Syariah

Target dan Cabut Subsidi dalam Islam: Jangan Lambat!

Sen, 5 September 2022 | 09:00 WIB

Target dan Cabut Subsidi dalam Islam: Jangan Lambat!

Target dan cabut subsidi dalam Islam

Subsidi merupakan bantuan (ma’unah) negara yang disalurkan karena pertimbangan hal-hal tertentu dan dilakukan menurut petunjuk teknis tertentu pula, dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umum (mashalih ‘ammah), serta sebagai kompensasi dari kebijakan atau inovasi baru.
 

Secara fiqih, subsidi oleh pemerintah pada dasarnya lahir karena 2 hal, yaitu:

  1. Karena adanya perubahan kebijakan lama ke kebijakan baru sehingga membutuhkan penyesuaian. Perubahan kebijakan kadang terjadi karena kebijakan lama tidak lagi relevan dengan kondisi yang terjadi. 
  2. Karena lahirnya inovasi kebijakan yang benar-benar baru sehingga dibutuhkan percepatannya.


Target Subsidi

Normalnya, setiap subsidi selalu memiliki target. Secara syara’ target utama subsidi adalah mencapai kondisi equilibrum (setimbang). Hal ini senafas dengan bunyi ibarat berikut:
 

يروي الحاكم والبيهقي بسند صحيح عن أبي هريرة قال: قال رسول الله - ﷺ -: إنّ المعونة تأتي من الله للعبد على قَدْر المؤنة، وإن الصبر يأتي من الله على قدْر البلاء. وفي رواية: على قدر المصيبة. وفي لفظ آخر: إنّ الله يُنزِلُ المعونة على قدر المؤنة، وينزل الصبر على قدر البلاء


ِArtinya: “Imam Al-Hakim dan Al-Baihaqi telah meriwayatkan hadits dengan sanad shahih dari jalur Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: 'Sesungguhnya pertolongan (subsidi) itu datang dari Allah -untuk para hamba-Nya- menurut kadar biaya. Sesungguhnya kesabaran itu datang dari Allah swt sesuai dengan kadar cobaan yang diberikan-Nya.' 
 

Dalam satu riwayat disampaikan: 'Menurut kadar musibah yang diderita.' Dalam versi lain juga disampaikan: 'Sesungguhnya Allah sw menurunkan pertolongan (ma’unah) menurut kadar biaya, dan menurunkan kesabaran menurut kadar cobaan yang diderita.” (Ma’mun Hamusy, Tafsirul Ma’mun ‘ala Manhajit Tanzil was Shahihil Masnun, [Markaz al-Nakhab al-Ilmiyyah: 2007], juz IV, halaman 312). 

Alhasil, masa berlaku subsidi sejatinya hanyalah bersifat sementara (temporal) dan akan selesai serta dicabut setelah kondisi equilibrum itu berhasil dipenuhi.
 

Pencabutan Subsidi

Subsidi dalam dunia ekonomi muncul akibat adanya pengaturan harga. Pengaturan harga sendiri muncul akibat langsung dari adanya berbagai indikator (madhinnah) berupa potensi buruk di masyarakat sehingga memerlukan intervensi pemegang kebijakan. 

Karena itu, batasan tercapainya kondisi equilibrum dalam pemberlakuan subsidi sehingga kelak bisa dicabut, adalah:

1.    Apabila sudah teratasi sumber masalah krisis dan tercapainya kemaslahatan umum.
2.    Tegaknya supremasi hukum yang dilakukan lewat aksi
nyata penanggulangannya

 

Al-’Alim al-Thufi (wafat 716 H) dalam kitabnya menyinggung sekilas mengenai kedua hal tersebut seiring buruknya kondisi perekonomian. Buruknya kondisi itu sebelumnya juga telah diidentifikasi oleh penulis merupakan asal penerapan kebijakan tas’ir jabary, dan kebijakan ini menjadi sebab utama lahirnya subsidi perspektif rakyat. Subsidi dalam perspektif pemerintah bermakna sebagai arsyun (kompensasi) atau dlaman (ganti rugi). 
 

وساءت الأحوال الاقتصادية بين العامة والزهاد، وانتشرت الفاقة وعم البؤس وكثر قطاع الطرق واللصوص، واشتد الغلاء، وعمد الناس إلى الغش والخداع والحيل والاحتكار، والتطفيف في الكيل والميزان، فألف العلماء بسبب ذلك المؤلفات ليشاركوا في حل هذه المشكلة حلا إسلاميّا، ودعوا إلى النظر في مصالح العامة وفرض التسعيرات الجبرية عند اشتداد الغلاء، والضرب على أيدي المطففين والمحتكرين


“Telah terjadi ketimpangan ekonomi antara masyarakat umum dengan para al-zuhad. Kondisi memprihatinkan dan menyedihkan terjadi di mana-mana. Banyak terjadi kasus perampokan dan pencurian. Krisis berlangsung sangat dalam. Saat itu, banyak masyarakat yang menghendaki berlaku curang, menipu, rekayasa transaksi dan penimbunan. Banyak terjadi praktik kecurangan dalam takaran dan timbangan. Di tengah kondisi itu, para ulama yang kemudian tergugah menyusun karya-karya dalam rangka berpartisipasi untuk mengubah kondisi yang menyulitkan itu secara Islami, mereka menyerukan meninjau kembali penerapan kebijakan demi menjaga kemaslahatan umum dan memutuskan agar dilakukan kebijakan pengaturan harga secara paksa (tas’ir jabary) guna menghadapi kondisi krisis itu. Selanjutnya, para ulama bersuara agar ditegakkan supremasi hukum terhadap para pelaku yang mencurangi takaran dan timbangan, serta para penimbun barang pokok.” (Al-Thufi, al-Intisharat al-iIslamiyyah fi Kasyfi Syibh al-Nashraniyyah, [Beirut: DKI], Juz I, halaman 29).
 

Berangkat dari sini, maka kita semua mesti menyadari bahwa:

  1. Subsidi bukanlah kewajiban yang harus diberikan oleh pemerintah untuk masa jangka panjang. 
  2. Subsidi meniscayakan adanya target dan capaian. 
  3. Subsidi suatu saat punya akhir dan menghendaki dicabut ketika capaian itu sudah terpenuhi. 
  4. Subsidi meniscayakan adanya kebijakan pengawasan dan penegakan supremasi hukum yang mampu membawa perekonomian masyarakat pada kondisi normal kembali (equilibrum).
     

Permasalahannya di negara kita, mengapa subsidi senantiasa dijanjikan dan seringkali terlambat dalam menyikapinya? Buktinya, subsidi BBM baru dicabut karena alasan beban anggaran APBN telah mencapai 500 T setiap tahun, bukan? Wallahu a’lam.
 


Ustadz Muhammad Syamsudin, M.Ag, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim