Syariah

Kondisi yang Membuat Penyebab Langsung Bebas Tanggungan Ganti Rugi

Rab, 16 Oktober 2019 | 08:00 WIB

Kondisi yang Membuat Penyebab Langsung Bebas Tanggungan Ganti Rugi

Menurut kaidah, penyebab langsung adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas ganti rugi dibanding penyebab tidak langsung. Tapi ada pengecualian.

Ada beberapa kondisi yang melatarbelakangi seseorang yang menjadi penyebab langsung tidak wajib menanggung kerugian, melainkan dia yang menjadi penyebab tak langsunglah yang harus menanggungnya sendirian. Kondisi ini sudah pasti berlaku dengan menisbikan qaidah yang menyatakan taqdim al-mubasyir ‘ala al-mutasabbib (mendahulukan penyebab langsung dibanding penyebab tidak langsung). Adapun besarnya pertanggungan kerugian, adakalanya: (1) ditanggung sendiri oleh penyebab tidak langsung, dan (2) adakalanya ditanggung bersama-sama.
 
 
Pertama, kerugian ditanggung sendirian oleh pihak yang menjadi penyebab tidak langsung.
 
Dua contoh kasus, ada seseorang memukul seekor hewan yang ditunggangi oleh seseorang. Atau ada orang lain memanggil-manggil hewan unggas tetangganya, sehingga ia datang dan masuk ke ladang orang lain yang di situ ada sebuah pembenihan. Imbas dari pukulan ini, hewan tersebut lari lalu menyeruduk orang lain sehingga terluka. Atau karena ternak unggas tersebut dipanggil dan diundang, lalu ia masuk ke ladang orang lain tempat pembenihan sehingga merusaknya. Siapakah pihak yang bertanggung jauwab menanggung kerugian yang diakibatkan oleh dua kejadian itu? Jawabnya adalah sudah pasti pihak yang memukul binatang tersebutlah yang wajjib menanggung kerugian, atau pihak yang mengundang unggas tersebut yang wajib menanggung kerugian yang diakibatkan olehnya. Mengapa? Karena sang penunggang, tidak berlaku layaknya pihak yang melampaui batas (muta’addin). Demikian pula dengan pemilik ternak, ia tidak berlaku layaknya pihak muta’addin. Itulah sebabnya, kuatnya sebab kerugian yang ditimbulkan oleh pihak yang memukul atau mengundang unggas, menjadi sebab dirinya wajib berlaku selaku penanggung kerugian. 
 
Namun demikian, kondisi ini masih perlu mendapatkan pertimbangan lain, yaitu adanya efek berantai yang timbul segera setelah kejadian itu atau tidak. Bila ternyata timbulnya adalah segera, dan sesaat setelah adanya pukulan atau undangan dari pihak yang menjadi penyebab tidak langsung itu, maka keberadaan unsur fauriyah (kesegeraan) itu menjadi penguat dari sebab timbulnya kerugian. Akan tetapi, sebaliknya, jika sifat kesegeraan efek berantai itu tidak segera terjadi sesaat setelah adanya pukulan atau undangan, maka pihak penunggang kendaraan, atau pihak pemilik unggas lah yang harus menanggung kerugian. Adanya jeda dalam hal ini sifatnya adalah mutlak, karena ia berhubungan erat dengan hukum sebab akibat bagi timbulnya kerugian. 
 
Contoh kasus di atas merupakan gambaran dari seorang yang menjadi penyebab tidak langsung (mutasabbib) harus menanggung kerugian secara sendirian, menisbikan keberadaan mubasyir (penyebab langsung)
 
Kedua, kerugian ditanggung bersama-sama oleh penyebab langsung dan tidak langsung.
 
Syekh Wahbah al-Zuhaili menyatakan hal sebagai berikut:
 
إذا اشترك المتسبب والمباشر في إحداث الضرر, وكان لكل واحد منهما دور بارز مساو لفعل الآخر بأن يتساوي أثرهما في الفعل فإنهما يشتركان في الضمان
 
Artinya: “Apabila ada seseorang yang penyebab tidak langsung dan penyebab langsung bekerja sama dalam timbulnya kerugian, dengan masing-masing dari kedua pihak memiliki peran yang runtut dan sama dalam pembagian tugas antara satu sama lain, dan menimbulkan efek yang sama akibat perbuatannya itu terhadap kerugian, maka kedua pihak tersebut secara tidak langsung dapat dinyatakan sebagai pihak yang bersama-sama dalam menanggung risiko kerugian” (Al-Zuhaili, Nadhariyatu al-Dlamman aw Ahkami al-Masuliyati al-Manadiyah wa al-Jinayah fi al-Fiqhi al-Islamy, Beirut: Dar al-Fikr, 2012: 45-46). 
 
Sebuah gambaran kasus dari apa yang disampaikan oleh Syekh Wahbah al-Zuhaili di atas, yaitu ada dua orang yang sama-sama menaiki kendaraan dan menyopirinya, kemudian secara tidak sengaja kendaraan itu menabrak pohon sehingga rusak. Siapa yang bertanggung jawab menanggung kerugian dalam hal ini? Jawabnya adalah keduanya, baik pihak yang menyopiri, maupun yang menemaninya. Penyebabnya adalah keduanya bekerja sama dalam menaiki kendaraan. Kasus semacam kadangkala terjadi pada tempat kursus kendaraan. Pihak yang menyopiri adalah pihak yang belajar. Sementara pihak yang mendampingi berperan selaku instruktur. Bila dari keduanya tidak ditemukan adanya salah satu yang berbuat muta’addin (melampaui batas yang dibenarkan syara’ atau menyalahi prosedur), maka kedua-nya wajib menanggung kerugian secara bersama-sama. Lain halnya bila ada keteledoran dari instruktur (misalnya), dengan tidak memberikan pengawasan seperlunya, maka pihak instruktur dianggap sebagai yang melakukan muta’addin, sehingga pertanggungan kerugian akibat dari tindakan tersebut adalah ditanggung berdua, namun besarnya angka pertanggungan instruktur lebih besar dari yang belajar. 
 
Contoh kasus lain, ada seseorang menangkap orang lain untuk dibunuh oleh pihak penyuruh, maka kondisi demikian ini, kerugian harus ditanggung bersama (menurut kalangan Malikiyah). Seseorang yang mendorong orang lain ke sebuah lubang yang sudah disiapkan oleh kawannya, maka efek kerugian yang ditimbulkan akibat dorongan tersebut, harus ditanggung bersama antara penggali lubang dan pendorong. Illat keharusan pertanggungan yang berlaku untuk keduanya ini, menurut kalangan Malikiyah adalah: 
 
لأن الرأي عندهم أن يقتل المتسبب مع المباشر كالمكره والمستكره
 
Artinya: “Menurut pendapat kalangan Malikiyah, pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang disuruh (penyebab tidak langsung) dan orang yang menyuruh (penyebab langsung) adalah menempati derajat seperti orang yang dipaksa dan memaksa." (Al-Zuhaili, Nadhariyatu al-Dlamman aw Ahkami al-Masuliyati al Manadiyah wa al-Jinayah fi al-Fiqhi al-Islamy, Beirut: Dar al-Fikr, 2012: 47). 
 
Walhasil, hukum asal pertanggungan kerugian adalah tetap ada pada penyebab langsung (mubasyir). Adapun keterlibatan pihak yang menjadi penyebab tidak langsung (mutasabbib) dalam menanggung kerugian adalah disebabkan ditemukan adanya korelasi antara kedua pihak yang bersangkutan, atau disebabkan adanya ‘illat al-ta’diyah (faktor melampaui batas sehingga berbuah kerugian). Adapun bila tidak ditemui adanya korelasi, maka yang perlu dilihat dan dicermati adalah adakah unsur fauriyah (kesegeraan) antara sebab dengan akibat kerugian yang ditimbulkan? Bila ternyata ada jeda, maka pihak pemilik (mubasyir) yang wajib menanggung kerugian. Akan tetapi bila tidak ada jeda antara sebab dan akibat, maka pihak mutasabbib-lah, yang wajib menanggung kerugian. Wallahu a’lam bish shawab.
 
 
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur