Syariah

Tanggung Jawab Petani Penggarap dan Pemilik Lahan versi Mazhab Hanbali

Sen, 25 November 2019 | 01:00 WIB

Tanggung Jawab Petani Penggarap dan Pemilik Lahan versi Mazhab Hanbali

Buruh tani sedang memeriksa gabah.

Meskipun akad musaqah itu asalnya berangkat dari akad ja’izah, yaitu hukum kebolehan melakukannya, tetapi buntut ikatan akibat terjadinya akad adalah bersifat lazim (mengikat). Sifat kelaziman ini ibaratnya adalah risiko yang harus dilakukan. Ditinjau dari sisi ushulul khamsah, maka kaidah yang berlaku atas akad kelaziman ini, adalah:

التابع تابع

Artinya, “Hukum pengikut adalah mengikuti.”

Hal ini berlaku untuk semua kalangan pendapat ulama mazhab, termasuk di antaranya tiga ulama mazhab terdahulu yang sudah kita kupas.

Dilihat dari sisi tugas yang harus dilakukan oleh dua pihak yang saling berakad musaqah ini, seperti biasanya kita akan bedakan menurut sisi amil dan pemilik lahan. Karena dalam tulisan ini kita fokus pada kajian mazhab Hanbali, maka kitab rujukan dasar yang kita pergunakan untuk mengidentifikasinya, adalah kitab karya ulama Mazhab Hanbali, yaitu Al-Mughny libni Qudamah, juz V, halaman 401-403. Pembaca dapat merujuk ke kitab tersebut untuk mendapatkan penjelasan lebih.

Pertama, Tugas Petani Penggarap (Amil)
Dalam Mazhab Hanbali, secara umum, hal yang bersifat mengikat dan menjadi kelaziman seorang amil akibat akad yang sudah dibangunnya dengan rabbul mal (pemilik lahan) adalah segala hal yang berkaitan langsung dengan upaya menjaga agar hasil panen tetap tinggi, kualitas buah yang bagus, ditambah usaha mengolah lahan di mana tanaman itu di tanam.

Termasuk bagian dari usaha mengolah lahan yang menjadi tugas seorang amil adalah menyediakan sapi yang digunakan untuk membajak, alat bajak, menyirami tanaman, mengalirkan air ke area tanaman, memperbaiki saluran air, menjaga kelancaran alirannya, menyiangi gulma, membersihkan duri, menebang pohon yang sudah tidak produktif lagi atau mati, atau sekadar dahan yang kering dan mengganggu, memangkas anggur karam, menjaga jarak tanaman, membagusi selokan sebagai tempat menampung air antarguludan, memupuk tanaman, mengobati tanaman agar buahnya tetep bagus dan tidak diserang penyakit, sampai dengan membagi hasil panen, bahkan menjemurnya.

Kedua, Tugas Pemilik Lahan (rabbul mal)
Di dalam Al-Mughny disebutkan bahwa, tugas utama pemilik lahan (rabbul mal) dalam akad musaqah, adalah menjaga batas-batas ushul lahan, yaitu modal utama yang bisa membantu tugas petani penggarap. Misalnya adalah membangun tembok atau pagar kebun, membuat saluran irigasi dari sungai ke kebun sebagai bekal petani penggarap menyirami tanaman, membikin tandon atau tempat penampungan air hujan, menyiapkan sumur, membeli tandan sari sebagai bahan untuk mengawinkan tanaman.

Kalau sekarang, istilah tandan sari ini mungkin menyerupai obat atau pupuk perangsang buah atau memperbanyak getah karet atau daun pada tanaman teh.

Terkadang para pakar fiqih kontemporer meringkas pola pembagian tugas antara petani penggarap dan pemilik lahan ini sebagai berikut ini:

كُل مَا يَتَكَرَّرُ كُل عَامٍ فَهُوَ عَلَى الْعَامِل وَمَا لاَ يَتَكَرَّرُ فَهُوَ عَلَى رَبِّ الْمَال

Artinya, “Segala pekerjaan yang sifatnya rutin dilakukan setiap tahunnya, maka itu adalah tugasnya amil. Sementara tugas dari pemilik lahan adalah memberi solusi untuk hal yang tidak bersifat rutin.” (Aujazul Masalik, juz 13, halaman 435).

Pendapat yang kiranya menyerupai pendapat di atas juga tertuang dalam Kifayatul Akhyar, juz II, halaman 398, salah satu kitab fiqih mazhab Syafi’i. Di dalam ibaratnya, Syekh Taqiyuddin Al-Hushny menjelaskan sebagai berikut:

على العامل كل ما تحتاج إليه الثمار لزيادة أو إصلاح من عمل بشرط أن يتكرر كل سنة وإنما إعتبرنا التكرر لأن ما لايتكرر كل سنة يبقى أثره بعد الفراغ من المساقاة

Artinya, “Wajib atas petani penggarap melakukan segala aktivitas yang dibutuhkan untuk membuahkan tanaman, meningkatkan kapasitas produksinya, atau hal ihwal yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan tanaman, dengan syarat pekerjaan itu bersifat rutin (berulang) setiap tahunnya. Kami menggunakan istilah aktivitas rutin ini karena segala aktivitas yang bersfat tidak rutin tiap tahunnya, maka ia pengaruh dari aktivitas itu adalah bersifat permanen sampai selesainya akad musaqah.” (Kifayatul Akhyar, juz II, halaman 398).

Adapun membeli tandan sari, atau segala keperluan obat dan pupuk untuk membuahkan tanaman, adalah tanggung jawab pemilik lahan.

Beberapa Hal yang Diperselisihkan
Ada sebuah selisih pendapat di kalangan ulama Hanabilah terkait dengan pembagian tugas dalam akad musaqah. Sebagai catatan khusus dalam mazhab Hanbali adalah: segala ketentuan yang sudah disebutkan di atas, berlaku khususnya bila akad musaqah itu berjalan secara mutlak, tanpa adanya penjelasan mengenai rincian tugas masing-masing pihak yang berakad.

Mensyaratkan salah satu dari masing-masing tugas di atas kepada pihak lainnya, di satu sisi ada kalangan hanabilah yang menyebut sebagai dapat merusak akad. Alasan yang dijadikan dasar, adalah karena pensyaratan itu termasuk akad murakkab (ganda) yang mukhalif terhadap muqtadhal’aqdi.

Maksudnya adalah bahwa tindakan mensyaratkan salah satunya dari pihak yang berakad ke pihak lainnya bertentangan dengan tujuan utama dari pensyariatan akad musaqah, yaitu saling tolong-menolong. Pembebanan syarat yang memberatkan salah satu dari kedua pihak yang berakad dapat dipandang sebagai keluar dari dasar syariat tolong-menolong (ta’awun) itu.

Pendapat ini, jika dirujuk langsung ke riwayat Imam Ahmad bin Hanbal, tampak menunjukkan perbedaan pemahaman dengan sang Imam sendiri, dan ini diakui oleh Ibnu Qudamah. Dalam sebuah riwayat, Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny, sejatinya pensyaratan sebagaimana telah diuraikan di muka, hukum asalnya adalah boleh, karena keberadaan syarat itu tidak mengurangi unsur kemaslahatan dari akad musaqah, juga tidak menyebabkan rusaknya amal.

Namun, Imam Ahmad bin Hanbal menetapkan batasan bahwa harus ada rincian tugas amil dan rabbul mal, dan tugas itu harus menjadi kemakluman. Sifat kemakluman ini pada hakikatnya menyerupai makna tradisi (urf) musaqah yang berlaku di masyarakat. Karena bagaimanapun, adanya pembagian tugas bisa dikategorikan sebagai maklum sudah barang pasti harus dengan tradisi. Tanpa tradisi, maka tugas itu tidak akan bisa disebut sebagai maklum.

Masih menurut riwayat lain dari Imam Ahmad, pembebanan kerja kepada amil yang lebih banyak dari rabbul mal (pemilik lahan) tidak menyebabkan rusaknya akad. Alasan yang dpergunakan adalah: 

لأن العامل يستحق بعمله فإذا لم يعمل أكثر العمل كان وجود عمله كعدمه فلايستحق شيأ

Artinya, “Karena sungguh amil memiliki tanggung jawab sesuai atas keharusan pekerjaannya. Jika ia tidak melakukan pekerjaan lebih banyak dari pemilik lahan, maka sudah pasti amalnya adalah sama halnya dengan tidak adanya amal. Malah tidak cocok sama sekali.” (Syarhul Kabir libni Qudamah, juz V, halaman 572).

Hal yang sama juga berlaku atas keturutsertaan amil dalam memanen hasil panenan. Dalam satu riwayat, Imam Ahmad sendiri menunjukkan kebolehan mensyaratkannya. Bahkan, jika pengelola tidak ikut serta dalam upaya memetik hasil tanaman, maka boleh bagi rabbul mal untuk memotong hasil amil untuk mengganti ongkos pekerja itu. Dalam sebuah riwayat, Imam Ahmad menyatakan:

في الجذاذ أنه إذا شرط على العامل فجائز لأن العمل عليه وإن لم يشرطه فعلى رب المال بحصته ما يصير إليه 

Artinya, “Terkait dengan panenan, jika disyaratkan kepada petani pengelola untuk ikut serta dalam panen, maka hukum mensyaratkan ini adalah boleh, karena melakukan amal merupakan bagian dari tanggung jawab pengelola. Bahkan andai tidak ada perjanjian sebelumnya, pemilik lahan dapat menghitung biaya yang dikeluarkan untuk memanen itu.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughny, juz V, halaman 403).

Demikianlah, rincian mengenai pembagian tugas menurut mazhab Hanbali dalam akad musaqah. Kiranya rincian yang lebih detail lagi, pembaca dapat merujuk ke kitab yang dimaksud dalam tulisan singkat ini. Semoga tulisan ini bermanfaat dalam memperkaya khazanah wawasan para petani dan pekebun kita. Wallahu a’lam bis shawab.
 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah-Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur