Syariah

Filosofi Hadiah Perlombaan dalam Fiqih Transaksi

Sab, 31 Oktober 2020 | 00:00 WIB

Filosofi Hadiah Perlombaan dalam Fiqih Transaksi

Setiap transaksi pertukaran pada dasarnya adalah transaksi jual beli (barang/jasa).

Akad dasar muamalah dalam Islam yang melibatkan terjadinya perpindahan aset kepemilikan adalah harus dilakukan melalui akad jual beli (bai’). Sementara yang dilarang adalah praktik riba. Keduanya sudah digariskan dalam Al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 275 dan tidak bisa diganggu gugat lagi.

 

Jika objek yang dijual dalam transaksi jual beli adalah barang riil maka akad ini dikenal sebagai akad jual beli fisik (bai’ 'ainin) dalam mazhab Syafi’i. Adapun, jika objeknya mencakup “barang” manfaat (jasa) maka jual beli ini dikenal dengan istilah jual beli jasa atau sewa menyewa (ijarah). Jadi, pada dasarnya ijarah itu juga jual beli. Itu sebabnya, para ulama dari kalangan mazhab Hanafi dan Maliki menyebut ijarah ini sebagai shinfun mina al-buyu’at (salah satu jenis dari jual beli).

 

Karena pada dasarnya setiap akad mu’awadlah (pertukaran) meniscayakan adanya jual beli atau ijarah, maka semua jenis kegiatan yang melibatkan terjadinya pertukaran, adalah dimasukkan ke dalam bagian dari cabang kedua akad bai dan ijarah. Termasuk di dalamnya adalah akad musabaqah (perlombaan) dan ju’alah (sayembara). Alhasil musabaqah dan ju'alah adalah bagian dari jual beli juga.

 

Bagaimana bisa hal itu terjadi? Begini ceritanya!

 

Akad musabaqah (adu cepat) meniscayakan adanya 2 pihak yang saling bersaing adu cepat. Dalam sejarah Islam, adu cepat dua pihak ini asalnya berangkat dari kebutuhan, yaitu kebutuhan untuk menguji ketangkasan kuda yang dimilikinya. Mengapa? Sebab kuda merupakan salah satu kendaraan yang diperlukan untuk berperang (jihad).

 

Untuk mengetahui sejauh mana ketangkasan kuda yang dimilikinya maka pemilik kuda menyewa (musta’jir) orang lain untuk menjadi lawan tanding. Perilaku menyewa ini meniscayakan adanya upah (ujrah), yaitu upah bagi lawan tanding yang telah mau menemaninya bertanding memacu kuda.

 

Dalam perkembangannya, ujrah kemudian berubah nama menjadi ‘iwadl. Makna dasar dari ‘iwadl adalah ganti jasa. Karakteristiknya, ada penyewa dan ada yang disewa. Oleh karena itu, pada dasarnya, pihak yang disewa berhak atas ‘iwadl itu. Menang atau kalah ia berhak atas ‘iwadl itu.

 

Di sini lantas muncul permasalahan: Permasalahannya adalah karena pihak yang disewa untuk menjadi lawan tanding sudah dipastikan mendapatkan ‘iwadl, maka ia bisa tampil santai dan tanpa berusaha untuk mengalahkan lawan tandingnya. Dia bisa saja berpura-pura kalah, atau sebaliknya memenuhi maksud dari penyewanya.

 

Jika modelnya semacam ini, lantas apa gunanya lawan tanding? Padahal pihak penyewa butuh orang yang bisa menjadi lawan tandingnya guna mengetahui kualitas kuda yang dimilikinya.

 

Di sinilah kemudian pihak penyewa butuh adanya syarat, yaitu: bahwa ‘iwadl itu akan diberikan jika pihak yang menjadi lawan tandingnya mampu mengalahkannya dalam lomba adu cepat. Jadi, seolah telah terjadi akad bai’ bi syarthin atau ijarah bi syarthin (jual beli jasa dengan syarat tertentu).

 

Apakah hukumnya boleh? Dalam konteks mazhab Syafi’i, hukum ijarah bi syarthin adalah boleh, selagi syarat yang dimaksud tidak bertentangan dengan sahnya akad kepemilikan melainkan justru bersifat penguatan.

 

Adu cepat hanya bisa diketahui manakala pihak yang disewa memerankan diri selaku pihak yang benar-benar membalap. Untuk itulah maka dibutuhkan sejumlah “kriteria lomba agar syarat tersebut bersifat sah. Maksud dari sah ini adalah terpenuhinya kaidah kemakluman pihak yang diberi ‘iwadl (mu’awwadl).

 

Contoh dari kriteria lomba adalah jarak tempuh adu kecepatan, jenis kuda yang diperlombakan, dan seterusnya. Dan akhirnya, kriteria inilah yang diadopsi dalam teori dasar musabaqah dalam Islam, yaitu:

  • Musabaqah meniscayakan adanya 2 pihak yang saling berlomba
  • Hadiah lomba bisa berasal dari salah satu pihak yang berlomba, dalam rangka memenuhi kaidah dasar akad ijarah
  • Kriteria lomba harus jelas, dari semua sisi yang dilombakan.
  • Dalam lomba meniscayakan adanya kompetisi
  • Kuda atau sarana yang dipergunakan untuk berlomba merupakan entitas yang terlatih/terdidik

 

Sama-sama Butuh Pengujian

 

Dalam perkembangannya muncul satu permasalahan dalam perlombaan. Permasalahan itu berkutat pada pertanyaan bagaimana bila dalam lomba itu masing-masing peserta lomba yang terdiri dari 2 orang, sama-sama saling butuh menguji kudanya? Apakah boleh keduanya saling mengeluarkan ‘iwadl dengan ketentuan siapa yang berhasil mencapai finis terlebih dulu, maka pihak pemenang itu yang berhak membawa ‘iwadl? Bagaimana bila ‘iwadl itu diserahkan di muka kepada panitia?

 

Di sini para ulama memberikan sejumlah pandangannya. Imam an-Nawawi dalam Majmu' Syarah Muhadzab menjelaskan sebagai berikut:

 

Pertama, penyerahan ‘iwadl di muka oleh setiap peserta lomba kepada panitia merupakan ciri khas dari judi (qimar). Oleh karenanya, agar tidak disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, maka para ulama melarangnya sebagai bentuk saddu al-dzari’ah. Pendapat ini merupakan pendapat yang shahih.

 

Kedua, musabaqah meniscayakan adanya kompetisi. Oleh karenanya, bila masing-masing peserta harus dipungut ‘iwadl (uang pendaftaran) dan dikumpulkan terlebih dulu, atau ke panitia, maka dibutuhkan kehadiran pihak ketiga yang turut serta dilibatkan guna memenuhi adanya unsur ju’alah (sayembara). Selanjutnya, pihak ketiga ini dikenal dengan istilah muhallil (penghalal).

 

Pertanyaannya, mengapa perlu muhallil?

 

Kehadiran muhallil ini sejatinya bila ditelusuri lebih jauh adalah karena alasan dlarurah li al-hajah (kebutuhan mendesak). Hajat yang membutuhkan jawaban adalah perlunya lomba diadakan. Sementara letak dlaruratnya adalah masing-masing peserta lomba saling membayar ujrah satu sama lain.

 

Alhasil, masing-masing pihak seolah menyodorkan harta yang dipertaruhkan. Adanya harta yang dipertaruhkan ini merupakan ciri khas dari praktik perjudian (muqamarah). Di sisi lain, sifat menangnya lomba dari masing-masing peserta adalah tidak pasti, sehingga terpenuhi kaidah gharar.

 

Untuk itulah, agar tidak terjadi ketidakpastian yang ganda, maka illat larangan judi itu musti dihilangkan, yaitu dengan jalan menghadirkan salah satu peserta yang tidak menyerahkan harta (‘iwadl). Pihak ini kemudian disebut dengan istilah penghalal (muhallil).

 

Jadi, kehadiran muhallil ini sejatinya ada kaitannya bahwa relasi dasar akad musabaqah adalah akad menyewa lawan tanding sehingga pihak penyewa harus menghadirkan adanya upah sewa (ujrah). Karena dua-duanya saling butuh itu, maka kehadiran pihak ketiga ini, menjadikan relasi akad ijarah ini berubah menjadi relasi akad ju'alah (prestasi), yaitu barang siapa dapat mencapai garis finis duluan, maka ia berhak atas 'iwadl yang dikumpulkan. Alhasil, 'iwadl yang terkumpul dalam relasi akad ju'alah ini berubah menjadi hadiah dari suatu prestasi membalap.

 

Yang perlu ditegaskan adalah bahwa peran muhallil ini harus memenuhi kriteria yang sama dengan unsur yang diperlombakan. Bahkan termasuk kendaraan (kuda) yang dipergunakan. Dan yang terpenting, ia berhak atas hadiah (‘iwadl) yang dikumpulkan bila mana ia berhasil menjadi pemenang dalam lomba itu. Jika tidak maka akad perlombaan itu menjadi satu akad yang batal, sehingga masuk dalam kelompok perjudian (muqamarah).

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa TImur