Syariah

Jual Beli dengan Ongkos Pengiriman di Dalamnya

Ahad, 28 Juli 2019 | 12:00 WIB

Hakikat dari jual beli adalah tukar-menukar barang atau manfaat benda oleh dua orang yang saling bertransaksi. Akan tetapi, karena suatu hal maka dibolehkan untuk melakukan khiyar, yaitu opsi memilih melanjutkan atau membatalkan transaksi. Di dalam khiyar ini, terkadang salah satu pihak menetapkan syarat. Akhirnya, muncullah istilah bai' bi syarthin (jual beli dengan syarat).

 

Dalam jual beli dengan syarat ini, terkadang pihak yang bertransaksi menetapkan satu atau dua syarat. Bila syarat tersebut sesuai dengan tujuan utama dilakukannya jual beli, maka syarat tersebut hukumnya adalah boleh, menurut ulama ahli fiqih. Batasan dari syarat ini adalah selagi masih memenuhi unsur tafrîqus shafqah (bisa dipilah sesuai dengan besaran nilai jasa masing-masing yang disyaratkan), maka syarat tersebut hukumnya diperbolehkan. Namun, ada juga fuqaha' yang membatasi bahwa syarat yang boleh disertakan hanyalah satu syarat saja. Lebih dari itu, hukumnya tidak boleh. Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa fuqaha kalangan Syafi'iyah dan Hanabilah.

 

Kita berikan contoh misalnya jual beli batu bata. Biasanya pembeli mensyaratkan agar batu bata itu dikirim ke rumah pembeli. Sudah pasti, pengangkutannya membutuhkan beberapa jasa lain, seperti sewa kendaraan, jasa menaikturunkan barang, hingga jarak kirim yang diperhitungkan karena hubungannya dengan masalah bahan bakar. Jadi, ketika terjadi akad jual beli batu bata ini, seolah ada beberapa jasa lain yang juga turut disyaratkan di dalamnya, tidak hanya jasa pengantaran. Masing-masing dari jasa ini bisa diperhitungkan atau ditentukan kadar ongkosnya oleh penjual atau pembeli. Inilah yang dinamakan dengan istilah tafrîqu al-shafqah. Jual beli dengan syarat yang terdiri dari kumpulan beberapa jasa yang dikemas dengan istilah bea pengiriman ini adalah masuk kategori al-'uqûd al-murakkabah, yaitu akad jasa yang tersusun dan include di dalam satu istilah bea jasa pengiriman.

 

Apakah syarat yang menjadi kebiasaan dalam transaksi ini diperbolehkan oleh syari'at? Jawabnya adalah boleh. Dasar pertama adalah sebagaimana disampaikan oleh Imam al-Nawâwi rahimahullah, bahwa:

 

العرف المعتاد يجري مجرى الشرط

 

Artinya: "'Urf/tradisi yang senantiasa berulang adalah berlaku menempati kedudukan syarat."

 

Sebagai 'syarat' yang menjadi bagian dari kebiasaan harga transaksi, justru 'urf (seperti pengiriman barang dan jasa) akan berubah sebagai sebuah akad kelaziman sehingga bersifat mengikat. Jadi, apabila penjual justru tidak mengirimkan barang ke tempat pembeli, ia malah bisa dikomplain berupa tuntutan pengurangan harga jual beli dikurangi jasa pengiriman. Dan pemberian ganti rugi (ta'widl) oleh penjual ke pembeli, hukumnya malah menjadi wajib. Sekali lagi sebagai catatan, adalah karena ini memenuhi unsur wajibnya bisa tafrîqu al-shafqah pada transaksi yang melibatkan peran multiakad.

 

العرف الثابت كالنص الثابت

 

Artinya: "Tradisi yang sudah tsâbit (sedemikian dikenal), adalah sama dengan ketetapan nash yang tsabit."

 

Jadi, kalau misalkan ada penjual yang menawarkan barang dengan janji barang akan diantar ke tujuan, hakikatnya bea kirimnya itu sudah diincludekan di dalam bagian transaksi. Jadi, harga terbentuk oleh harga barang ditambah bea pengantaran. Jika tidak diantar, maka hakikatnya tinggal harga barangnya saja.

 

Kembali ke persoalan tentang kebolehan berpedoman pada kebiasaan syarat dikirimkannya barang adalah disampaikan oleh Syekh Wahbah al-Zuhaili sebagai berikut:

 

والشرط الذي جرى به العرف: مثل اشتراط المشتري على البائع التعهد بإصلاح الشيء المشترى مدة معينة من الزمان، كالساعة، والمذياع، والسيارة، والغسالة، والثلاجة، واشتراط حمل البضاعة إلى مكان المشتري، فهذا مما تعارفه الناس وإن كان فيه زيادة منفعة لأحد العاقدين، فجاز استحسانا

 

Artinya: "Dan syarat yang berlaku karena tradisi, seperti mensyaratkannya pembeli kepada penjual agar berjanji menservice barangnya pembeli pada masa yang ditentukan lamanya, seperti servis jam, radio, mobil, mesin cuci, almari es, atau mensyaratkannya pembeli atas pengangkutan barang yang dibelinya ke tempat pembeli, maka urf seperti ini merupakan urf yang sudah malang melintang di masyarakat, sehingga meskipun di dalamnya terdapat tambahan manfaat ke salah satu pihak yang bertransaksi, maka hukumnya tetap boleh karena istihsan." (al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.: 4/477-478).

 

Sepertinya pendapat Syekh Wahbah al-Zuhaili di atas adalah mengadopsi pendapatnya Imamunâ Abû Hanîfah dari sisi istihsan. Mulanya beliau menyatakan tidak boleh, tapi beralih pada qiyas lain karena ada cantolan hukum nash lainnya. Mengambil jalur istihsan ini disebabkan ada pertentangan antara akad jual beli yang digabung dengan akad ijârah. Beralih dari qiyas yang melarang penggabungan ke 'urf tsàbit adalah bagian dari istihsan karena ada kebaikan yang dipelihara oleh syariat, yaitu tahsin al-manath (perbaikan) bagi masyarakat.

 

Lain halnya jika kita mengikut pendapatnya kalangan Syafi'iyah yang melazimkan tafrîqu al-shafqah (pemilahan tiap-tiap nilai harga jual beli dan harga jasa), sehingga bila terjadi tidak ditepatinya pengiriman, maka pembeli bisa mengajukan klaim (khiyar), yaitu antara menerima ganti rugi sebagai kompensasi tidak dipenuhinya pengiriman, atau membatalkan akad. Syarat yang tidak ditepati kedudukannya setara dengan syarat pembatal (syarthu al-bathil). Wallahu a'lam bish shawab.

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur