Syariah

Hukum Mengalihkan Utang Pembeli ke Aplikasi Pinjaman Berbunga

Sen, 22 Februari 2021 | 15:00 WIB

Hukum Mengalihkan Utang Pembeli ke Aplikasi Pinjaman Berbunga

Ada kendalanya ketika sebuah akad dilakukan lewat aplikasi, karena tidak bisa dilakukan negosiasi/akad baru sebagai penanda pisahnya akad-akad sebelumnya.

Tulisan kali ini berkaitan dengan suatu permasalahan seorang pemilik toko tentang salah satu aktivitas yang pernah ia lakukan. Permasalahan tersebut bermula dari ada pembeli yang melakukan transaksi pembelian barang dengan partai besar. Karena ia tidak punya uang kontan untuk melakukan pembayaran, pemilik toko menalanginya dengan mengakses salah satu aplikasi yang menyediakan basis pembiayaan kredit. Sebut misalnya, aplikasi H Credit!

 

Dari aplikasi ini, pihak pemilik toko mendapatkan uang kontan sebesar biaya yang dibutuhkan oleh pembeli. Selanjutnya, pihak pembeli membayar harga tersebut dengan jalan mencicil ke platform aplikasi H Credit, yang sudah barang tentu dalam cicilannya itu, ada bunga pinjaman yang disertakan dengan besaran tertentu. Nah, bolehkah pihak toko melakukan pola transaksi yang demikian?

 

Secara ringkas, akad yang terlibat di dalam kasus di atas, dapat dipetakan sebagai berikut:

  1. Akad antara pembeli dan pemilik toko adalah akad jual beli
  2. Akad antara pemilik toko dengan aplikasi H Credit adalah akad utang-piutang dengan syarat pengembalian lebih
  3. Akad antara pembeli dan aplikasi H Credit adalah akad jual beli utang dengan utang yang tidak sepadan, sehingga berujung pada terjadinya riba qardli

 

Akad antara Pembeli dan Pemilik Toko

Tidak diragukan lagi bahwa akad pembeli dan pemilik toko di atas adalah termasuk akad jual beli. Seiring harga belum diserahkan di majelis akad, maka akad tersebut adalah termasuk akad jual beli tempo (bai’ muajjalan). Bila tenor pelunasan diketahui secara pasti, dan harga sudah dipatok secara pasti oleh pemilik toko, maka akad itu termasuk akad jual beli kredit (bai’ bi al-taqshith).

 

Dua praktik akad jual beli ini hukumnya boleh di dalam Islam, dengan catatan harga sudah diketahui secara pasti saat di majelis akad sebelum berpisah majelis. Apabila hal itu termasuk jual beli kredit, maka harga hingga tutup pelunasan, sudah disepakati di awal saat di majelis transaksi. Misalnya, harga kesepakatan adalah 12 juta yang diangsur selama 12 bulan.

 

Jika terjadi keterlambatan pembayaran hingga 12 bulan, maka harga tersebut tidak boleh lebih dari 12 juta rupiah. Bila terjadi pertambahan harga setelah 12 bulan, maka tidak diragukan lagi bahwa praktik ini termasuk praktik riba nasiah (riba kredit).

 

Akad antara Pemilik Toko dan Aplikasi Pembiayaan H Credit

Umumnya, pihak pemilik toko mengajukan pembiayaan ke finance (H Credit) adalah didasarkan pada harga kontan. Suatu misal, harga kontan itu 10 juta, dan harga kredit barang adalah 12 juta rupiah. Nah, pemilik toko umumnya mengajukan sebesar 10 juta rupiah. Selisih 2 juta rupiah adalah disampaikan sebagai ruang bagi finance untuk mencari keuntungan dari transaksi yang dilakukan antara pembeli dan pemilik toko, yang seharusnya dilakukan secara kredit.

 

Sayangnya, keuntungan finance ini adalah diperoleh dari akad meminjami (qardl) pihak pemilik toko. Alhasil, bila dari pinjaman itu terdapat sebuah bunga, maka bunga tersebut memenuhi unsur qardlu jara naf’an li al-muqridl, yaitu utang menarik kemanfaatan bagi pihak yang meminjami. Hukumnya adalah haram secara syara’.

 

Akad antara Pembeli dengan Lembaga Pembiayaan

Akad antara pembeli dengan lembaga pembiayaan pada dasarnya merupakan akad pengalihan utang, yang asalnya adalah utang pemilik toko ke finance, berubah menjadi utang pembeli ke finance. Akad semacam ini dikenal juga dengan istilah akad hawalah, atau akad bai al-dain bi al-dain, atau bai’ ma fi al-dzimmah bi ma fi al-dzimmah. Apakah syariat membolehkan? Jawabnya adalah boleh karena adanya hajat kebutuhan dengan catatan hutang itu bersifat mustaqirrah (yaitu: sudah terjadi sebelum akad). Bila hutang itu belum terjadi saat akad pengalihan itu berlangsung, maka akadnya berubah menjadi akad dlaman (jaminan utang).

 

Namun, praktik bai’ al-dain bi al-dain (hawalah) ini hukumnya adalah boleh dengan adanya sejumlah catatan, yaitu adanya kesamaan dalam hal: 1) jumlah, 2) masa jatuh tempo, 3) tenor waktu pelunasan. Ketiadaan kesamaan di salah satunya, khususnya dalam jumlah utang, dapat menarik pada terbitnya akad jual beli utang dengan utang yang dilarang, disebabkan adanya kelebihan di salah satu utang yang ditanggung. Kelebihan ini merupakan ciri khas dari riba, sehingga haram.

 

Apakah ada Solusi Penyelesaian?

Solusi bagi bolehnya penggunaan pihak ketiga yang menengahi terjadinya praktik di atas adalah terfokus pada kesamaan (1) jumlah/volume utang, (2) masa jatuh tempo, dan (3) tenor waktu pelunasan. Apakah ketiga hal ini memungkinkan untuk terjadi?

 

Ada satu kemungkinan yang bisa dilakukan dari praktik tersebut, yaitu lewat mekanisme jual beli antara pemilik toko dengan finance (H Credit), antara lain sebagai berikut:

 

Pertama, pembeli mendata semua barang yang dibutuhkan, kemudian data itu diserahkan kepada pemilik toko.

 

Kedua, selanjutnya pemilik toko menghitung harga seluruh barang yang dibutuhkan itu dan ditunjukkan kepada pembeli dalam bentuk harga kes/kontan. Selanjutnya, pihak pemilik toko menyampaikan kepada pembeli, bahwa jika ia menghendaki pembelian secara kredit, maka ia harus menghubungi pihak finance yang sanggup menalanginya. Yang dibutuhkan oleh pemilik toko adalah harga kontan.

 

Ketiga, pihak pembeli selanjutnya menghubungi pihak finance guna menyampaikan maksudnya mendapatkan barang yang dibutuhkannya tersebut.

 

Keempat, pihak finance selanjutnya membeli seluruh kebutuhan yang diperlukan oleh pembeli. Akad yang dipergunakan adalah akad bai’ li al-amiri bi al-syira’ (jual beli barang yang disertai janji harus dibeli oleh pemesannya), yang pada dasarnya adalah masuk rumpun bai’ bi al-wa’di (jual beli disertai dengan janji). Di dalam mazhab Syafi’i, akad ini bisa dimasukkan dalam rumpun bai’ syaiin maushuf fi al-dzimmah (jual beli barang yang bisa disifati) dan sering dipergunakan dalam solusi akad dropship.

 

Setelah barang itu ada dalam kekuasaan finance, terjadi akad baru jual beli kredit antara finance dengan pembeli. Nah, inilah kendalanya bila akad tersebut dilakukan lewat aplikasi, karena tidak bisa dilakukan negosiasi/akad baru sebagai penanda pisahnya akad-akad sebelumnya, yaitu antara akad pembeli dan pemilik toko, pemilik toko dan finance dan akad finance dengan pembeli. Alhasil, tidak ada solusi bagi permasalahan di atas, sehingga bila pihak yang mengakses aplikasi tersebut adalah pembeli, maka masih masuk rumpun akad utang piutang (qardl). Alhasil, bila ada syarat tambahan yang melebihi pokok utang, maka tambahan tersebut memenuhi unsur riba.

 

Bagaimana bila yang mengakses aplikasi itu adalah pihak pemilik toko?

Jika yang mengakses aplikasi pembiayaan itu adalah pemilik toko, maka telah terjadi praktik bai’ al-dain bi al-dain (jual beli utang dengan utang) yang tidak memenuhi syarat kesamaan volume harga, waktu penundaan, dan lamanya angsuran. Alhasil, terjadi praktik jual beli utang dengan utang yang dilarang. Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Biidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur