Syariah

Peraturan OJK, Penyimpangan Praktik Leasing, dan Keganasan Debt Collector

Sen, 17 Mei 2021 | 15:00 WIB

Peraturan OJK, Penyimpangan Praktik Leasing, dan Keganasan Debt Collector

Leasing dalam POJK 35/POJK.05/2018 tidak lagi dimasukkan ke dalam kelompok akad sewa guna usaha atau penyewaan “barang modal”, melainkan pembiayaan “barang”.

Banyak masyarakat yang menyamakan antara leasing dengan kredit (apakah termasuk Anda?). Padahal, sejatinya kedua akad ini sangatlah berbeda secara teoritis. Bahkan, terkadang para tenaga marketing dari perusahaan leasing (finance) pun salah mengartikannya. Konsekuensinya, konsumen finance menjadi turut menanggapinya secara salah. Akhirnya, leasing dipahami sebagai kredit, dan kredit adalah leasing. Hanya beda pihak penagihnya saja.

 

Contoh konkret penyimpangan itu adalah terjadinya beberapa kasus keganasan debt collector (penagih utang). Dalam analisis penulis, karena debt collector tersebut rata-rata dari perusahaan finance, maka otomatis berkaitan dengan leasing. Jadi, ada apa dengan leasing saat ini, sampai-sampai perlu ada debt collector?

 

Namun, penting sebelumnya disampaikan bahwa ada baiknya kita melepaskan dulu semua persepsi kita tentang leasing. Anda tanggalkan pemahaman Anda, dan mari kita kembali ke teori asal bagaimana sebenarnya leasing itu seharusnya dipraktikkan. Dengan begitu, kita nanti akan tahu di mana letak penyimpangan yang terjadi. Tanpa dasar teoritis itu, kita akan sulit membedakan, mana praktik leasing dan mana praktik kredit. Menghukumi sesuatu tidak sebagaimana idealitasnya adalah sama dengan kita menghukumi persepsi sendiri dan bukan menghukumi realitas.

 

Dasar Utama Akad Leasing dan Operasional Akadnya

Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), leasing diartikan sebagai kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Anda bisa menjumpai penjelasan ini dalam situs resmi Sikapi Uangmu yang dikelola oleh OJK.

 

Selanjutnya, dalam situs tersebut juga dijelaskan mengenai maksud Penyewa Guna Usaha (PGU) (lessee). Lessee merupakan sebuah perusahaan atau perorangan yang menggunakan barang modal.

 

Coba kita cermati, apa yang dimaksud dengan diksi “barang modal”? Tentu dalam hal ini kita juga harus bertanya bahwa sesuatu bisa disebut sebagai “barang”, tentu ada pemiliknya. Lalu siapa yang memiliki barang itu? Pihak penggunanyakah atau pihak finance?

 

Jawabnya tentu adalah milik lembaga finance (lessoor). Dengan demikian, status penggunaan barang milik finance oleh pihak lessee (PGU) adalah menyewa (ijarah). Catat baik-baik hal ini!

 

Selanjutnya, mari kita tarik sebuah ilustrasi kasus. Kita umpamakan ada sebuah maskapai penerbangan. Ia hanya memiliki 7 pesawat terbang. Padahal, untuk memenuhi semua rute penerbangan, ia harus memiliki 11 maskapai. Alhasil, ia kekurangan sebanyak 4 pesawat terbang. Membeli pesawat tidak mungkin dilakukan karena keterbatasan dana. Namun, ada sebuah perusahaan yang memiliki 4 pesawat dan bersedia untuk menyewakan kepada industri maskapai tersebut. Syaratnya, perusahaan maskapai itu harus bersedia membayar ongkos sewanya (ijarah) yang ditetapkan selama 1 tahun (misalnya: $10.000). Atau misalnya tidak ditetapkan selama 1 tahun, melainkan per sit (tempat duduk) penumpang (misalnya: sebesar $10) setiap kali penerbangan. Alhasil, akad terakhir ini merupakan akad ju’alah (sesuai capaian hasil).

 

Berangkat dari gambaran ini, maka keberadaan 4 pesawat yang dipinjam oleh perusahaan maskapai ini berstatus sebagai barang sewaan yang merupakan modal bagi maskapai tersebut untuk menjalankan bisnis penerbangannya. Darinya, pihak maskapai dapat memperoleh keuntungan. Pihak perusahaan yang menyewakan, juga bisa mendapatkan keuntungan dari menyewakan.

 

Barang sewaan yang dijadikan modal ini selanjutnya dikenal dengan istilah “barang modal”. Jadi, barang modal itu pada dasarnya bukan milik maskapai yang menyewa, melainkan milik perusahaan yang menyewakan.

 

Contoh praktis yang lain adalah praktik jasa rental mobil. Anda tidak punya mobil pribadi untuk bepergian, bukan berarti Anda tidak bisa menggunakan jenis mobil pribadi untuk bepergian, bukan? Ada banyak jasa rental mobil di sekitar tempat tinggal Anda. Mereka menyediakan banyak mobil sewaan yang siap disewa sewaktu-waktu.

 

Pernahkah Anda berpikir bahwa semua mobil yang direntalkan tersebut adalah bukan milik perusahaan jasa rental itu? Sebagian besar pemilik jasa rental mobil tidak menggunakan mobilnya sendiri. Mobil-mobil yang mereka sewakan adalah milik orang lain. Pihak yang menyewakan tersebut mempersilakan pihak rental untuk menggunakannya guna melangsungkan usaha rental mobilnya.

 

Dari situ pihak pemilik sebenarnya dari mobil rental mendapatkan income setiap kali ada pihak yang mengorder dan menggunakan jasa mobilnya. Atau, bisa jadi pula, pihak pembuka jasa rental menyewa mobil tersebut setiap bulannya dengan besaran tertentu. Akad pertama, disebut akad jualah. Akad kedua, disebut akad ijarah. Terserah mau dipilih akad yang mana, yang jelas keduanya adalah sah secara syara’.

 

Praktik jasa rental mobil dengan penyedia mobil sewaan terdiri dari pihak lain ini adalah contoh sederhana dari leasing dalam konteks pengertian asalnya. Mobil yang digunakan masuk kategori “barang modal”. Pihak rental bisa melakukan akad kerja sama dengan pemilik melalui praktik ijarah (menyewa) atau melalui praktik akad ju’alah. Keduanya bergantung pada kesepakatan yang dibangun.

 

Lalu, mengapa leasing sekarang berubah menjadi blunder akad kredit?

Sebagaimana telah diuraikan di atas, operasional leasing pada dasarnya adalah diawali dari akad ijarah (sewa guna usaha) atau ju’alah (sewa yang ditetapkan biayanya berdasar tingkat keseringan pemakaian) yang dilakukan oleh sebuah perusahaan/pelaku usaha terhadap perusahaan penyedia “barang modal”. Lihat kembali ilustrasi perusahaan maskapai penerbangan di atas atau jasa rental mobil!

 

Namun, belakangan akad ini mengalami perubahan, semenjak diterbitkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan. Di dalam POJK ini, secara tegas telah dinyatakan bahwa leasing merupakan bagian dari perusahaan pembiayaan. Secara tidak langsung perubahan ini menjadi blunder yang isinya menjadi bertolak belakang dengan definisi yang terdapat dalam situs Sikapi Uangmu. Simak isi dari Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 POJK berikut ini!

 

“................................

Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan:

  1. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan barang dan/atau jasa.
  2. Pembiayaan Investasi adalah pembiayaan barang modal beserta jasa yang diperlukan untuk aktivitas usaha/investasi, rehabilitasi, modernisasi, ekspansi atau relokasi tempat usaha/investasi yang diberikan kepada debitur.
  3. Pembiayaan Modal Kerja adalah pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran yang habis dalam satu siklus aktivitas usaha debitur.
  4. Pembiayaan Multiguna adalah pembiayaan barang dan/atau jasa yang diperlukan oleh debitur untuk pemakaian/konsumsi dan bukan untuk keperluan usaha atau aktivitas produktif dalam jangka waktu yang diperjanjikan.
  5. Finance Lease yang selanjutnya disebut Sewa Pembiayaan adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang oleh Perusahaan Pembiayaan untuk digunakan debitur selama jangka waktu tertentu, yang mengalihkan secara substansial manfaat dan risiko atas barang yang dibiayai

…………”

 

Di mana letak blundernya? Coba Anda simak poin per poin ayat yang dimaksud di Pasal 1 POJK Nomor 35/POJK.05/2018 tersebut! Leasing dalam konteks POJK ini, tidak lagi dimasukkan ke dalam kelompok akad sewa guna usaha atau yang lebih dikenal sebagai penyewaan “barang modal”. Leasing menjadi dimaknai sebagai pembiayaan “barang”. Secara teoritis, keduanya sangat berbeda dalam rincian detailnya. Mari simak penjelasannya!

 

Umumnya, yang dinamakan dengan akad pembiayaan itu, adalah akad utang-piutang. Artinya, “barang modal” yang digunakan oleh konsumen (lesee), memiliki status sebagai barang yang dibantu pembeliannya oleh lessor (finance). Sebagai pihak yang dibantu, maka lesee punya utang kepada lessor.

 

Karena untuk memiliki barang pihak lessee berangkat dari akad utang-piutang, maka hak kepemilikan atas “barang modal” menjadi ada pada konsumen. Demikian halnya dengan tanggungan yang dibayarkan oleh pihak konsumen kepada lessor (finance), merupakan buah dari akad utang. Kelebihan yang terjadi pada pembayaran, dapat menyeret pihak lesee sebagai telah melakukan akad riba qardli atau bahkan riba nasiah.

 

Tentu hal ini akan sangat berlainan ketika leasing masih dimaknai sebagai sewa guna usaha sebagaimana situs Sikapi Uangmu. “Barang modal” yang digunakan oleh pihak lessee adalah masih menjadi hak milik dari lessor.

 

Pihak lessee hanya berhak atas pemakaiannya untuk membantu memenuhi kebutuhan barang untuk kegiatan usaha yang dimilikinya. Alhasil, ketika menyerahkan “barang modal” ke pihak lessee (jika akadnya masih mengikuti definisi asli dari leasing), maka akad penyerahan itu masih memiliki arti sebagai akad investasi, melalui praktik ijarah/jualah. Pihak lessee sendiri secara tidak langsung menempati derajat sebagai tempat investasi (perusahaan investasi).

 

Perlu Produk Hukum yang mengatur Leasing secara Terpisah

Usaha melahirkan sebuah produk peraturan di kenal dengan istilah taqnin. Dalam hal ini, taqnin terhadap leasing dapat diartikan sebagai kebutuhan produk perundangan secara terpisah yang mengatur leasing dan memisahkannya dari produk pembiayaan.

 

Beberapa pihak menyampaikan bahwa leasing harus mampu menjawab tantangan masyarakat akan kebutuhan kepemilikan “barang modal.” Kebutuhan akan kepemilikan barang, memang dapat dikategorikan sebagai menempati derajat dlarurah. Dan ini tidak kita sangkal lagi.

 

Karena faktor kedaruratan tersebut, maka hal yang membuat sulit untuk mewujudkan kepemilikan menuntut adanya ijtihad kolektif berupa keringanan cara mendapatkannya sehingga senafas dengan bunyi kaidah fiqhiyyah al masyaqqatu tajlibu al-taisir (kesulitan membutuhkan upaya pemudahan).

 

Sebagai bagian dari upaya ijtihad kolektif guna mewujudkan kebutuhan kepemilikan barang itu, maka beberapa fuqaha kontemporer mewacanakan produk akad sewa beli atau yang dikenal dengan istilah ijarah muntahiyah bi al-tamlik (IMBT). Operasional dari produk ini ada 2 langkah, yaitu:

  1. Produk itu diawali dengan perjanjian sewa guna “barang modal” sampai batas pembayaran sewa hingga masa tertentu.
  2. Produk itu diakhiri dengan pemberian hibah “barang” kepada pihak lessee/konsumen.

 

Menilik dari produk akad IMBT ini, pada dasarnya para fuqaha’ tidak meninggalkan pengertian leasing secara definitif sebagai bagian dari akad sewa guna usaha. Buktinya, akad ini tetap dinamai sebagai bagian dari akad ijarah dan tidak lantas berubah menjadi akad qardl (utang) yang merupakan soko guru dari akad pembiayaan/kredit.

 

Jadi, menyatukan leasing ke dalam bagian produk taqnin (peraturan perundangan) yang mengatur tentang perusahaan pembiayaan, secara fikih justru membahayakan segi kehalalan aktifitas muamalahnya masyarakat pengguna jasa leasing itu sendiri. Mereka bisa terseret dalam pusaran riba qardli dan riba nasiah yang rawan bagi terjadinya praktik kezaliman.

 

Munculnya beberapa indikator gejolak seperti beberapa kasus debt collector belakangan ini, adalah bukti nyata telah lahirnya pusaran arus penyalahgunaan promosi leasing sebagai promosi perkreditan sehingga berujung ada pihak yang terzalimi.

 

Padahal, secara teoritis, antara leasing dan perkreditan adalah dua produk yang berbeda. Alhasil, perlu ada pemisahan produk taqnin. Jika leasing, ya tegaskan unsur leasingnya! Jangan beralih menjadi jasa perkreditan atau pembiayaan. Wallahu a’lam bi al-shawab!

 

 

Muhammad Syamsudin, Direktur eL-Samsi; Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur