Syariah

Prinsip Kemaslahatan dalam Fiqih Imam Ahmad ibnu Hanbal

Ahad, 23 Desember 2018 | 13:45 WIB

Nama asli dari pendiri pendiri mazhab Hanbali adalah Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Hanbal Ibnu Hilal Ibnu As’ad al-Marwazî al-Baghdadî Ibnu Idris Ibnu Abdillah Ibnu Hayyan Ibnu Abdillah Ibnu Anas Ibnu Auf Ibnu Qasith Ibnu Mazin Ibnu Syaiban Ibnu Zulal Ibnu Ismail Ibnu Ibrahim, lahir pada tahun 164 H dan wafat pada tahun 241 H di kisaran usia 77 tahun. Beliau merupakan keturunan Arab dari kabilah Bani Syaibân sehingga seringkali dinisbahkan ke kabilah ini dengan laqab Abû Abdillah Ahmad ibnu Hanbal Al-Syaibâny.

Kakek beliau yang bernama Hanbal ibnu Hilal adalah mantan seorang Gubernur Sarakhsy pada masa kekuasaan Dinasti Banî Abbâsiyah dan secara aktif menentang Dinasti Umayyah yang saat itu menguasai Khurasân (Al-Hâfidh Abû al-Farrâj Abdurrahmân Ibn al-Jawzî, Manâqib al-Imâm Ahmad Ibn Hanbal, Kairo: Mathba`at al-Sa`adah, t.th, hlm. 17-19). Sejak kecil beliau sudah menjadi anak yatim karena ditinggal mangkat oleh ayahnya. Tumbuh besar di bawah asuhan ibunya Shafiyyah bintu Maimûnah bintu Abdul Mâlik al-Syaibân. Jadi beliau adalah seorang murni keturunan kabilah Banî al-Syaibân. 

Catatan rihlah keilmuannya, sejak kecil beliau sudah menghafal Al-Qur’an (usia 15 tahun), lalu di usia 16 tahun pergi berguru ke Abû Yûsuf, salah satu santri dari Imam Abû Hanîfah. Dan saat itu Abû Yûsuf masih menjabat selaku Hakim Agung Dinasti Bani Abbasiyah. Penting untuk diketahui bahwa sejak kecil beliau sudah memiliki konsentrasi studi hadits. Dalam catatan sejarah, beliau pernah pergi hingga tanah Syam (Siria), Hijâz, dan Yaman hanya untuk berburu hadîts. Selain Abû Yûsuf, beliau juga pernah guru kepada al-Imâm Bahru al-Ilmi Muhammad ibnu Idris al-Syâfii dan tercatat sebagai perawi dari Qaul Qadim al-Syâfii dengan kitabnya al-Hujjah. Di Yaman, beliau pernah berguru kepada Abdu al-Razzâq ibnu Hammâm ibnu Nâfi’ al-Humairî al-Shan’âny, atau yang biasa dikenal sebagai al-Imâm al-Shan’ânî (w. 211 H) dan disebut sebagai salah satu yang meriwayatkan kitab karya beliau yang terkenal, yaitu Mushannaf Abdu al-Razzâq yang terdiri atas 31 bab fiqih. (Al-Hâfidh al-Dzahabi, Siyâru A’lâmin al-Nubalâ, Beirut: Dâr al-Kutub Al-Ilmiyyah, tt.). 

Baca juga:
Menelusuri Fiqih Maqashid Imam Abu Hanifah
Prioritas Maslahat dalam Fiqih Maqashid Mazhab Maliki
Konsep Maslahat dan Latar Belakang Qaul Qadim-Qaul Jadid Imam Syafi'i
Sampai di sini kita langsung masuk pada pemikiran maqâshid Imam Ahmad Ibnu Hanbal. Jika kita perhatikan dalam ushul fiqh mazhab Imam Ahmad, stratifikasi bangunan sumber hukum Islam (مصادير الأحكام) menurut beliau terdiri dari Al-Qur’an, Al-Sunnah, al-Ijmâ’ (konsensus) dan al-Qiyâs (metode analogi). Khusus terkait dengan as-Sunnah, beliau tidak serta merta menolak keberadaan hadits-hadits yang memiliki derajat dla’îf (lemah), melainkan juga membolehkannya asal diperuntukkan untuk fadlâilu al-a’mâl (mencari amal yang lebih utama). Sebagai bagian dari dalil hukum, beliau juga menerima konsepsi istishlâh (mencari kemaslahatan) dan juga sadd al-dzarâi’ (manhaj antisipasi).

Dengan demikian, dalam konsep bangunan adillatu al-ahkam (dalil hukum) di antara keempat mazhab, maka mazhab Mâlikî dan mazhab Hanbali-lah yang sebenarnya secara tegas menerima konsep mencari sisi kemaslahatan (istishlâh) risâlah ini. Adapun dua mazhab lainnya, tidak secara tegas menampakkan konsepsi pencarian kemaslahatan tersebut melainkan lewat konsepsi yang hampir mirip lewat jalur istihsân (yaitu upaya mencari yang lebih baik [hasan]). Namun, pola istihsân dan istishlâh adalah memiliki kemiripan, yaitu sama-sama dipengaruhi oleh faktor sosio-historis dan budaya masyarakat di sekelilingnya. 

Sebelumnya, kita kembali ke pembahasan as-Sunnah dan al-Ijma’, di dalam formulasi ushul fiqih Ahmad Ibnu Hanbal, ada metode penerimaan dalil yang menjadi perantara antara as-Sunnâh dan al-Ijmâ’. Kalangan Hanabilah menyebutnya sebagai Fatwa Shahabat. Stratifikasi ini secara gradual adalah sebagai berikut:

1. Ijmâ’ shahâbî, yang terdiri dari konsensus/kesepakatan yang terjadi pada sahabat Rasulullah SAW. Untuk konsensus ini mutlak harus diterima dan menyalahinya dipandang sebagai kufur.

2. Ijmâ’ al-khulafâ’ al-râsyidîn yang terdiri atas kesepakatan empat pemangku kekhalifahan sepeninggal Baginda Rasulillah SAW (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib). Konon, menurut kalangan Hanâbilah, ijma’ yang satu ini masih memungkinkan untuk tidak diterima pasca-wafatnya keempat khalifah itu. Alasannya adalah kondisi zaman yang senantiasa berubah. 

3. Ijmâ syaikhân, yaitu kesepakatan yang dilakukan oleh Abû Bakar dan Umar ibnu Khathâb radliyallâhu ‘anhu. Jika ijma’ al-khulafâ’ al-râsyidîn saja ada masa kadaluarsanya pasca-purna kekhalifahan, apalagi untuk ijma’ syaikhân. 

4. Ijmâ’ ahlu al-madînah, yaitu konsensus yang dilakukan lewat tradisi penduduk Madînah secara turun temurun. Hanâbilah tidak menyatakan mutlak penentangannya, namun perlu dilihat kembali. 

5. Ijmâ ulamâ Kuffah, yaitu konsensus yang disepakati oleh para ulama Kuffah. Secara tegas, mazhab Hanafi yang menyatakan sebagai bagian dari sumber hukum. Kalangan Hanâbilah juga tidak serta merta menolaknya, dengan alasan produk ijtihâd yanng bisa berubah setiap waktu. 

Baik ijma’ ahlu al-madînah dan ijmâ’ ulamâ kuffah, dalam formulasi fiqih mazhab empat adalah masuk dalam wilayah generasi tabi’in atau tâbi’ut tâbi’în, yaitu generasi shighâru al-shahâbah (seperti Abu Hurairah, Ibnu Abbâs, dan Ibnu Mas’ûd), generasi akâbiru al-tâbi’în (seperti Thâwûs, Mujâhid, Sufyan Ibnu ‘Uyainah dan termasuk di dalamnya adalah Imam Abû Hanîfah) dan generasi shighâru al-tâbi’in (seperti Hasan al-Bashri, Sufyan Al-Tsauri, Ibnu Mujâhid, dan termasuk di dalamnya Imam Mâlik bin Anas dan Imam Al-Syâfii).

Selain Madînah dan Kuffah, Ahmad Ibnu Hanbal juga mendasarkan diri pada beberapa kebiasaan dari penduduk wilayah lainnya, seperti Bashrah, Makkah dan Syam. Stratifikasi berdasarkan ‘urf ini tampak menyolok sekali jika kita perhatikan dengan seksama isi dari materi kitab karya beliau, Al-Musnad li Ahmad Ibni Hanbal. Itu artinya bahwa penggunaan beliau terhadap kaidah istishlâh juga dipengaruhi oleh masing-masing lokasi wilayah tersebut. Itu pula sebabnya, para ulama merumuskan bahwa selain adanya kemiripan, ada pula perbedaan mendasar antara konsepsi istishlâh dan istihsân. Letak perbedaan tersebut terjadi pada penempatan kaidah qiyâs. Kelak perbedaan keduanya, akan disampaikan dalam sajian tulisan mendatang. Insyâallâh. Wallâhu a’lam bish shawâb.


Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU JATIM dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim 

Terkait

Syariah Lainnya

Lihat Semua