Syariah

Sanksi untuk Kerugian yang Diakibatkan Multisebab atau Massa

Kam, 10 Oktober 2019 | 12:30 WIB

Sanksi untuk Kerugian yang Diakibatkan Multisebab atau Massa

(Ilustrasi: NU Online)

Kerugian kadangkala tidak diakibatkan oleh perilaku seorang saja, melainkan multisebab. Sebut misalnya ada tiga orang yang bekerja sama menimbulkan kerugian. Satu di antaranya berperan sebagai penyebab tidak langsung, karena dia yang berperan selaku penyedia senjata. Satu lainnya berperan mengamankan. Dan satu pihak lainnya sebagai pengeksekusi tindakan. Sudah barang tentu, dalam kondisi seperti ini, pihak pertama dan kedua adalah selaku mutasabbib (peran tidak langsung). Sementara pihak ketiga yang bertindak selaku pengeksekusi tindakan, berperan selaku penyebab langsung (mubasyir). Yang jadi permasalahan biasanya adalah, siapa yang berhak dimintai pertanggungjawaban? Apakah hanya mereka yang bertindak selaku mubâsyir, ataukah mereka yang bertindak selaku mutasabbib  juga wajib dikenai tempuh kerugian?
 
Jawab dari ini semua adalah perlu melihat terhadap pola tindakan sehingga menimbulkan kerugian. Jika polanya saling berkorelasi antara satu sama lain, maka sudah pasti kerugian yang ditimbulkan tidak bisa diputuskan pertanggungjawabannya dengan hanya berpedoman pada kaidah: 
 
إذا اجتمع المباشر والمتسبب أضيف الحكم إلى المباشر
 
Artinya: “Apabila penyebab langsung dan tidak langsung berkumpul dalam suatu kasus, maka putusan hukum disandarkan pada pelaku langsung.” (Syamsudin Muhammad ‘Arfah al-Dasûqy, Hasyiyah al-Dasûqy ‘ala Al-Syarhi al-Kabir li al-Dardîri, Tanpa Kota: Thaba’ah Daru Ihyâi al-Kutubi al-‘Arabiyyah, tanpa tahun, Juz 3, halaman 444)
 
Perlu adanya perincian dalam jawaban terkait dengan masalah ini, karena adakalanya perbuatan melampaui batas itu dengan menggunakan modus yang semacam, namun adakalanya modus operandinya itu bermacam-macam. Untuk itu penting kiranya memperhatikan modus operandi tersebut. 
 
Modus Operandi Terdiri atas Satu Jenis
Jika sebuah perbuatan melampaui batas merupakan buah dari modus operandi yang sama, dengan pembagian kerja yang sama dalam menimbulkan kerugian, maka bentuk pertanggungan jawab bisa dipukulkan secara merata dalam derajat yang sama kepada para pelakunya. Pola kerugian semacam biasanya dicirikan berupa masing-masing pelaku memiliki peran yang sama antara sebagai mutasabbib (peran tidak langsung) dan mubasyir (peran langsung). 
 
Sebuah contoh: Tiga orang berserikat dalam melakukan pembunuhan seseorang. Masing-masing pelaku bertindak selaku penculik, penganiaya, dan sekaligus pengeksekusi. Dalam kasus seperti ini, maka kita bisa berpedoman dalam memutuskan hukum dengan hasil ijtihadnya Sahabat Umar ibn Khathab radliyallahu ‘anhu. Suatu ketika ada 7 orang penduduk Shan’â’ membunuh satu orang penduduk lainnya. Sahabat Umar ibn Khathab dalam hal ini memutus, ketujuh orang tersebut dikenai hukum qishash dengan dibunuh semuanya disebabkan satu sama lain memiliki kualifikasi yang sama sebagai penyebab terbunuhnya satu orang tersebut. Bahkan Sahabat Umar ibn Khathab berkata: 
 
لو تمالأ عليه أهل صنعاء لقتلهم جميعا
 
Artinya: “Seandainya seluruh penduduk Shan’â’ berserikat dalam terbunuhnya seseorang maka aku pasti akan meng-qishash-nya semuanya.” Atsar Riwayat Imam Malik dalam Kitab al-Muwatha’. 
 
