Syariah

Uang Muka Hangus Ketika Transaksi Batal dalam Kajian Fiqih Muamalah

Sel, 13 Juli 2021 | 11:00 WIB

Uang Muka Hangus Ketika Transaksi Batal dalam Kajian Fiqih Muamalah

Adapun ulama yang membolehkan uang muka dalam transaksi, adalah ulama dari kalangan Mazhab Hanbali.

Ada seseorang hendak membeli suatu barang (misalnya: rumah). Pembeli dan penjual melakukan tawar menawar harga. Akhirnya disepakati bahwa harga rumah tersebut adalah 100 juta dan disepakati pula bahwa batas akhir rumah tersebut jadi atau tidak dibeli adalah sampai tanggal X.


Sebagai tanda jadi, pihak penjual meminta kepada pembeli agar menyerahkan uang muka. Bila sampai batas waktu yang disepakati, pihak pembeli tidak melanjutkan akad yang sudah disepakati, maka akad jual beli tersebut batal. Uang muka menjadi milik penjual.


Sebaliknya, bila sampai batas waktu yang ditentukan ternyata akad jual beli tersebut terus berlanjut, maka uang muka menjadi bagian dari harga yang disepakati, yaitu 100 juta. 


Akad sebagaimana disebutkan ini dikenal dengan istilah bai’ urbun. Para ulama memberikan definisi mengenai bai’ urbun ini sebagai berikut:


بيع العربون هو أن يبيع الإنسان الشيء ويأخذ من المشتري مبلغاً من المال يسمى عربوناً لتوثيق الارتباط بينهما على أساس أن المشتري إذا قام بتنفيذ عقده احتسب العربون من الثمن، وإن نكل كان العربون للبائع


Artinya, "Bai urbun adalah jika ada seseorang menjual sesuatu, kemudian ia meminta dari pembeli sejumlah uang sebagai uang muka dengan tujuan dijadikan jaminan ikatan akad yang sudah dijalin oleh keduanya, dengan landasan bahwa jika pembeli memutuskan melanjutkan akad, maka uang muka tersebut diitung sebagai harga, namun jika pembeli membatalkan akad, maka uang muka tersebut milik penjual,” (Hisamuddin Afanah, Fiqhut Tajir Al-Muslim, [Baitul Muqaddas, Maktabah Ilmiyah, Cet. ke-1: 1426 H], halaman 89).


Bagaimana hukum melakukan bai’ urbun ini? Di sini para ulama berbeda pendapat. Ulama yang melarang dan menyatakan status haramnya bai urbun adalah jumhur fuqaha dari kalangan mazhab Hanafiyah, Malikiyah dan Syafiiyah. Ulama yang membolehkan, adalah dari kalangan Mazhab Hanbali. 


Landasan Dalil Ulama yang melarang Transaksi Urbun

Landasan dalil para ulama yang menyatakan bahwa bai’ urbun itu tidak boleh dilakukan adalah disandarkan pada sebuah hadits:


عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال: (نهى النبي - صلى الله عليه وسلم - عن بيع العربان) رواه أحمد والنسائي وأبو داود ومالك


Artinya, "Dari Amru bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata, “Nabi SAW telah melarang praktik jual beli urbun,” (HR Ahmad, An-Nasaiy, Abu Dawud, dan Malik).


Hadits ini disinyalir sebagai hadits dhaif dan mendapatkan komentar dari Syekh Ibnu Hajar Al-Asyqalani di dalam Kitab Talkhishul Habir, juz III, halaman 17, sebagai berikut:


وفيه راوٍ لم يسمَّ، وسُمِّي في رواية لابن ماجة ضعيفه عبد الله بن عامر الأسلمي وقيل هو ابن لهيعة وهما ضعيفان


Artinya, “Di dalam hadits ini terdapat perawi yang tidak disebut. Di dalam riwayat Ibnu Majah disebutkan bahwa penyebab dhaifnya hadits adalah karena keberadaan Abdullah bin Amir Al-Aslami. Ada juga yang menyebut bahwa rawi lemah tersebut adalah Ibnu Lahya’ah. Jadi, ada dua indikasi kedhaifan.” (Talkhishul Habir, juz III, halaman 17).


Apa yang disampaikan oleh Syekh Ibnu Hajar Al-Asyqalany di atas pernah mendapatkan bantahan dari penulis Nailul Authar sebagai berikut:


والأولى ما ذهب إليه الجمهور لأنّ حديث عمرو بن شعيب (نهى عن بيع العربان) قد ورد من طرق يقوي بعضها بعضا ولأنّه يتضمن الحظر وهو أرجح من الإباحة كما تقرر في الأصول


Artinya “Yang utama adalah pendapat yang disampaikan oleh jumhur ulama karena sungguh hadits Amru bin Syu’aib (bahwa rasul telah melarang bai urbun) adalah datang melalui banyak jalan yang saling menguatkan antara satu sama lainnya. Selain itu, hadits tersebut juga menyimpan makna peringatan terhadap praktik urbun sehingga merupakan yang paling unggul dibanding pembolehannya secara mutlak sebagaimana mengikut pada ketentuan yang terdapat dalam ilmu ushul.”


Adapun illat pelarangan bai’ urbun, masih menurut mushannif Nailul Authar Syarh Muntaqal Akhbar, adalah:


والعلة في النهي عنه اشتماله على شرطين فاسدين‏.‏ أحدهما شرط كون ما دفعه إليه يكون مجانا إن اختار ترك السلعة‏.‏ والثاني شرط الرد على البائع إذا لم يقع منه الرضا بالبيع‏‏


Artinya, "Illat pelarangan bai’ urbun adalah karena dalam transaksi urbun tersimpan adanya dua syarat yang fasid. Pertama, adalah syarat adanya harta yang harus diserahkan kepada penjual secara cuma-cuma khususnya jika terjadi pembatalan transaksi. Kedua, karena ada syarat pengembalian barang kepada penjual jika terjadi ketiadaan ridha pembeli,” (As-Syaukani, Nailul Authar).


Illat ini juga dikuatkan oleh keberadaan hadits lain yang melarang memakan harta orang lain secara batil, tanpa adanya unsur transaksi di dalammnya. Rasulullah SAW bersabda:


لَوْ بِعْتَ مِنْ أَخِيكَ ثَمَرًا فَأَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ فَلاَ يَحِلُّ لَكَ أَنْ تَأْخُذَ مِنْهُ شَيْئًا بِمَ تَأْخُذُ مَالَ أَخِيكَ بِغَيْرِ حَقٍّ


Artinya,“Jika engkau menjual suatu buah kepada saudaramu, lalu ditemukan adanya cacat pada buah tersebut, maka tidak halal bagimu mengambil suatu kompensasi dari saudaramu tanpa adanya hak.”


Hadits senada juga disampaikan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda:


أَرَأَيْتَ إِذَا مَنَعَ اللَّهُ الثَّمَرَةَ بِمَ يَأْخُذُ أَحَدُكُمْ مَالَ أَخِيهِ


Artinya,“Adakah kamu mengetahui bahwa Allah telah melarang jual beli buah dengan kompensasi berupa harta saudaramu?”


Syekh Muhammad Nabil At-Tikrity-salah satu ulama dari aswaja yang mengajar di Universitas Tikrit, Iraq-menyampaikan opini terhadap kedua hadits terakhir ini:


وهذا الحديث بروايتيه أصل في بيان ضابط حركة المال بين الناس، إذ لا بد أن تكون الحركة مقابل عوض يؤخذ، وبالتالي فإنْ غابَ العوضُ، وكان أخذ المال دون مقابل أو عوض، فالمعاملة من قبيل أخذ أموال الناس بالباطل، وهذا هو دليل الجمهور في التحريم، وليس الحديثين المشار إلى ضعفهما


Artinya, “Hadits ini dengan riwayatnya merupakan dasar utama yang menjelaskan batasan pergerakan harta di antara manusia, yaitu bahwa hendaknya dalam setiap perpindahan harta adalah harus disertai dengan adanya ‘iwadh (pengganti pertukaran) yang sebanding. Tanpa adanya iwadh yang sebanding, maka pertukaran merupakan pertukaran yang tanpa disertai nilai tukar yang sebanding, dan termasuk jenis muamalah memakan harta orang lain secara batil. Inilah dalil utama jumhur ulama yang memandang haramnya bai’ urbun, dan dari kedua hadits terakhir yang dijadikan landasan, tidak ada indikasi status kedhaifannya.”


Alhasil, berdasarkan keterangan di atas, yang dijadikan alasan pengharaman urbun dalam transaksi menurut tiga jumhur ulama mazhab adalah sebagai berikut:


1. Ada dua syarat dalam satu transaksi, di mana bila terjadi pembatalan transaksi, maka pihak penjual tidak mengembalikan uang muka yang diserahkan tanpa adanya akad pertukaran.


2. Praktik sebagaimana disebutkan di atas adalah merupakan bagian dari tindakan memakan harta orang lain secara batil.


Landasan Ulama yang Membolehkan Uang Muka

Adapun ulama yang membolehkan uang muka dalam transaksi, adalah ulama dari kalangan Mazhab Hanbali. Mereka beristidlal dengan menggunakan hadits sanad dari Sayyidina Umar bin Khathab, Sayyidina Abdullah bin Umar, Ibnu Sirin, Sa’id bin Musayyab, dan Nafi’ bin Abdi Al-Harits RA: 


أنه اشترى لعمر دار السجن من صفوان بن أمية بأربعة آلاف درهم فإن رضي عمر كان البيع نافذاً وإن لم يرض فلصفوان أربعمئة درهم


Artinya, "Sungguh Nafi bin Abd Al-Harits telah membelikan Umar sebuah rumah tahanan dari Shafwan bin Umayyah sebesar 4000 dirham (dengan syarat) jika Umar ridha, maka akad jual beli tersebut berlanjut. Namun jika tidak ridha, maka uang sebesar 400 dirham menjadi milik Shafwan.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz IV, halaman 176). 


Para ulama ini juga berhujah dengan sebuah hadits mursal, yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq di dalam Al-Mushannaf dan Zaid bin Aslam: 


سئل عن بيع العربان فأحله


Artinya, “Rasulullah SAW suatu ketika ditanya tentang jual beli dengan uang muka, maka beliau membolehkannya.” (Nailul Authar lis Syaukani, juz V, halaman 173).


Adapun illat pembolehan yang disampaikan oleh kalangan ini adalah sebagai berikut:


ومن المعلوم أن طريقة العربون، هي وثيقة الارتباط العامة في التعامل التجاري في العصور الحديثة، وتعتمدها قوانين التجارة وعرفها، وهي أساس لطريقة التعهد بتعويض ضرر الغير عن التعطل والإنتظار


Artinya,“Sebagaimana maklum diketahui bahwa transaksi urbun dipergunakan di banyak transaksi niaga era modern saat ini adalah semata sebagai jaminan keterikatan antara penjual dan pembeli secara umum. Banyak peraturan/undang-undang baru yang disusun atas dasar akad tersebut dan memberlakukannya secara umum, dan bahkan menjadi landasan penetapan ganti rugi yang ditimbulkan oleh pihak lain karena alasan penundaan dan menunggu.”


Alhasil, berdasarkan pendapat ulama yang menganggap bolehnya transaksi urbun ini, adalah dilandasi oleh illat ganti rugi (ta’widl) terhadap masa menunggu sehingga harta tidak bisa dijual ke pihak lain, atau karena terpaksa harta yang harus berhenti tak beraktivitas. 


Simpulan Hukum

Hukum jual beli rumah dengan disertai uang muka, yang mana uang muka itu kelak dimiliki oleh pihak penjual jika terjadi pembatalan akad, dapat dipilah sebagai berikut:


1. Haram. Ini adalah pendapat dari jumhur ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah.


2. Boleh. Ini adalah pen dapat dari kalangan Hanabilah. Wallahu a’lam bis shawab.


Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim.