Syariah

Bunga Kredit Mikro untuk UMKM, Apakah Riba?

Rab, 13 Januari 2021 | 16:00 WIB

Bunga Kredit Mikro untuk UMKM, Apakah Riba?

keberadaan penyertaan Surat Keterangan Usaha dalam pengajuan Kredit, pada dasarnya juga bisa dimaknai bahwa aset usaha tersebut merupakan yang dibeli oleh kreditur.

Di tengah situasi pandemi Covid-19 dan dalam rangka mewujudkan program percepatan pertumbuhan ekonomi nasional (PEN), pemerintah mengucurkan bantuan modal kepada sejumlah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) lewat bank-bank yang ditunjuk oleh pemerintah. Risiko dari pengucuran lewat bank ini adalah untuk mengajukan bantuan permodalan, maka pihak UMKM harus memenuhi sejumlah prasyarat yang ditetapkan oleh bank-bank itu.

 

Memang, tujuan utama dari penyaluran bantuan modal ini, adalah:

  1. Dari sisi pemerintah, modal yang dikucurkan tersebut merupakan stimulan untuk memicu timbulnya proses produksi.
  2. Harapan dari pengucuran bantuan modal ini oleh negara adalah tidak dimaksudkan untuk menjadi sebuah bola liar sehingga berujung pada memberatkan masyarakat dan menambah beban negara. Negara tetap punya harapan bisa kembalinya bantuan yang disalurkan sehingga tidak menambah beban neraca anggaran belanja negara, sementara masyarakat bisa menggunakan modal tersebut untuk memulai usaha lagi.

Untuk mengantisipasi timbulnya kredit macet, maka bantuan modal yang dikucurkan itu disampaikan dalam bentuk 3 program terencana, antara lain:

  1. Untuk sektor usaha mikro UMKM, ada 2 skema program pinjaman mikro, yaitu (1) KUR (Kredit Usaha Rakyat) dan (2) Kupedes (Kredit Usaha Pedesaan).
  2. Untuk sektor usaha yang bergerak dalam bidang ritel menengah, diperkenalkan Pinjaman Ritel Menengah, yang terdiri dari Kredit Modal Kerja (KMK) dan Kredit Investasi (KI).
  3. Untuk sektor pinjaman program, maka diperkenalkan Kredit Pangan, Resi Gudang, dan Kredit Kemitraan.

 

Dari sektor UMKM, pengajuan KUR dan Kupedes disalurkan dengan catatan bahwa pelaku UMKM harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:

  1. Memiliki usaha produktif, layak, serta setidaknya telah berjalan secara aktif kurang lebih minimal 6 bulan
  2. Tidak sedang menerima kredit apa pun dari perbankan, kecuali untuk keperluan konsumtif, seperti kartu kredit, KPR, KKB, dan lain-lain
  3. Memiliki Surat Izin Usaha
  4. Memiliki dokumen lainnya yang dibutuhkan, seperti KTP dan Kartu Keluarga

 

Permasalahannya adalah bagaimana kedudukan dari setiap prasyarat di atas itu bila ditimbang dari sisi hukum Islam? Terhadap jenis kredit yang lain, dari sisi persyaratan usaha, kita anggap sebagai hal yang sama. Untuk KUR, ada pemberlakuan bunga yang ditetapkan sebesar 6% dari modal usaha yang dipinjam oleh pelaku UMKM. Nah, bagaimana dengan status bunga ini ditempatkan?

 

Untuk menjawab permasalahan ini, setidaknya ada beberapa hal yang hendak kita jadikaan pembahasan, antara lain:

 

Pertama, kedudukan pengalaman usaha selama minimal 6 bulan dan kedudukan Surat Izin Usaha atau Surat Keterangan Usaha

 

Bagaimanapun juga, setiap penyerahan harta kepada pihak lain, dengan harapan harta itu kembali kepada pemilik asalnya, dengan disertai keniscayaan fisik harta itu berganti, adalah merupakan ciri khas dari utang (qardl). Kecuali, bila ada yang menengahi (wisathah) di antara kedua pihak yang sedang berakad, maka kedudukan wisathaah ini secara fiqih menempati derajat harta jaminan pemenuhan utang, dan akadnya disebut dengan akad gadai.

 

Relasi yang terjadi antara harta jaminan terhadap utang, dikenal dengan istilah dlaman al-dain (jaminan utang).

 

Harta yang sah untuk dijadikan jaminan utang, secara umum ada 3, yaitu:

  1. Dalam bentuk aset fisik (ain),
  2. Dalam bentuk sesuatu yang bisa dijamin perwujudannnya (ma fi al-dzimmah), dan
  3. Dalam bentuk pekerjaan (nafsin/fi’lin).

 

Jika melihat runutan dari ketiga jenis harta ini terhadap utang, maka kedudukan surat izin usaha dan surat keterangan usaha dari pemerintah desa, pada dasarnya hanyalah sebuah bukti bahwa memang benar bahwa telah terjadi sebuah kegiatan usaha yang dilakukan oleh pihak debitur, yaitu nasabah yang mengajukan KUR atau Kredit.

 

Alhasil, dengan bukti tersebut, sifat pengajuan kredit yang disertai dengan surat keterangan usaha, menjadikan akad gadai (rahn) yang terjadi antara nasabah dan perbankan tersebut bukanlah berjamin aset yang fiktif (fi’lun ma’dum), melainkan benar-benar berjamin dengan kegiatan usaha (dlaman al-dain bi al-nafsi). Secara tidak langsung, akad ini juga termasuk akad kafalah bi al-nafsi.

 

Kedua, kedudukan dokumen KTP dan Kartu Keluarga

Dokumen KTP dan Kartu Keluarga (KK) pada dasarnya bukan merupakan harta, dilihat dari sisi fisiknya. Keduanya hanya merupakan sebuah fisik yang tidak memiliki jaminan aset. Lain dengan Surat Keterangan Usaha sebelumnya, yang menegaskan adanya kerja (fi’lun) di balik fisik Surat Keterangan.

 

Karena KTP dan KK tidak menyatakan sebuah aset di baliknya, maka KTP dan KK tidak sah untuk dijadikan penjamin utang. Meskipun keduanya merupakan merupakan aset fiktif, namun keberadaan identitas yang tertuang di dalam KTP dan KK tetap bermanfaat, karena menyatakan bukti keterkaitan usaha dengan pelakunya. Dengan demikian, secara fiqih, KTP dan KK hanyalah merupakan sebuah bukti penguat (syahadah) atas pelaku kegiatan usaha saja, sehingga apabila terjadi kasus sengketa harta utang sehingga menghendaki adanya pertanggungjawaban atas utang usaha (dlaman al-dain), maka pemilik identitas yang tertuang dalam KTP dan KK-lah merupakan pihak yang bertanggung jawab atas penyelesaian kasus tersebut. Alhasiil, dalam akad fiqihnya, KTP dan KK terhadap kegiatan usaha UMKM menduduki tempat sebagai pelaku yang bertindak selaku kafil (penanggung jawab atas kegiatan usaha).

 

Ketiga, kedudukan bunga terhadap pinjaman

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa penyaluran pinjaman mikro dalam bentuk KUR atau Kupedes disalurkan lewat akad rahn (gadai) dengan jaminan terdiri dari hasil kegiatan usaha.

 

Akad gadai ini pada dasarnya merupakan satu cara memandang saja terhadap kredit pinjaman yang disalurkan. Mengapa? Sebab, ada satu cara pandang lain terhadap kegiatan usaha tersebut, yaitu lewat mekanisme jual beli. Namun, keduanya bisa kita uraiakan secara ringkas sebagai berikut.

 

Relasi Bunga dengan Akad Gadai

Jika KUR dan Kupedes tersebut merupakan buah dari relasi gadai, maka besaran kredit yang dikucurkan kepada debitur (pelaku usaha) adalah termasuk buah dari akad utang. Mengapa? Sebab, gadai adalah cabang dari akad utang. Adanya syarat berupa tambahan (ziyadah) terhadap harta pokok utang (kredit) yang diberikan kepada pihak yang mengutangi (kreditur) dan manfaat ziyadah tersebut ditetapkan di muka, maka tidak diragukan lagi, bahwa manfaat (ziyadah) tersebut adalah termasuk buah dari transaksi riba qardli. Alhasil, hukumnya adalah haram, dan termasuk pendapatan yang haram bagi pihak kreditur untuk mengambilnya.

 

Relasi Bunga dengan Akad Jual Beli

Bagaimana jika bunga tersebut dikaitkan dengan akad jual beli? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka persoalan yang perlu dipecahkan terlebih dulu, adalah apa yang dibeli dari sebuah kegiatan usaha itu?

 

Berdasarkan data kasus sengketa perbankan, penulis menemukan adanya data bahwa apabila terjadi sebuah kasus kredit macet pada suatu kegiatan usaha, maka pihak kreditur dapat membekukan kegiatan usaha milik debitur dan menyita seluruh aset usaha yang dimilikinya. Ketentuan ini terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dengan rincian sebagai berikut:

  1. Pasal 1155 KUH Perdata, disampaikan bahwa kreditur sebagai penerima benda gadai berhak untuk menjual barang gadai, setelah lewatnya jangka waktu yang ditentukan, atau setelah dilakukannya peringatan untuk pemenuhan perjanjian dalam hal tidak ada ketentuan jangka waktu yang pasti.
  2. Pasal 15 ayat (3) juncto Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, atau biasa disebut UU Jaminan Fidusia, menegaskan adanya pemberian hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cedera janji (wanprestasi)
  3. Pasal 6 juncto Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, menegaskan pemberian hak kepada kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan fidusia jika debitur cidera janji (wanprestasi).

 

Apa arti dari rincian peraturan ini secara fiqih?

Setidaknya ada satu pengertian berdasar ketentuan ini, yaitu pada dasarnya penyertaan adanya Surat Izin Usaha dan Surat Keterangan Usaha pada saat pengajuan kredit, adalah dimaksudkan tidak serta merta hanya berjamin pekerjaan atau kegiatan usaha saja, melainkan aset yang dipergunakan untuk usaha itulah yang merupakan puncak dari jaminan.

Alhasil, keberadaan penyertaan Surat Keterangan Usaha dalam pengajuan kredit, pada dasarnya juga bisa dimaknai bahwa aset usaha tersebut merupakan yang dibeli oleh kreditur. Dengan demikian, hak milik aset usaha, merupakan milik kreditur dengan sifat kepemilikan yang sempurna (milkun tamm), dan bukan milik debitur.

 

Adapun penggunaan debitur terhadap aset usaha tersebut, adalah penggunaan berbasis akad sewa (ijarah) dengan besaran sewa senilai 6% dari harta pokok pinjaman (kredit) yang dikucurkan.

 

Jika relasi KUR dan Kupedes ini mengikuti relasi akad jual beli di awal, dan kemudian dilanjutkan dengan tindakan menyewakan kepada pelaku usaha (debitur), dengan janji purna kontrak bahwa aset usaha itu akan dikembalikan kepada kepemilikan debitur, maka akad ini menyerupai akad ijarah muntahiyah bi al-tamlik (IMBT). Status bunga menempati derajat sebagai harga sewa sehingga halal bagi bank.

 

Jalan Keluar Menghadapi Khilaf Pinjaman Mikro KUR dan Kupedes

Dengan mencermati detail relasi kedua akad pinjaman mikro, dalam hubungannya terhadap kredit yang dikucurkan oleh perbankan:

  1. Seiring pemahaman masyarakat umum bahwa kredit itu sering dimaknai sebagai relasi akad utang.
  2. Di sisi lain banyak masyarakat pelaku UMKM yang mengajukan kredit karena butuh modal usaha untuk membangkitkan kinerja UMKM yang mereka miliki
  3. Keniscayaan penyaluran bantuan tersebut oleh pemerintah yang harus dilakukan melalui jasa perbankan, mengingat perbankan merupakan saluran resmi yang memudahkan untuk melakukan kontrol terhadap kucuran bantuan stimulan permodalan dari pemerintah terhadap pelaku usaha, sehingga modal itu dapat tetap terawasi dan tepat sasaran, serta benar-benar digunakan untuk membangkitkan usaha

 

Dengan menimbang terhadap tiga alasan di atas, maka solusi bagi masyarakat pelaku UMKM agar terhindar dari transaksi riba utang yang diharamkan sebagai buah dari pengajuan kredit mikro yang sangat dibutuhkan oleh mereka tersebut (dlarurah li al-hajah) dan secara khusus menghadapi adanya bunga bank yang di satu sisi dapat dipandang sebagai manfaat dari utang kepada pihak pemberi utang (kreditur), maka hendaknya para pelaku usaha yang membutuhkan dana pinjaman tersebut, bertindak dengan mengambil solusi keluar dari perdebatan pendapat mengenai status bunga kredit.

 

Caranya adalah mengambil pendapat yang menyatakan bahwa relasi penyaluran kredit tersebut adalah bukan relasi akad utang dengan jaminan (utang gadai). Akan tetapi, pendapat yang diambil adalah bahwa kredit tersebut merupakan buah dari relasi akad jual beli. Alhasil, seluruh aset usaha yang dipergunakan oleh pelaku usaha berstatus sebagai hak milik bank secara sempurna. Adapun pelaku UMKM berposisi sebagai penyewa sehingga wajib membayar harga sewa sebesar bunga tersebut ditetapkan, sesuai tenor kredit mikro. Alhasil, relasi antara pihak pelaku usaha dan bank pasca dikucurkannya dana kredit mikro, adalah relasi akad kontrak sewa usaha (ijarah). Dengan relasi ini, maka besaran kredit yang dikucurkan oleh kreditur kepada debitur, menduduki maqam harga beli aset usaha. Dan bunga pinjaman sebesar 6%, menduduki maqam harga sewa aset usaha oleh debitur kepada kreditur. Wallahu a’lam bi al-shawab

 

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah, Aswaja NU Center PWNU Jatim