Hasil ijtihad Sahabat Umar ibn Khathab ini bukan tanpa tentangan. Ada juga sahabat lain dan para tabi’in yang menentang pendapat beliau. Mereka beralasan bahwa: 
 
لاتقتل الجماعة بالواحد وإنما يقتل منهم واحد ويؤخذ من الباقين حصصهم من الدية لأن كل واحد منهم مكافئ للمقتول فلا تستوفى أبدال بمدل واحد كما لاتجب ديات لمقتول واحد
 
Artinya: “Tidak boleh dibunuh perilaku massa yang menyebabkan kerugian terhadap satu orang. Seharusnya satu orang di antara massa itu yang dibunuh sementara sisanya berserikat dalam komposisi diyat. Karena bagaimanapun tiap-tiap dari mereka bertindak selaku penyokong bagi terbunuhnya seseorang. Akan tetapi, bagaimana juga tidak boleh memutus mereka sebagai ganti atas terbunuhnya satu orang tersebut, sebagaimana pula tidak wajib adanya penarikan diyat pembunuhan satu orang atas mereka seluruhnya.” (Ibn Rusyd, Bidâyatu al-Mujtahid, Beirut: Dâr al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, tt.: 2/212). 
Mengapa pendapat di atas tidak dipilih sebagai yang digunakan, melainkan justru pendapatnya Sahabat Umar yang dipergunakan? Jawabnya adalah karena sahabat Umar lebih melihat kualifikasi yang sama atas mereka dalam melakukan tindakan penghilangan nyawa. Oleh karenanya sulit dibedakan. Jika dibedakan justru terkesan tidak adil. 
 
Modus Operandi Kerugian Memiliki Kualifikasi yang Berbeda dalam Sebab
Maksud dari kualifikasi yang berbeda ini sebagaimana dimaksud oleh Syekh Ali Al-Khafif sebagai berikut:
 
إذا ما تبين ما لكل شريك من تأثير التلف فإنه يلزم كل فاعل بتبعة فعله
 
Artinya: “Apabila bisa dibedakan tindakan dari orang yang berserikat dalam melahirkan kerusakan yang merugikan, maka sesungguhnya menjadi bersifat mengikat bahwa tiap-tiap pelakunya dihukum sesuai dengan derajat tindakannya.” (Syekh Ali Al-Khafif, al-Dlamânu fi al-Fiqhi al-Islâmy, Kairo: Dâr al-Fikr al-Araby, 2000: 69). 
 
Berpedoman pada kaidah ini, beliau Syekh Ali Al-Khafif, membedakan antara 4 jenis penyelesaian sengketa kerugian dengan melihat derajat masing-masing pelakunya, antara lain sebagai berikut:
 
Pertama, bila ada seseorang yang menggali sumur di suatu jalan, lalu datanglah penggali lain menambah kedalaman galian itu, lalu ada hewan piaraan yang jatuh ke dalamnya sehingga mati. Dalam kondisi demikian, maka teknik pengambilan ganti rugi dibagi menjadi tiga disebabkan karena galian itu berada di jalan. Pihak pertama yang menggali wajib membayar ganti rugi sebesar 2/3, sementara 1/3 sisanya ditanggung oleh penggali kedua. Alasan yang dipergunakan oleh Syekh Ali Al-Khafif, adalah:
 
لأن الحافر الأول أقوى سببا لولاه ما حفر الثاني
 
Artinya: “Karena penggali pertama kedudukannya adalah lebih kuat sebagai sebab timbulnya kerugian. Jika tidak ada pelaku pertama, maka tidak ada tindakan menggali dari pelaku kedua”  (Syekh Ali Al-Khafif, al-Dlamânu fi al-Fiqhi al-Islâmy, Kairo: Dâr al-Fikr al-Araby, 2000: 69).
 
Pendapat Syekh Ali Al-Khafif ini rupanya merujuk kepada pendapatnya Ibnu Qudamah dari kitab al-Mughny li ibn Qudâmah juz 9, halaman 565, Ali Al-Shabûny dari kitab Badâi’u al-Shanâ’i’ juz 7 halaman 280, Raddu al-Mukhtar juz 4 halaman 164, dan beberapa kitab lainnya dari berbagai mazhab. 
 
Kedua, ada seseorang menggali sumur di jalan, lalu datang penggali lain yang melebarkan bagian atas sumur itu, yang karenanya hewan mudah jatuh ke dalamnya dan mati. Dalam hal ini, keputusan beban wajibnya ganti rugi  tetap dibagi tiga namun dengan perincian. 
 
1. Jika hewan yang jatuh itu mati di tempat yang kedua penggali itu bersama-sama melakukan galian, maka bagi penggali pertama wajib menanggung risiko sebesar 2/3nya, sementara 1/3 sisanya ditanggung penggali kedua. 
 
2. Jika ada bukti yang jelas bahwa galian orang yang kedualah yang menyebabkan jatuhnya hewan karena galian orang yang pertama telah dipasangi rambu / tanda, maka pihak kedualah yang berperan selaku penanggung risiko secara utuh. Penggali pertama tidak turut dalam menanggung kerugian
 
3. Jika antara bekas penggali pertama dan penggali kedua tidak diketahui adanya perbedaan dalam menjadi sebab jatuhnya hewan, maka kedua penggali dituntut ganti rugi yang sama
 
(Lihat: Syekh Ali Al-Khafif, al-Dlamânu fi al-Fiqhi al-Islâmy, Kairo: Dâr al-Fikr al-Araby, 2000: 70)
 
Ketiga, jika ada seorang penggali sumur di jalan, lalu datang orang lain yang memasukkan benda tajam di dalamnya, dan kemudian ada hewan yang jatuh ke dalamnya lalu mati akibat tertancap benda tajam tersebut, maka pihak yang wajib membayar ganti rugi adalah penggali pertama. Dasar yang dipergunakan adalah:
 
إذ لولا الحفر ما وقع على السلاح
 
Artinya: “Karena andai saja tiada galian oleh orang pertama, maka tiada hewan yang jatuh tertancap senjata” (Syekh Ali Al-Khafif, al-Dlamânu fi al-Fiqhi al-Islâmy, Kairo: Dâr al-Fikr al-Araby, 2000: 70).
 
Keempat, jika seorang qadli telah memutuskan suatu perkara tentang sengketa harta, dan pemenangnya kemudian pergi tidak diketahui rimbanya, lalu saksi kunci yang memperkuat kesalahan putusan tersebut baru datang setelah putusan, maka harta yang hilang akibat dibawa pergi oleh pemenang perkara adalah menjadi tanggung jawab kerugian bagi saksi kunci tersebut untuk menggantinya. Jika saksi kunci itu terdiri atas beberapa orang, maka masing-masing menanggung bagian yang sama terhadap kerugian yang terjadi. 
 
Dengan gambaran empat kondisi di atas atas pelaku penyebab timbulnya kerugian, maka kita bisa memutuskan untuk kasus-kasus yang lain yang sekira memiliki ciri khas yang sama. Misalnya adalah kasus terbunuhnya seseorang oleh massa yang orang tersebut diduga sebagai pencuri. Namun setelah beberapa waktu baru terbukti, ternyata bukan orang tersebut yang mencuri. Maka dalam hal ini, kewajiban qishash (dalam fiqih) wajib berlaku atas massa yang melakukan penghakiman terhadap korban yang salah duga tersebut. Dan bila qishash ini tidak dilaksanakan di dunia, maka kelak di hari kiamat, qishash itu akan berlaku kepada mereka. Maka dari itu, berhati-hatilah dalam melakukan penghakiman! Alih-alih tindakan massa, demonstrasi yang menimbulkan kerusakan pada pihak yang tidak bersalah. Qishash Allah tetap akan berlaku pada anda meskipun anda sudah meninggal kelak! Waspadalah! Wallahu a’lam bish shawab.
 
 
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur