Syariah

Trading Emas di Pasar Berjangka Komoditas menurut Hukum Islam

Kam, 15 Oktober 2020 | 15:00 WIB

Trading Emas di Pasar Berjangka Komoditas menurut Hukum Islam

Pada dasarnya, segala bentuk praktik muamalah adalah boleh asalkan tidak menerjang aturan yang sudah digariskan oleh syariat.

Hukum asal jual beli emas adalah boleh. Tukar-menukar emas dengan emas wajib memenuhi syarat taqabudl, tamatsul, dan hulul. Taqabudl adalah sepakat serah terima antara harga dan barang. Tamatsul adalah sepakat dalam kesamaan takaran dan timbangan. Dan hulul adalah diketahuinya jatuh tempo/masa pelunasan.

 

Bila jual beli itu dilakukan antara dua barang ribawi yang tidak sejenis (mukhtalifay al-jinsi), maka wajib memenuhi syarat taqabudl dan hulul.

 

Persoalannya adalah, bagaimana bila praktik jual beli emas ini dilakukan di pasar berjangka/pasar derivatif?

 

Sudah barang tentu sistem jual beli dalam pasar turunan ini adalah bahwa barang fisik emas tidak ditampilkan secara langsung, melainkan hanya berupa nilai-nilai indeks dari sebuah aset yang berjamin emas (underlying assets).

 

Oleh karena itu, dalam sistem perdagangan ini, sebuah keniscayaan bahwa harga dan barang adalah tidak bisa secara langsung diserahterimakan. Alhasil, tidak kontan itu adalah sebuah kelaziman.

 

Dalam Islam, setiap jual beli yang dilakukan dengan jalan penerimaan secara tidak langsung, ada jeda waktu antara penyerahan harga dan barang, maka jual semacam ini termasuk kelompok jual beli tempo (bai’ bi al-ajal), atau jual beli salam (akad pesan).

 

Karena sifat dan kadar barangnya juga diketahui, meski dalam bentuk catatan nilai indeks yang secara khusus berisi penjelasan karakteristik produk yang dijual, maka praktik jual beli barang yang diketahui karakteristiknya semacam ini disebut juga dengan istilah bai syaiin maushuf fi al-dzimmahi.

 

Bagaimana hukum semua itu, bila diterapkan pada  praktik jual beli emas di pasar berjangka? Inilah sisi menariknya. Sebab, banyak pihak yang menyatakan bahwa makna taqabudll dan hulul diartikan sebagai wajib kontan, dan langsung  serah terima harga dan barang di majelis akad.

 

Jika anda mengikuti konsepsi kontan semacam ini, maka itu adalah hak anda dan sudah barang tentu ada resiko dalam praktiknya. Salah satu resikonya, adalah anda kalau membeli emas, maka anda harus datang ke toko emas secara langsung.

 

Pihak toko pun juga wajib berlaku demikian, yaitu jika hendak membeli emas untuk kebutuhan menyetok barang yang diperdagangkan, maka mereka tidak boleh dengan memesannya dengan jalan menelepon, dan sejenisnya. Mereka harus datang sendiri ke tempat emas itu dibentuk dan dijadikan perhiasan (huliyyin mubah). Begitu emas itu selesai dicetak, maka pihak toko juga harus menyerahkan harganya secara langsung.

 

Sungguh betapa repotnya jika semua praktik ini harus dilakukan dan sepertinya hal itu tidak mungkin diterapkan oleh pihak pedagang yang menjual emas.

 

Pandangan Fiqih Mazhab Syafii terhadap Jual Beli Berjangka Komoditas Emas

Di dalam Mazhab Syafii, hukum utang emas dengan kembali emas, hukumnya adalah boleh tanpa adanya khilaf di kalangan ulama. Aturan mainnya, adalah bahwa emas yang diutang dengan emas yang dipakai melunasi utang, harus memeiliki kadar dan berat yang sama. Utang emas 1 kg, maka kembalinya juga emas 1 kg, tidak boleh lebih, dan tidak boleh kurang. Jika lebih di salah satu yang ditukarkan atau dikembalikan, maka tidak diragukan lagi bahwa kelebihan itu adalah masuk konsepsi akad riba.

 

Secara utang, riba tersebut disebut riba qardli, dan secara jual beli kontan maka riba tersebut merupakan riba al-fadhli. Namun, karena penyerahannya meniscayakan adanya tempo, maka secara jual beli, kelebihan di salah satu barang yang disertai tempo penyerahan adalah termasuk riba al-yadd, dan bila akad penyerahan itu diketahui waktunya dan terjadi pertambahan seiring adanya tenor yang baru, maka kelebihan itu disebut riba al-nasiah.

 

Di dalam akad utang emas, meniscayakan adanya fisik emas yang berganti, meskipun kadar dan ukurannya sama. Adanya pergantian fisik, menandakan adanya akad pertukaran (mu’awadlah) yang merupakan dasar dari akad jual beli (barter).

 

Pertukaran antara barang fisik, baik yang  sama jenisnya atau tidak sama jenisnya, dan dilakukan secara langsung di majelis akad, merupakan istilah  lain dari akad jual beli secara kontan (halan). Sementara itu, akad pertukaran barang fisik yang diselai dengan adanya jeda waktu (tempo), baik dengan jeda waktu sebentar atau lama, menandakan telah terjadi akad jual beli dengan tempo (bai’ bi al-ajal). Jika jeda waktu itu diketahui, maka termasuk jual beli kredit (nasiah). Alhasil, akad utang emas, adalah sama dengan akad jual beli tempo atau akad bai nasa’ (jual  beli kredit).

 

Akad jual beli tempo merupakan istilah lain dari akad perdagangan modern, yang dikenal sebagai akad perdagangan berjangka komoditi dan hukumnya adalah sah, selagi tidak ada unsur riba, gharar (spekulatif), maisir (judi) dan ghabn (kecurangan). Jadi, pada dasarnya, perdagangan berjangka (bai’ bi al-ajl), merupakan perdagangan yang diterima konsepnya oleh syariat.

 

Harga yang belum dibayarkan saat terjadinya akad dan saat barang itu diserahkan kepada pembeli, maka harga tersebut dalam kedudukan fiqihnya adalah merupakan harga yang diutang. Dan ini, berlaku pada jual beli tempo.

 

Sebaliknya, barang yang belum diserahkan saat terjadinya akad dan penyerahan harga (ra’su al-mal) kepada penjual, maka barang tersebut dalam kedudukan fiqihnya adalah menempati maqam barang yang diutang. Fiqih menyebutnya syaiin fi al-dzimmah (barang yang dijamin utang). Hal semacam ini berlaku pada akad jual beli salam (pesan).

 

Trading Emas dengan Features

Apabila terjadi transaksi pembelian komoditas emas di dalam pasar berjangka, sehingga para trader menyerahkan harganya terlebih dulu di saat emasnya masih tercatat dalam indeks, maka status emas tersebut adalah menempati derajat emas yang dijamin (emas fi al-dzimmah).

 

Akad jual beli sesuatu yang dijamin, adalah termasuk rumpun dari akad salam. Dalam istilah pasar berjangka komiditi, akad ini dikenal dengan istilah features, yaitu kontrak pembelian barang komoditi dengan harga yang diserahkan sekarang, dan barang yang akan diserahkan mendatang.

 

Hukum praktik trading features ini adalah boleh namun dengan catatan, yaitu:

  1. Harga emas dan segala ketentuan yang berkaitan dengan barang (emas), harus sudah disepakati sekarang, yaitu saat terjadinya transaksi.
  2. Uang (harga) wajib diserahkan saat transaksi itu disepakati, demi menghindari terjadinya praktik gharar (ketidakpastian) jadi atau tidaknya jual beli.
  3. Barang (emas) harus sudah bisa dijamin mengenai kadar, takaran atau beratnya saat kontrak itu disepakati bersama antara trader 1 dengan trader lainnya (pemilik emas)
  4. Apabila ketentuan 1, 2, 3 itu terpenuhi, maka praktik trading emas dengan features semacam, hukumnya adalah boleh dan hasil yang didapatkan adalah halal.
  5. Illat kebolehan praktik jual beli emas sebagaimana yang disampaikan di atas, yakni wajibnya taqabudl dan hulul adalah sudah termasuk yang terpenuhi.
  6. Apabila kadar dan berat emas yang diserahkan saat  waktu penyerahan itu terjadi, adalah berbanding  lurus dengan ketentuan harga terbaru (realtime) saat emas itu diserahkan, maka tak urung praktik semacam ini adalah masuk kategori riba al-yad sehingga trading features dengan ciri semacam, hukumnya adalah haram.
  7. Apabila waktu penyerahan emas itu (hulul al-ajal) diketahui, sementara harga emas mengikuti kondisi ketentuan harga terbaru (realtime) saat emas itu diserahkan, maka tidak diragukan lagi, bahwa praktik features semacam ini hukumnya adalah haram, sebab termasuk riba nasiah.
  8. Illat larangan melakukan praktik features sebagaimana yang digariskan pada poin 6 sampai dengan 7, adalah karena keberadaan unsur riba, yang diakibatkan tidak memenuhi kaidah wajibnya taqabudl dan hulul.

 

Trading Emas dengan Swap

Apabila seorang trader memutuskan menjual indeks komoditas emas yang sudah dikuasainya (emas fi al-dzimmah), maka seolah telah terjadi praktik akad jual beli utang dengan utang (bai’ al-dain bi al-dain) dalam bingkai akad salam (akad pesan). Akad jual beli semacam ini dalam pasar berjangka dikenal dengan istilah swap, yaitu kontrak penjualan barang dengan barang yang  diserahkan sekarang namun harga akan diserahkan di masa mendatang.

 

Terjadinya pengalihan tanggung jawab penguasaan barang dari trader 1 ke trader lainnya dengan rupa barang yang masih berstatus fi al-dzimmah (utang) semacam ini, dalam akad fiqih, adalah menempati derajat akad hiwalah (pengoperan tanggungan) dalam bingkai akad jual beli tempo (bai’ bi al-ajal).

 

Para fuqaha menggariskan, bahwa akad hiwalah ini adalah dibolehkan, asalkan memenuhi beberapa ketentuan sebagai berikut:

  1. li masis al-hajah (karena desakan kebutuhan), termasuk di dalam hal ini adalah karena faktor tuntutan jaman dan perkembangan teknologi,
  2. besaran tanggungan yang dialihkan itu harus diketahui dan terjamin kadarnya, serta
  3. objek yang dialihkan adalah tidak masuk rumpun objek yang dilarang diperjualbelikan dalam syariat.

 

Adapun, praktik bai’ bi al-ajal dengan objek trading berupaa indeks emas adalah dibolehkan, asalkan memenuhi beberapa kriteria yang  menjadi kebalikan dari kriteria trading emas dengan sistem features (salam) di atas, yaitu:

  1. Barang yang diperjualbelikan (indeks emas), harus sudah bisa diserahkan di majelis akad, saat kontrak itu terjadi.
  2. Harga beli indeks emas, juga harus sudah disepakati saat terjadinya kontrak dengan ketetapan harga terkini (realtime).
  3. Waktu penyerahan harga boleh  ditetapkan sekaligus di majelis akad, yaitu mengenai kapan kepastian waktu penyerahan tersebut terjadi, atau sebaliknya tidak ditetapkan.
  4. Apabila waktu penyerahan harga tidak ditetapkan di majelis akad, maka akad tersebut termasuk jual beli tempo.
  5. Apabila  waktu penyerahan harga itu ditetapkan, maka akad tersebut termasuk akad bai’ bi al-nasa.
  6. Akad jual beli tempo dengan objek trading berupa barang  ribawi, hukumnya adalah dibolehkan dengan syarat harga mengikuti saat kontrak itu disepakati.
  7. Akad jual beli nasa’ dengan objek trading berupa barang ribawi, hukumnya adalah dibolehkan dengan syarat harga tidak boleh lebih dari ketentuan yang disepakati saat terjadinya akad.
  8. Kelebihan pada harga yang terjadi saat waktu penyerahan harga di kemudian hari, melebihi harga yang disepakati saat terjadinya jual beli tempo, adalah  termasuk riba al-yad.
  9. Kelebihan pada harga yang terjadi saat waktu penyerahan harga yang sudah ditentukan di kemudian hari (‘inda hulul al-ajli), yang melebihi harga yang disepakati saat terjadinya kontrak, adalah  termasuk riba al-nasiah.
  10. Illat kebolehan praktek swap sebagaimana yang disampaikan  pada poin 1 sampai 7, adalah karena sudah memenuhi unsur taqabudl dan hulul.
  11. Illat larangan praktek swap dengan ciri yang ditunjuk pada poin 8 dan 9, adalah karena adanya praktik riba.

 

Pada dasarnya, segala bentuk praktik muamalah adalah boleh asalkan tidak menerjang aturan yang sudah digariskan oleh syariat. Ketentuan yang berlaku pada praktik jual beli barang ribawi adalah wajibnya taqabudl dan tamatsul, dengan ciri khas harga atau barang sudah disepakati ketetapan pertukarannya saat di majelis akad. Ketiadaan praktik muamalah, baik secara features maupun secara swap, dari memenuhi ketetapan pertukaran yang dibenarkan secara syariat, menjadikan hukum pertukaran itu sebagai yang diharamkan.

 

Agar tidak menerjang illat keharaman, maka ketentuan harga dan barang yang harus diikuti lewat praktik  swap maupun features di atas, adalah ketetapan harga dan barang (emas) saat terjadinya kontrak. Apabila ketentuan penyerahan di kemudian hari ternyata menunjukkan praktik sebaliknya, yaitu mengikuti harga realtime saat harga dan barang itu diserahkan di kemudian hari, maka baik praktik features maupun swap tersebut, hukumnya adalah haram karena illat riba al-yad dan riba nasiah. Wallahu a’lam bi al-shawab

 

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur