Syariah

Menabung Emas di Pegadaian dalam Pandangan Islam

Sel, 25 Juni 2019 | 15:45 WIB

Menabung Emas di Pegadaian dalam Pandangan Islam

kata kunci pada jual beli kredit emas terletak pada status uang. (Ilustrasi: via kaaz.ml)

Tidak diragukan lagi bahwa ada dua pendapat yang menyatakan membeli emas secara kredit hukumnya adalah (1) ada yang membolehkan dan (2) ada yang tidak membolehkan. Perbedaan hukum ini didasarkan pada illat (alasan dasar) bahwa: 
 
1. emas adalah termasuk barang ribawi dan 
2. status uang yang diperselisihkan bahwa ia masuk atau tidak sebagai barang ribawi
 
Sebenarnya tidak hanya emas, melainkan juga jual beli perak dan bahan yang masuk kelompok makanan. Kesemua barang ribawi ini, tidak diperbolehkan untuk ditempo atau dikredit. Sekali lagi, dengan asumsi "uang adalah barang ribawi." Adapun jika uang diasumsikan sebagai bukan barang ribawi, maka akan lain lagi ceritanya.
 
Nah, akhir-akhir ini, pihak pegadaian mengeluarkan sebuah produk baru yang diberi nama Tabungan Emasku. Merujuk pada situs yang dirilis oleh pegadaian, disampaikan bahwa program ini dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:
 
1. Nasabah memiliki buku rekening Tabungan Emasku di Pegadaian dengan jalan mendaftar menjadi nasabah
 
2. Nasabah menabung emas dengan jalan membeli emas seberat 0.1 gram yang harganya disesuaikan dengan besaran harga emas per gramnya pada hari itu. Suatu misal, harga emas 1 gram adalah senilai Rp650 ribu, maka untuk harga 0.01 gram emas, harganya adalah 6.500 rupiah. Jika harga emas mengalami penurunan senilai Rp500 ribu per gram, maka harga 0.01 gram emas menjadi senilai 5.000 rupiah. 
 
3. Setelah tabungan itu terkumpul senilai harga 1 gram emas atau harga 5 gram emas, nasabah bisa memesan agar emas tersebut dicetak dalam wujud fisik. 
 
Berdasar ciri khas karakteristik produk ini, dengan tetap pada asumsi bahwa "uang adalah barang ribawi", ada masyarakat yang mengatakan bahwa produk tabungan emas adalah sama dengan kredit emas atau logam mulia. Benarkah semacam itu? Mari kita telusuri!
 
Kata kunci utama adalah pada keberadaan syarat bermuamalah dengan barang ribawi. Ada dua model bermuamalah dengan barang ribawi, yaitu:
 
1. Muamalah pertukaran barang ribawi yang sejenis. Di dalam akad muamalah jenis  ini, syarat yang harus dipenuhi oleh kedua orang yang saling bertransaksi adalah:
 
a. Harus kontan (yadan bi yadin/hulul)
b. Harus sepadan (tamatsul), yaitu tidak boleh beda timbangan atau takaran.
c. Harus taqabudl (saling menerima). Tidak boleh salah satu menunda penyerahan bagi barang yang lainnya.
 
2. Muamalah pertukaran barang ribawi tidak sejenis. Di dalam akad muamalah jenis ini, yang wajib dilakukan hanya dua, yaitu:
 
a. Saling taqâbudl (serah terima)
b. Harus kontan (hulul)
 
Jual beli kredit emas, dengan asumsi bahwa "uang dianalogikan sebagai barang ribawi berupa emas," menjadikan muamalah kredit emas sebagai salah satu bentuk pertukaran model muamalah yang pertama, yaitu pertukaran barang ribawi yang sejenis. Untuk itu harus memenuhi syarat kontan, harus sama takarannya, kalibrasinya, ukurannya, dan harus saling diserahterimakan. Nah, ketiga syarat ini tidak mampu dipenuhi oleh jual beli sistem kredit. 
 
Jual beli kredit (bai al-taqshith) mensyaratkan adanya penangguhan harga dan barang dan penyerahan salah satunya di awal. Untuk itu, jual beli kredit barang ribawi ini menjadi tidak diperbolehkan karena tidak memenuhi syarat taqâbudl (saling serah terima harga dan barang). 
 
Sekarang mari kita cermati pada produk tabungan emas! 
 
Dalam produk tabungan emas, berlaku hal-hal sebagai berikut:
 
1. Berat emas yang dibeli sudah diketahui, hanya saja belum dicetak. 
2. Harga per gramnya juga diketahui dengan pasti dan real time (saat itu juga). 
3. Penyerahannya juga real time, dan emasnya dititipkan ke pegadaian. 
 
Dengan mencermati karakteristik tabungan ini, maka dalam akad tabungan ini sudah memenuhi ketiga syarat pertukaran barang ribawi yang sejenis, yaitu: 
 
1. harus kontan 
2. sejenis 
3. saling serah terima 
 
Walhasil, hukum tabungan emas ini adalah sah secara fiqih sehingga tidak sama dengan hukum jual beli kredit. Pencetakan emas, setelah 1 gram, 5 gram atau 10 gram, adalah merupakan akad yang baru dan tidak ada hubungannya dengan akad tabungan. Akad pencetakan tersebut sama halnya dengan akad istishna', yaitu akad pesan cetak barang dengan ujrah (upah) yang baru. 
 
Bagaimana jika uang dianggap sebagai bukan barang ribawi?
 
Jika uang dianggap sebagai bukan barang ribawi, jangankan akad tabung emas, mau mengkredt emas pun juga boleh. Mengapa?
 
Asumsi yang menganggap uang bukan barang ribawi, menjadikan muamalah di atas sebagai bentuk pertukaran barang ribawi dengan barang non-ribawi. Pertukaran antara barang ribawi dengan non-ribawi bisa dilakukan dengan jalan apapun dan bagaimanapun. Mau kredit emas 1 gram dengan cicilan 10 ribu per 0.1 gramnya juga boleh. Syarat yang harus diketahui hanya dua, yaitu:
 
1. Harga emasnya harus maklum (diketahui secara jelas)
2. Masa tutup pelunasan juga maklum (diketahui secara jelas)
 
Tanpa keberadaan pemenuhan dua syarat ini, menjadikan jual belinya menjadi tidak sah disebabkan rusak akadnya atau bahkan jatuh pada riba al-yad, yaitu jual beli barang ribawi dengan barang non-ribawi tanpa adanya kepastian waktu pelunasan yang disebutkan. 
 
Walhasil, kata kunci pada jual beli kredit emas terletak pada status uang. Namun, pendapat yang masyhur saat ini adalah menganggap bahwa uang adalah masuk rumpun barang ribawi dengan asumsi bahwa ia setara emas. Pendapat bahwa uang bukan barang ribawi merupakan pendapat yang shahih juga, namun tidak dipilih sebagai yang mashlahat bila diterapkan, karena rawan dengan fluktuasi harga. Wallahu a'lam bish shawab.
 
 
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur