Syariah

Perbedaan Pandangan Ulama Fiqih tentang Qunut Subuh

Sab, 7 April 2018 | 11:15 WIB

Perbedaan Pandangan Ulama Fiqih tentang Qunut Subuh

Perbedaan pendapat pada hal-hal tertentu dalam cabang fiqih adalah lumrah di kalangan ulama. (Ilustrasi: NU Online/Dok. PP Sirojuth Tholibin Brabo)

Keragaman Muslim Indonesia meniscayakan ragam pelaksanaan ibadah di masyarakat. Tak terkecuali dalam shalat. Dahulu, atau barangkali hingga saat ini, yang masih menjadi “pembeda” antargolongan Muslim adalah perkara doa qunut saat shalat Subuh. Tentu bagi kebanyakan kalangan Nahdliyin perbedaan qunut Subuh ini sudah familiar.
 
“Masjid yang di sana Subuhnya tidak pakai qunut. Kayaknya imam masjidnya dari kalangan anu.” Demikian kurang lebih ‘rasan-rasan’ yang biasa kita dengar.
 
Penyebab perbedaan qunut yang paling mencolok adalah beda pemahaman hadits dan cara qiyas, sebagaimana disebutkan Imam Ibnu Rusyd dalam Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid. Bagi kalangan mazhab Abu Hanifah, qunut hanya dilakukan kala shalat witir.
 

Mazhab Ahmad bin Hanbal menyebutkan kesunnahan qunut Subuh ini hanya pada momen nazilah, yaitu ketika umat muslim dilanda musibah. Sedangkan bagi kalangan bermazhab Syafi’i, seperti kebanyakan diamalkan di Indonesia, membaca doa qunut Subuh termasuk sunnah ab’adl, yang jika ditinggalkan maka dianjurkan melakukan sujud sahwi.
 
Para ulama kalangan mazhab Syafi’i menyandarkan pendapat perkara qunut ini salah satunya pada hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik sebagai berikut:
 
مَا زَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
 
Artinya: “Rasulullah SAW senantiasa berqunut di shalat fajar (shalat Subuh) sampai beliau meninggal dunia.” (HR. Ahmad)
 
Selain itu, pengamalan qunut Subuh ini juga dilakukan para sahabat, seperti Umar bin Khattab. Namun bagi sebagian ulama, hadits yang digunakan di atas masih perlu dipahami latar belakangnya serta perlu dibandingkan dengan hadits lain. Sebagaimana dikutip Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, berikut hadits perihal qunutnya Nabi di waktu Subuh yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
 
إنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ لَا يَقْنُتُ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ، إلَّا إذَا دَعَا لِقَوْمٍ، أَوْ دَعَا عَلَى قَوْمٍ
 
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW tidak berqunut ketika shalat fajar (shalat Subuh), kecuali ketika mendoakan kebaikan atau keburukan untuk suatu kaum.” (HR. Muslim)
 
Hadits Anas bin Malik yang menjadi hujjah untuk berqunut Subuh di atas dipahami ulama bukan sebagai doa, melainkan maksud qunut di sana adalah berdiri lebih lama dan membaca doa yang lebih umum. Kemudian terkait Umar bin Khattab yang berqunut saat shalat Subuh, dipahami sebagian ulama bahwa beliau melakukannya pada momen musibah dan perang (nazilah) kala itu. Demikian kurang lebih yang dicatat Ibnu Qudamah.
 

Imam Malik bin Anas dalam istilah fiqihnya membedakan perkara yang dianjurkan antara sunnah dan mustahab. Qunut menurut Imam Malik tergolong amalan yang mustahab, yaitu hal yang dianjurkan namun Nabi tidak mengamalkannya secara terus-menerus semasa hidup. Berdasarkan beberapa riwayat hadits, disebutkan bahwa Nabi pernah berqunut selama sekian hari, lantas beliau meninggalkannya.
 
Menurut Imam Malik pula, doa qunut hendaknya dilakukan sebelum ruku’ secara pelan (sirr), berbeda dengan mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal yang berpendapat bahwa qunut dibaca setelah ruku’.
 
‘Ala kulli hal, demikian beberapa hujjah yang menyebabkan beda pengamalan qunut Subuh di masyarakat. Kini perdebatan yang dulu memicu polemik di masyarakat ini tampak kian lunak, utamanya di masyarakat kota. Kalangan Nahdliyin yang biasa berqunut, biasa saja mengikuti jamaah Subuh yang tanpa qunut. Begitu pula kalangan yang tidak biasa berqunut, tidak keberatan membaca qunut dalam shalat mengikuti lumrahnya masyarakat.
 

Mengutip pendapat Imam Sufyan ats Tsauri, sebagaimana dikutip oleh Imam at Tirmidzi dalam Sunan at Tirmidzi terkait qunut:
 
إِنْ قَنَتَ فِي الفَجْرِ فَحَسَنٌ، وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ
 
“Jika seseorang ingin melakukan qunut di waktu Subuh, maka itu ‘hasan’ (baik, dan termasuk sunnah). Dan jika tidak berqunut, itu juga ‘hasan’.”
 
Wallahu a’lam. (Muhammad Iqbal Syauqi)