Syariah

Kerugian akibat Perkara yang Tak Bisa Dikendalikan, Wajibkah Ganti Rugi?

Ahad, 6 Oktober 2019 | 14:30 WIB

Kerugian akibat Perkara yang Tak Bisa Dikendalikan, Wajibkah Ganti Rugi?

Tanggung jawab mensyaratkan adanya pilihan tindakan sebelumnya.

Suatu misal, ada orang membakar sampah di jalan. Tiba-tiba, tanpa disadari, ada angin puting beliung yang menerpa sampah yang dibakar itu. Akibatnya, sampah yang terbakar tersebut berhamburan ke mana-mana dan jatuh pada salah satu barang yang mudah terbakar. Misalnya jatuh ke tempat penyimpanan bensin sehingga menimbulkan kebakaran hebat. Yang menjadi permasalahan adalah, apakah pihak yang membakar sampah itu wajib melakukan ganti rugi? 
 
Untuk menjawab pertanyaan ini, ada sebuah qaidah fiqhiyah yang dijadikan pedoman penyelesaian sengketa. Kaidah tersebut adalah: 
 
ما لايمكن الإحتراز منه لاضمان فيه
 
Artinya: “Sesuatu yang tidak mungkin dijaga/dikendalikan, maka tidak ada tanggung jawab ganti rugi terhadapnya” (Syekh Mahmud Hamzah, al-Faraidu al-Bahiyyah fi al-Qawa’idi al-Fiqhiyyah, Damaskus: Dâr al-Fikr, tt.: 62)
 
Jadi, menurut pemahaman dari kaidah ini, pembakaran yang umumnya berlaku aman-aman saja, tapi tanpa disadari tiba-tiba berembus angin puting beliung yang kencang, sehingga menyebabkan sampah yang dibakar tersebut menjadi tidak bisa dikendalikan sehingga menyebabkan timbulnya kebakaran hebat pada tempat penyimpanan bensin, adalah merupakan perbuatan yang tidak bisa dimintai ganti rugi konsekuensinya. 
 
Hal yang sama juga bisa diberlakukan pada kasus lain, misalnya: ada seseorang yang menaruh batu di tepi jalan. Lalu tiba-tiba datang banjir, dan batu itu menghancurkan rumah seseorang karenanya. Maka tindakan orang yang menaruh batu tersebut tidak bisa dimintai ganti rugi disebabkan karena ada unsur banjir yang menyebabkan berpindahnya batu. Hukum jinayah (pidana) menjadi hilang disebabkan perkara yang tidak mungkin dicegah dan dihindari tersebut, baik oleh angin maupun oleh banjir. 
 
Satu contoh lagi untuk penerapan kaidah di atas, yaitu pada kasus yang disampaikan pengarang kitab al-Duru al-Mukhtar wa Raddi al-Mukhtar. Misalnya ada seorang hakim menjatuhkan hukuman potong tangan atas seorang pencuri. Setelah dipotong tangan, ternyata Si Pencuri tersebut meninggal. Apakah Si Hakim wajib dikenai pertanggungan kerugian akibat kasus ini? Jawabnya adalah tidak. Mengapa? Karena di dalam putusan hukum potong tangan, tidak terdapat ketentuan yang membatasi bahwa setelah hukuman tersebut dilaksanakan, maka Si Pencuri tidak boleh meninggal. Hal yang sama juga berlaku atas seorang dokter yang melakukan praktek bedah. Bila ternyata setelah dijalankan proses operasi, kemudian nyawa pasien tidak bisa diselamatkan, maka Si Dokter tidak bisa dikenai hukuman qishash atau tempuh risiko akibat luka bedah yang dibuatnya. Syekh Wahbah al-Zuhaili menjelaskan:
 
لايضمن تلف النفس بعد إجراء العملية الجراحية لمريض إذا قام بواجبه على الوجه المعتاد
 
Artinya: “Tidak ada pertanggungan risiko berupa rusaknya jiwa setelah berlakunya tindakan operasi bagi orang yang sakit, selagi Si Dokter telah berjalan sesuai dengan prosedur kerja yang operasi yang berlaku” (Syekh Wahbah Al-Zuhaili, Nadhariyatu al-Dlamân aw Ahkâm al-Mas’uliyah al-Madaniyah wa al-Jinaiyah fi al-Fiqhi al-Islâmi, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1998: 38).
Jika menilik dari ibarat ini, maka hal serupa tidak bisa dilaksanakan untuk dokter yang tidak memenuhi standart operating procedure (SOP) dalam kerjanya. Kasus terakhir akibat tidak memenuhi standar kerja ini, dikenal dengan istilah lain, yaitu malapraktik. Untuk kasus ini tetap berlaku dlaman sesuai dengan yang telah disepakati dalam hukum yang positif negara disebabkan melanggar kode etik kedokteran. 
 
Walhasil, untuk kasus kerugian yang diakibatkan ada unsur lain yang turut serta mempengaruhi, adalah tidak bisa dikenai pertanggungjawaban kerugian, selagi unsur lain tersebut bersifat tidak bisa dikendalikan (‘adamu al-ihtirâz). Pengendalian yang dimaksud di sini bisa bermakna melokalisir (secara adat atau prosedur kerja), menjaga agar tidak merembet ke datangnya kerugian akibat faktor lain, atau adanya prosedur yang harus dipatuhi yang dikenal sebagai standart operating procedure (SOP). Tanpa keberadaan tiga hal itu, maka kerugian yang timbul bisa dianggap sebagai sebuah kelalaian. Untuk itu perlu adanya pertanggungjawaban. Wallahu a’lam bish shawab.
 
 
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur