Syariah

Hukum Penggunaan Dinar dan Dirham sebagai Alat Tukar

Sab, 29 Februari 2020 | 12:45 WIB

Hukum Penggunaan Dinar dan Dirham sebagai Alat Tukar

(Ilustrasi: reuters).

Beberapa waktu ini mulai muncul dan marak kembali semacam gerakan untuk melakukan transaksi berbasis dinar dan dirham. Gerakan ini diinisiasi sejak 1999, dan diusung oleh seseorang yang belakangan dikenal dengan pahamnya sebagai penganut antimata uang fiat (fiat currency) sebagai alat pertukaran.

Gerakan ini disusul dengan pendirian sebuah perusahaan A dengan motif berdirinya mencetak dinar di Indonesia. Salah satu produk yang dipasarkannya adalah produk wakala atau yang disebut dengan istilah kios dinarfirst dan pengusungnya berperan di dalamnya. Mungkin ini adalah semacam money changer yang bertugas mengonversi mata uang rupiah atau mata uang negara lain menjadi mata uang dinar.

Gerakan kembali ke dinar dan dirham mulai marak kembali pada tahun 2003 lewat gagasan yang disampaikan oleh Perdana Menteri Malaysia kala itu, Mahathir Mohamad. Usulan ini disampaikan dalam sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang berlangsung di Kuala Lumpur, Malaysia pada 10 Oktober 2003. Isi dari usulan adalah agar negara-negara anggota OKI beralih ke dinar–dirham sebagai media transaksinya.

Selanjutnya gagasan itu kembali disampaikan pada Konferensi Ke-12 Mata Uang Negara-negara Asia Tenggara yang berlangsung di Jakarta pada 19 September 2005. Penggagasnya adalah Sugiharto saat masih menjabat sebagai Menteri Negara dan BUMN. Gagasan tersebut dilatarbelakangi oleh keprihatinannya atas ancaman inflasi setiap saat terhadap mata uang negara-negara di ASEAN dan serangan spekulan yang tidak bisa diprediksi sebelumnya. Dinar dan dirham menurutnya merupakan solusi guna mengantisipasi ancaman inflasi tersebut karena emas dianggap sebagai barang yang memiliki stabilitas nilai.

Menyambut akan seruan gerakan kembali ke dinar-dirham, selanjutnya PT Aneka Tambang, Tbk memproduksi dinar-dirham, yang standarnya diawasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan London Bullion Market Association (LBMA). LBMA ini merupakan sebuah lembaga pengatur standar harga emas aktual yang berlaku di masyarakat dan harga emas tetap (fixed gold price). Peran pengaturan ini dilakukan melalui proses investigasi dan inspeksi terhadap lembaga-lembaga pencetak mata uang (refiners) dinar dan dirham di seluruh dunia dan sekaligus biro pemasarannya.

Jadi, itulah fakta perkembangan dinar-dirham yang terjadi dewasa ini. Sebagian di antaranya sudah marak digaungkan suaranya di Indonesia oleh beberapa kalangan. 

Nah, pemakaian dinar-dirham ini sebagai alat tukar transaksi jual beli, ternyata bertentangan dengan hukum positif Indonesia. Lewat peran Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011, tentang mata uang, Indonesia sudah menyatakan berlakunya regulasi, antara lain sebagai berikut: 

• Pengaturan mengenai rupiah secara fisik, yakni mengenai macam dan harga, ciri, desain, serta bahan baku rupiah;

• Pengaturan mengenai pengelolaan rupiah sejak perencanaan, pencetakan, pengeluaran, pengedaran, pencabutan dan penarikan, serta pemusnahan rupiah;

• Pengaturan mengenai kewajiban penggunaan rupiah, penukaran rupiah, larangan, dan pemberantasan rupiah palsu; dan

• Pengaturan mengenai ketentuan pidana terkait masalah penggunaan, peniruan, perusakan, dan pemalsuan.

Berdasarkan UU ini, fiks sudah bahwa di Indonesia tidak berlaku mata uang lain sebagai sarana bertransaksi selain rupiah. Penggunaan mata uang lain di Indonesia dapat diancam dengan pasal pidana. Bahkan termasuk menolak menerima rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai alat pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan rupiah (Pasal 10, ayat 1) adalah merupakan aktivitas yang dapat diancam dengan pidana. 

Memang ada pengecualian akan kebolehan penolakan rupiah sebagai alat pembayaran di Indonesia, yaitu ketika menghadapi dua kondisi, antara lain: a) terdapat keraguan atau keaslian rupiah yang diterima untuk transaksi tunai; atau b) pembayaran atau penyelesaian kewajiban dalam valuta asing telah diperjanjikan secara tertulis (Pasal 10 ayat 2).

Bagaimana dengan pencantuman harga barang? Berdasar Pasal 11 dari UU Nomor 7 Tahun 2011 ini juga dinyatakan mengenai kewajiban mencantumkan harga barang atau jasa hanya dalam bentuk rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hukum Penggunaan Dinar-dirham sebagai Alat Transaksi
Pada dasarnya dinar-dirham sejak tidak ditetapkan sebagai alat tukar resmi di suatu negara, maka kedudukannya adalah berubah menjadi komoditas/produk. Ia bisa dibeli atau disimpan, tetapi penggunaannya sebagai media transaksi adalah tidak dibenarkan oleh syariat, mengingat sisi kemaslahatan terhadap perekonomian negara, baik cepat maupun lambat. Penggunaan alat dan media transaksi lain di negara Indonesia dapat membuat tergerusnya nilai tukar rupiah di negari sendiri. Untuk itu, memang diperlukan adanya regulasi yang mengatur penetapannya.

Kepatuhan berupa penggunaan media tukar rupiah di negara sendiri merupakan dasar kewajiban seorang Muslim sebagai wujud cintanya terhadap negara. Bahkan kita diperintahkan wajib taat seiring tidak adanya mafsadah atau maksiat yang perlu dihindari dari sisi penggunaan rupiah. Hal ini didasarkan pada keterangan Syekh Bujairimy sebagai berikut:

إذا أمر بواجب تأكد وجوبه وإن أمر بمندوب وجب وإن أمر بمباح فإن كان فيه مصلحة عامة كشرب الدخان وجب بخلاف ما إذا أمربمحرم أو مكروه أو مباح لا مصلحة فيه عامة إهـ

Artinya, “Saat seorang pemimpin memerintahkan suatu kewajiban, maka kewajiban itu menjadi semakin kuat. Jika ia memerintahkan sesuatu yang sunnah, maka hal itu menjadi wajib. Dan, jika ia memerintahkan sesuatu yang mubah, selama mendatangkan kemaslahatan umum, seperti larangan merokok, maka menjadi wajib menjauhi merokok. Lain halnya bila pemimpin memerintahkan suatu keharaman, atau hal-hal yang bersifat makruh atau suatu perkara mubah, akan tetapi tidak memuat unsur maslahah umum di dalamnya, (maka tidak wajib mengikuti perintah tersebut).” (Bujairimi ‘alal Khatib, juz II, halaman 238).

Alhasil, tindakan meninggalkan dinar-dirham sebagai media pertukaran dan beralih ke rupiah adalah perintah yang disyariatkan. Adapun kedudukan dinar dan dirham dalam situasi semacam dapat disetarakan dengan huliyin mubah (perhiasan mubah). Selama ia tersimpan dalam satu haul dan terhitung melebihi nishab, maka ia wajib ditunaikan zakatnya dalam bentuk uang rupiah. Wallahu a’lam bis shawab.
 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah–Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur