Syariah

Kartu Kredit: Kemudahan atau Kesulitan?

Rab, 12 Juni 2019 | 13:00 WIB

Era modern merupakan era dengan tuntutan pemenuhan kebutuhan yang semakin cepat. Jauh sebelum ada produk pinjaman online, sudah terlebih dahulu diperkenalkan berbagai produk e-money berbasis kartu. Ada kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM), Kartu Kredit (bithaqah li al-i'timan) dan berbagai macam kartu lainnya. Masing-masing kartu menawarkan kemudahan dan keunggulan. Nah, kanal Ekonomi Syariah kali ini membahas seputar kartu kredit dan segi permasalahannya, apakah ia merupakan kemudahan atau justru berbuntut kesulitan?

Mafhum kita bahwa yang dinamakan kartu kredit (credit card) ini adalah semacam kartu perintah pengalihan (hawalah) penagihan utang. Pasal 1 angka 4 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/52/PBI/2005 dan perubahannya lewat Peraturan BI Nomor 10/8/PBI/2008 tentang penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan kartu menyebutkan bahwa "Kartu Kredit adalah alat pembayaran dengan menggunakan yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan/atau untuk penarikan tunai di mana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban atas pembayaran tersebut pada waktu yang disepakati baik secara sekaligus (charge card) atau secara angsuran."

Mencermati isi PBI Nomor 10/8/PBI/2008 di atas, maka alur transaksi yang terjadi di saat nasabah menggunakan kartu ini adalah bahwa utang yang dia lakukan, dialihkan penagihannya ke bank tertentu tempat nasabah menyimpan uangnya. Bank penjamin transaksi nasabah ini dalam kedudukan fiqihnya disebut sebagai kâfil. Antara nasabah dengan bank penjamin transaksi memiliki hubungan ikatan transaksi kafâlah (akad penjaminan). Di dalam akad ini, biasanya disepakati beberapa hal, yaitu:

1. Limit kredit yang bisa ditanggung oleh bank penjamin terhadap kebutuhan nasabah per bulannya atau per tahunnya sesuai dengan kesepakatan yang dibangun dan hasil survey perbankan terhadap kemampuan nasabah menanggung kredit.

2. Dalam setiap transaksi nasabah yang itu berarti adalah perintah mengucurkan utang ke bank penjamin, pihak bank bisa membebaninya premi yang wajib dibayar oleh nasabah dengan besaran tertentu. Kadang bunga itu sampai 40% per tahun. Jadi, apabila anda bertransaksi dengan kartu kredit sebesar 100 ribu, maka ketika anda membayar ke bank penjamin, maka transaksi itu bisa berubah nominalnya menjadi 103.3 ribu rupiah dengan asumsi pembayaran di akhir bulan, dengan rasio suku bunga sebesar 40% dibagi 12 bulan, sama dengan 3.3% per bulan.

Nah, angka sebesar 3.3% per bulan, atau 40% per tahun inilah yang menjadi masalah. Belum lagi, pengguna credit card umumnya memanfaatkan fungsi kartu adalah untuk memenuhi kebutuhan konsumtif yang oleh ulama' modern diputus sebagai haram. 

Namun, apakah semua nasabah menggunakan untuk keperluan konsumtif? Tentu saja tidak, bukan? Kadang ada yang memanfaatkan credit card untuk keperluan pemenuhan kebutuhan barang produktif dan membutuhkan aliran dana cepat. Dan ini sudah kita bahas status fiqihnya dalam kajian halal haram bunga bank. 

Apakah alasan ini sudah cukup? Ternyata tidak. Penggunaan kartu kredit awal mulanya adalah dilatarbelakangi oleh sejumlah upaya pemenuhan kebutuhan dan gerak manusia yang semakin cepat. Seabrek aktivitas mendorong manusia untuk berusaha mencari solusi gap antara ruang, waktu, jarak, dan pekerjaan. Apalagi sekelas karyawan yang setiap harinya harus memenuhi rutinitas keseharian kerja, yang kadang kala menyita waktunya untuk sekedar membawa atau mengambil uang. Itulah sebabnya ia perlu wasilah berupa kartu kredit sebagai bagian dari perintah pengalihan tanggungan kebutuhannya ke perbankan. Istilah kasarnya adalah efisiensi waktu mengajukan kredit. itulah filosofi dasar dari kartu kredit dan tentu saja kartu debit ATM. 

Dilihat dari sisi matematis, memang kartu-kartu ini dapat memangkas waktu dan sekaligus tenaga. Sampai di sini jelas ada unsur kemaslahatannya dan kebaikannya (istihsân). Yang jadi persoalan kemudian adalah bagaimana agar credit card ini lepas dari jerat riba qardli (riba yang berasal dari utang piutang)? Konsepsi dasarnya sudah pasti harus bebas dari bunga. 

Dalam ekonomi syariah, ada tiga tawaran rekayasa fiqih (takyif fiqh) guna menghindari terjadinya praktik riba qardli ini, yaitu:

1. Penggunaan Akad Qardl (Utang/Kredit)

Dalam terminologi fiqih, akad qardl diartikan sebagai penyerahan barang / uang kepada seseorang untuk digunakan memenuhi kebutuhan. Selanjutnya orang ini memiliki kewajiban mengembalikan ganti yang sama berupa uang senilai barang tersebut kepada pemberinya. Dalam alur kartu kredit, transaksi qardl ini terjadi antara penjual dan bank penjamin (insurer bank). Bank penjamin melakukan pembayaran terlebih dahulu ke penjual lewat perantara mendebit uang ke rekening penjual sebelum nasabah membawa barang yang dibelinya. Dan praktik ini sudah umum terjadi di masyarakat.

2. Aplikasi Akad Kafalah

Akad kafalah merupakan akad penjaminan yang diberikan oleh kâfil (insurer bank) kepada pihak ketiga (pedagang) untuk memenuhi kebutuhan pihak kedua (nasabah) yang dijaminnya (makfûl 'anh). 

3. Aplikasi Akad Ijarah

Ijârah merupakan akad sewa jasa. Jasa yang diberikan oleh perbankan adalah jasa penjaminan. Ada dua sisi penjaminan yang bisa dilakukan oleh perbankan. Pertama, penjaminan atas kewajiban pembayaran nasabah terhadap pedagang, dan kedua, penjaminan atas kesesuaian dana pedagang dalam waktu riil (waktu transaksi). 

Selaku kâfil, maka bank insurer berhak menerima ujrah (fee) dari nasabah dan pedagang atas jasanya melakukan penjaminan tersebut. Jadi ada dua sisi ujrah yang diterimanya. 

Terkait dengan ujrah, fiqih mensyaratkan bahwa besaran ujrah sifatnya adalah "wajib maklum" (wajib diketahui diketahui). Permasalahannya kemudian adalah ujrah tersebut ditetapkan berdasarkan nilai persentase. Bank insurer mendapat ujrah dari pedagang biasanya seharga 2-5% dari harga barang atau jasa. Misalnya total harga barang adalah 1 juta rupiah, maka ujrah yang diterima bank insurer adalah senilai 20 ribu sampai dengan 50 ribu rupiah. Sementara itu, dari nasabah pembeli, bank insurer menerima ujrah senilai 3.3% dari total belanja yang dimiliki nasabah. Nah, di sinilah letak masalah fiqih itu terjadi.

Berdasarkan konsepsi fiqih, masalah itu berhubungan dengan kemakluman ujrah, yaitu:

a. Apakah sah menetapkan ujrah berdasar persentase nominal kredit? 

b. Apakah penetapan ujrah berdasar persentase sudah memenuhi kaidah ma'lum

Untuk menjawab pertanyaan ini, biasanya dibutuhkan pencarian solusi akad secara fiqih (takyif fiqih). Standar penggunaan takyif fiqih ini ditetapkan menurut pertimbangan asal yaitu kemaslahatan, kemudahan, hak terpenuhinya kebutuhan dasar, menghilangkan kesulitan dan yang paling pokok adalah prinsip keadilan dengan tetap memperhatikan prinsip zero riba.

Dengan menimbang beberapa hal tersebut, maka ujrah berbasis persentase dana yang dikucurkan adalah semata untuk memudahkan penyesuaian oleh pihak bank insurer terhadap dana konsumen serta berlaku adil untuk segala nominal dana. 

Kita buat pengandaian sebagai wujud qiyasnya. Kita umpamakan naik angkot atau bus kota. Jarak yang beda, jalur yang sama, mensyaratkan keharusan beda dalam ujrah. Anda naik bus dari Surabaya ke Kediri dengan naik bus dari Surabaya ke Madiun, meskipun busnya satu jalur dan sama-sama mampir di Terminal Kediri, sudah pasti tarif keduanya beda. Perbedaan terletak pada jarak tempuh bus. Demikian juga anda naik Taxi Argo yang menempuh jarak 10 km dengan naik Taxi yang sama dengan jarak tempuh 20 km, sudah pasti ujrah-nya berbeda. 

Penetapan ujrah berbasis jarak mekanismenya hampir sama dengan penetapan ujrah berbasis nominal angka penjaminan yang berhak diterima oleh bank penjamin dari nasabah. Basisnya sudah barang tentu dari uang yang dikucurkan.

Masalah yang mengganjal berikutnya biasanya adalah bahwa uang tidak memiliki kulfah (beban kerja) sehingga tidak mungkin menetapkan uang sebagai standar penetapan ujrah

Untuk menjawab masalah ini maka kacamata yang hendaknya digunakan adalah perhatian terhadap tugas kâfil. Ingat bahwa tugas kâfil adalah melakukan penjaminan. Ia berhak menerima ujrah. Mau ditetapkan berdasar standar apa ujrah itu? Dalam tarif angkot sebagaimana yang sudah kita gambarkan di atas, jarak merupakan kata sifat yang tidak memiliki beban kerja (kulfah). Yang kerja adalah sopir bus, kondektur dan bus yang dikemudikan tentunya. Posisi jarak menempati maqam nominal uang yang dikucurkan dan sama-sama tidak memiliki kulfah. Kulfah dimiliki oleh bus yang menempati maqam bank insurer. Tarif berdasar jarak kedudukannya sama dan menempati maqam presentase ujrah yang diterima oleh bank insurer berdasar dana yang dikucurkan. 

Nah, demikianlah konsepsi fiqih dari credit card. Riba dan tidaknya credit card atau bithâqah li al i'timan adalah bergantung pada sejauh mana aturan takyif fiqih itu diterapkan. 

Pertanyaan terakhir yang sepertinya sulit untuk dijawab adalah kartu kredit itu memudahkan atau menyulitkan? Jika dilihat dari sudut pandang nilai praktis bagi orang yang beraktivitas dengan mobilitas tinggi, sudah pasti kartu kredit adalah memudahkan karena dapat memangkas waktu pengajuan pembiayaan/kredit kepada perbankan atau lembaga keuangan. Namun, dilihat dari sisi akibat yang ditimbulkan dengan keberadaan kartu kredit ini, yakni menumbuhkan budaya konsumtif bagi nasabah dan hidup dengan berbalut utang serta israf (berlebih-lebihan), maka tak dapat dipungkiri bahwa kartu kredit memiliki ujung yang menyulitkan bahkan acap membawa beban berat di belakang hari. Untuk itu, dibutuhkan sikap arif dalam menggunakan kartu kredit. Sikap arif tersebut tentu saja dengan menimbang unsur kebutuhan dan maslahat bagi kehidupan pemegangnya (card holder). Wallahu a'lam bish shawâb.


Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua