Bahtsul Masail

Saldo Mengendap lalu Dapat Bonus dari Marketplace, Apakah Riba?

Kam, 22 Oktober 2020 | 16:00 WIB

Saldo Mengendap lalu Dapat Bonus dari Marketplace, Apakah Riba?

Relasi marketplace dan pembeli adalah relasi ikatan temporer disebabkan penggunaan fasilitas situsnya untuk transaksi jual beli antara pelapak dengan pembelinya.

Assalamu’alaikum warahmaatullahhi wabarakatuh. Numpang tanya. Terkadang, dalam praktik jual beli online, kita terpaksa mengendapkan uang kita di sebuah marketplace. Dari situ, kemudian kita mendapatkan bonus atau bunga. Apakah bonus atau bunga ini merupakan riba?

 

Jawaban

Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Penanya yang budiman, semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa membimbing kita di atas jalan-Nya yang lurus, sehingga pendapatan dan praktik muamalah yang kita lakukan setiap hari senantiasa terjamin halal dan thayyib.

 

Marketplace adalah situs daring atau aplikasi yang dibuat untuk memfasilitasi proses jual beli antara penjual dan pembeli pada satu tempat. Menyimak pertanyaan Saudara, kita seolah diminta untuk menghadapkan diri pada dua wacana. Pertama, kedudukan marketplace itu sebenarnya memiliki manfaat dan peran apa dalam transaksi muamalah? Kedua, apa risiko bermuamalaah dengan difasilitasi oleh marketplace? Keduanya ini perlu kita ketahui, guna mengetahui dengan benar apakah bonus itu merupakan riba atau tidak.

 

Kedudukan Marketplace dalam Akad Fiqih

Bisnis online merupakan aktivitas bisnis yang dalam tipe muamalah fiqih tradisional sering dikenal dengan istilah bai’ syai’in maushuf fi al-dzimmah, yaitu jual beli suatu barang yang hanya diketahui karakteristiknya. Tipe ini adalah sah secara fiqih dan diakui sebagai akad yang mu’tabar, serta merupakan derivasi dari tipe jual beli langsung (bai’ ainin musyahadah).

 

Letak derivasinya adalah karena faktor melihatnya barang, yang digantikan dengan penyebutan karakteristik/spesifikasinya saja. Alhasil, tipe jual beli semacam adalah sah dilakukan oleh entitas pelaku bisnis mana pun dan siapa pun, asalkan tidak ada ketentuan syariat yang dilanggar.

 

Karena jual belinya hanya berdasar penyebutan karakteristik barang, sehingga kurang memenuhi syarat sempurna “melihat” barang secara langsung, maka sifat “kebolehan” jual beli ini, sebagaimana disampaikan oleh para fuqaha, adalah “boleh” karena dlarurah li hajah al-nas (darurat karena masyarakat sangat membutuhkannya). Alhasil, untuk menutup celah kekurangan itu, maka diterapkan adanya syariat khiyar yaitu opsi antara melanjutkan atau membatalkan akad.

 

 

Akad yang dipergunakan dalam jual beli online adalah akad pesan (salam). Akad ini juga sah, secara fiqih dengan catatan, ada penyerahan harga di muka oleh pembeli. Tujuan penyerahan ini adalah untuk menghindari terjadinya praktik gharar (ketidakpastian), yang mana bila hal itu terjadi, maka tentu bisa merugikan salah satu pihak yang bertransaksi. Nah, di sinilah peran marketplace itu masuk.

 

Di antara peran krusialnya adalah: (1) menjamin transaksi yang dilakukan antara pemilik lapak dan pembeli berlangsung terbuka dan transparan, (2) menjamin bahwa barang telah dikirim oleh pelapak ke alamat pembeli, dan (3) menjamin bahwa pembeli benar-benar telah menerima barang yang dipesannya.

 

Di era terbuka semacam ini, karena penjual dan pembeli hanya dijembatani oleh media, tentu sangat rawan sekali terjadinya penipuan dan penyalahgunaan media, khususnya dalam banyak transaksi muamalah. Pembeli membutuhkan adanya mediasi yang bisa menjamin transaksinya berjalan aman, dan demikian sebaliknya dengan penjual. Apakah ini menyalahi syariat? Tentu tidak, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang transaksi tanpa adanya jaminan keamanan (HR al-Bukhari).

 

Alhasil, kedua pihak yang melakukan transaksi butuh keberadaan pihak yang berperan selaku penjamin transaksi. Relasi akadnya disebut dengan istilah relasi akad dlamman. Pihak penjaminnya (dlamin) diperankan oleh marketplace. Sementara tujuan penjaminannya (madlmun ‘alaih-nya) adalah terjadinya transaksi yang jujur dan tidak ada yang dirugikan. Pihak yang dijamin (madlmun ‘anhu) bisa terdiri dari penjual ataupun pembeli. Jadi, konsepsi marketplace ini sudah sesuai dengan ajaran As-Sunnah serta telah diteliti oleh para fuqaha’ sebagaimana tertuang dalam kitab-kitab fiqih.

 

Risiko Bertransaksi dengan Marketplace

Memandang sebuah marketplace sebagai sebuah entitas yang memfasilitasi keamanan transaksi bisnis online lewat relasi akad dlaman (penjaminan), maka tentu keberadaan marketplace ini memiliki objek penjaminan (madlmun lah) antara lain berupa dikirimkannya barang (ain), dibayarkannya harga (dain), dan dipastikannya penjual menunaikan kewajibannya (nafsin/fi’lin).

 

Untuk memudahkan pembeli melakukan pembayaran, maka dibuka sebuah rekening bersama. Pembukaan rekening ini, tentu adalah karena alasan agar penjual menunaikan tugasnya yaitu mengirim barang yang dipesan. Jika tidak menunaikan, maka pihak marketplace bisa mengembalikan uang milik pembeli lewat saldo deposit (e-wallet) yang dimilikinya atau menunaikan permintaan pentransferan kembali uang pembeli ke saldo rekening banknya.

 

Dan ini merupakan risiko dari sebuah marketplace selaku dlamin (penjamin). Rekening bersama, kedudukannya sebagai wasilah yang dibutuhkan guna mempermudah transaksi dan keberadaannya dibutuhkan karena dlarurah li al hajah.

 

Hal ini tentu merupakan yang maslahat dalam konteks jual beli salam sebab dua pihak yang berakad secara online justru merasa aman karenanya dan memangkas uang serta ongkos pembeli untuk menemui pihak penjamin selaku penyedia jasa penjaminan. Akad jasa penjaminan antara marketplace dan pembeli adalah masuk dalam rumpun ijarah maushufah fi al-dzimmah (jasa yang diketahui perannya), dan hal ini dibolehkan.

 

Di sisi yang lain, penggunaan marketplace sebagai fasilitator transaksi, secara tidak langsung berbuntut pada risiko memberi ujrah (upah) kepada marketplace.

 

Pendapatan perusahaan marketplace berasal dari beragam sumber. Salah satunya dari kebijakan tentang keanggotaan premium. Fitur berbayar ini biasanya memfasilitasi pedagang untuk mendapatkan pengunjung lebih banyak dan kemudahan-kemudahan pengelolaan lainnya.

 

Pendapatan lainnya, juga diperoleh lewat hasil penawaran jasa push (promosi terkonsentrasi) terhadap pelapak di marketplace tersebut. Kedua sumber pendapatan ini merupakan sumber yang halal baginya.

 

Adapun relasi antara pihak marketplace dengan pembeli terhadap pelapak, adalah relasi akad dlaman. Ketika pembeli menyetorkan uang ke marketplace, status uang ini masuk dalam rumpun akad wadiah yad al-dlammanah (titipan relasi penjaminan) atau qardl hukman (utang secara hukum).

 

Mengapa relasi tersebut masuk kategori wadi’ah yad al-dlammanah? Karena dlarurah li hajat al-nas dengan tujuan utama adalah mempermudah transaksi. Sebab, menemui langsung pihak penjamin merupakan hal yang merepotkan atau menyulitkan (masyaqqah). Setiap masyaqqah senantiasa menghendaki kemudahan dalam syariat.

 

Risiko yang timbul adalah adanya bunga ketika dikaitkan dengan akad memberi utang (qardl). Mengaitkannya ini tentu dapat menyeret keduanya pada terjadinya praktik riba yang diharamkan.

 

Namun, kita perlu mencermati bahwa akad yang terjadi dalam jual beli online, adalah akad yang dibangun secara langsung antara pelapak dan pembelinya.

 

Marketplace hanya sebagai pihak ketiga selaku penengah kedua pihak. Alhasil tidak ada relasi akad antara marketplace dan pembeli dalam transaksi jual beli tersebut melainkan relasi penjaminan. Apa buktinya?

 

Saat terjadi pembatalan akad, pihak marketplace mengirim balik saldo deposit yang dikirim pembeli ke rekeningnya, tanpa disertai adanya tambahan apa pun. Ini adalah qarinah (indikasi) bahwa bonus gratis ongkir oleh marketplace yang disampaikan kepada pembeli, adalah bukan yang dilahirkan akibat faktor penahanan uangnya pembeli, melainkan berasal dari keuntungan yang diperoleh oleh marketplace lewat jalur-jalur lain.

 

Jika bonus itu diberikan karena faktor relasi akad mengutangi atau penahanan, tentu pemberian bonus itu akan diberikan dengan sama rata. Maksudnya, baik terjadi jual beli atau tidak sehingga berbuntut harus mentransfer balik uang pembeli ke rekeningnya, maka bonus itu tetaplah harus diterimakan pada kedua kondisi pembeli di atas. Namun, hal itu tidak dilakukan oleh marketplace, melainkan hanya pada transaksi jual beli yang sukses semata.

 

Jadi, secara rajih, bonus itu bukan berasal dari transaksi ribawi dengan beberapa qarinah (indikator penjelas) di atas. Apalagi pihak pembeli (selaku muqridl) tidak mensyaratkan wajibnya berlaku bonus tersebut kepada marketplace. Dengan kata lain, tidak ada hubungan sebab-akibat antara uang Saudara yang mengendap dan bonus yang Saudara dapatkan. Alhasil, illat larangan qardlun jara naf’an (utang dengan menarik kemanfaatan) tidak berlaku dalam relasi antara keduanya.

 

Relasi marketplace dan pembeli adalah relasi yang berbasis akad luzumah (ikatan temporer) disebabkan penggunaan fasilitas situsnya untuk transaksi jual beli antara pelapak dengan pembelinya. Ikatan yang menguatkan terbitnya rasa saling ridha dan menghilangkan unsur gharar (ketidakpastian) dalam jual beli, adalah lebih kuat dibanding dugaan terjadinya praktik riba. Wallahu a’lam bish shawab.

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur