staatsblad 1882 Nomor 152 Tonggak Sejarah Berdirinya Pengadilan Agama” menyebutkan bahwa lahir keputusan Kerajaan Belanda nomor 24 tanggal 19 Januari 1882 yang ditandatangani Raja Willem III yang menetapkan bahwa peradilan Islam harus tetap ada di wilayah Jawa dan Madura. Keputusan ini memperkuat kembali posisi peradilan agama, yang kemudian diperjelas lagi dengan terbitnya Staatsblad Hindia Belanda tahun 1882 No. 152 tentang pembentukan dan restrukturisasi lembaga peradilan agama yang dikenal dengan nama “Priesterraad”. (Pristiwiyanto, “Staatsblad 1882 Nomor 152 Tonggak Sejarah Berdirinya Pengadilan Agama”, Jurnal Fikroh. Vol. 8 No. 1 (2014), Hal. 7).
Priesterraad didirikan di setiap kabupaten yang sudah memiliki Landraad. Lembaga ini dipimpin oleh seorang penghulu dan dibantu oleh minimal tiga hingga maksimal delapan ahli hukum Islam, semuanya ditunjuk langsung oleh Gubernur Jenderal. Dengan demikian, posisi penghulu di dalam sistem kolonial semakin jelas, meskipun wewenang mereka masih dibatasi dan tidak sepenuhnya independen. Pada akhirnya Priesterraad ini berjalan seperti biasanya menangani masalah perkawinan, perceraian, dan lainnya termasuk masalah warisan, zakat, hibah, sedekah, baitul mal, dan wakaf. (Amelia Fauzia, “Antara Hitam Dan Putih: Penghulu Pada Masa Kolonial Belanda”, hal. 187)
Kapengulon memiliki struktur organisasi yang bertingkat mulai dari pusat, kabupaten (afdeeling), kawedanan, kecamatan, hingga desa. Kapengulon biasanya berada di masjid jami’ setempat dan didukung oleh staf administratif yang jumlahnya bisa mencapai 40 orang, terutama di tingkat kabupaten. Sementara di tingkat desa, jumlah staf lebih sedikit.
Pada tingkat desa, pranata Kapengulon dikenal dengan sebutan seperti modin, kaum, kayim, lebai, atau amil, yang masing-masing punya tugas keagamaan tertentu. Walau secara formal amil hanya berada di desa, namun fungsinya dapat meluas hingga ke seluruh struktur kapengulon, termasuk dalam urusan zakat. (M Nasrudin, hlm. 208)
Dari segi status, penghulu adalah pejabat negara, namun kebanyakan tidak menerima gaji tetap. Mereka memperoleh penghasilan dari biaya administrasi perkara, termasuk biaya pernikahan, zakat, dan wakaf. Hanya penghulu yang merangkap sebagai mufti negara yang mendapatkan gaji bulanan dari pemerintah, sebesar 75 gulden. Selain itu, mereka juga mendapat honor jika diundang sebagai penasihat dalam persidangan Landraad. (hlm. 209)
Sebagai institusi yang lahir dari kebutuhan masyarakat akan penegakan hukum Islam, Kapengulon memainkan peran sentral dalam sejarah peradilan agama di Indonesia. Perjalanan panjangnya dari masa kerajaan hingga kolonial menunjukkan bagaimana fungsi keagamaan senantiasa berdampingan dengan kekuasaan politik. Meskipun mengalami berbagai transformasi, semangat pelayanan umat yang melekat pada Kapengulon tetap menjadi warisan penting bagi sistem keagamaan dan sosial hingga masa kini.
Ustadz Muhamad Iqbal Akmaludin, Penyuluh Agama Islam KUA Tanah Abang.
Terpopuler
1
Mahasiswa Gelar Aksi Indonesia Cemas, Menyoal Politisasi Sejarah hingga RUU Perampasan Aset
2
Menyelesaikan Polemik Nasab Ba'alawi di Indonesia
3
Rekening Bank Tak Aktif 3 Bulan Terancam Diblokir, PPATK Klaim untuk Lindungi Masyarakat
4
Advokat: PT Garuda dan Pertamina adalah Contoh Buruk Jika Wamen Boleh Rangkap Jabatan
5
Hadapi Tantangan Global, KH Said Aqil Siroj Tegaskan Khazanah Pesantren Perlu Diaktualisasikan dengan Baik
6
Israel Tarik Kapal Bantuan Handala Menuju Gaza ke Pelabuhan Ashdod
Terkini
Lihat Semua