Ajie Najmuddin
Kontributor
Pelaksanaan ibadah haji tidak lepas dari dinamika politik yang terjadi di dunia. Berkaitan ibadah haji dan politik, ada sebuah peristiwa yang patut kita kenang, sebab dari peristiwa tersebut bangsa Indonesia semakin pengakuan dari negara lain, akan kemerdekaan yang telah diraih. Peristiwa yang dikenal dengan Misi Haji I Republik Indonesia tersebut terjadi pada tahun 1948, tiga tahun setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
Berdasar catatan tangan yang ditulis salah satu pelaku peristiwa bersejarah tersebut, KHR Mohammad Adnan mencatat, rombongan misi haji pertama terdiri dari KHR Mohammad Adnan sebagai ketua misi, Saleh Su’ady (sekretaris), H Syamsir Sutan Rajo Ameh (bendahara) dan Ismail Banda (anggota).
Ketua misi, Den Kaji Adnan, begitu panggilan akrabnya, merupakan orang asli Solo. Ia adalah anak Tumenggung Tafsir Anom V, seorang penghulu Keraton Surakarta juga penasihat raja di bidang keagamaan Islam. Kiai Adnan juga tercatat, pernah masuk dalam jajaran Syuriyah PBNU di era Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari, di tahun 1940-an.
Bagi Kiai Adnan, pergi ke Mekkah ini bukanlah yang pertama kalinya, sebab sebelumnya pada tahun 1908 dan 1927, ia pernah berangkat ke Tanah Suci. Pada kesempatan pertama, ia dikirim ayahnya ke Mekkah untuk memperdalam ilmu agama Islam di Madrasah Darul Ulum dan berguru kepada Kiai Mahfud Tremas, Kiai Idris, Syaikh Ahmad Al Minangkabawi dan Syekh Syatho.
Ketika ia mendapat tugas untuk berangkat ke Makkah tersebut, Den Kaji yang juga arsitek Masjid Tegalsari dan Al-Muayyad Mangkuyudan, tengah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Islam Tinggi.
Tawaran untuk memimpin misi ke Arab Saudi ini, berawal dari kedatangan Menteri Agama saat itu, KH Masjkur bersama Syamsir ke rumah Adnan di daerah Kauman Solo. Kemudian di lain kesempatan, Kiai Adnan juga bertemu dengan Presiden dan Wakil Presiden RI, Soekarno-Hatta.
Bung Karno sembari memberikan sebilah keris berhulu emas kepada Adnan untuk dihadiahkan kepada Raja Saudi, juga memberikan pesan: “Beri penerangan yang betul kepada warga Indonesia di sana dan sampaikan rasa terima kasih rakyat dan pemerintah Indonesia kepada rakyat dan pemerintah Arab Saudi,”
Sedangkan Bung Hatta menitipkan pesan: “Kita harus meningkatkan perjuangan diplomatik ke negara-negara Timur Tengah, termasuk Arab Saudi karena negara-negara itu kita anggap penting. Dalam perjuangan kita, berdoalah kepada Allah agar perjuangan kita menang,” (Abdul Basit Adnan, 1977)
Akhirnya berbekal uang Rp3.500 per orang, perjalanan tim misi haji tersebut dimulai pada tanggal 26 September 1948 pukul 02.00 WIB, berangkat dari Pelabuhan Udara Maguwo Yogyakarta menuju ke Bangkok dengan menggunakan pesawat carteran milik Pacific Overseas Airlines Service (POAS). Dari Bangkok, mereka berganti pesawat KLM menuju ke barat, ke Kalkuta (India) dan Karachi (Pakistan) sebelum turun di Kairo (Mesir).
Kibarkan Bendera
Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, pada tanggal 6 Oktober, sampailah rombongan di Pelabuhan Udara Farouk Kairo. Setibanya di Mesir, mereka dijemput sejumlah pegawai Perwakilan Indonesia di sana. Di Kairo, rombongan hanya singgah semalam untuk kemudian meneruskan perjalanan ke Jeddah untuk menemui Kementerian Luar Negeri Arab Saudi, di sana mereka diterima sebagai tamu negara.
Setelah urusan dengan Kemenlu Arab Saudi beres, mereka tak membuang-buang waktu dan langsung menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji sekaligus mengunjungi masyarakat Indonesia yang ada di sana.
Misi ini penting, mengingat pihak Belanda sebelumnya juga sudah mengirim orang-orang mereka dalam rombongan misi haji yang diketuai Ahmad Bahmid dan misi diplomatik yang dipimpin Hamid Al-Qodri. Di Makkah, Belanda melakukan propaganda di kalangan masyarakat Indonesia di sana, dengan mengatakan Republik Indonesia sebagai “kaum ekstremis” dan pemerintahannya tidak sah.
Rombongan misi haji RI kemudian mendatangi perkumpulan para pemuda Indonesia di Umuddud dan Jarwal. Mereka disambut dengan penuh semangat, disertai pekik “merdeka!” yang terus diucapkan, seakan mereka memuntahkan perasaan yang sudah lama dipendam. Pada pertemuan tersebut, juga diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Tak lupa mereka juga menemui beberapa tokoh dari Indonesia yang telah bermukim di sana seperti Syekh Jamil Aceh, Bustami Banjar dam Sayid Alwi Idrus. Semuanya, menekankan perlunya agar mendukung kemerdekaan Indonesia yang sudah diproklamirkan, tidak hanya secara fisik akan tetapi juga secara rohani. Dan di Makkah, pada waktu musim haji itulah, dukungan rohani diyakini akan lebih kuat.
Pada tanggal 15 Oktober, Rombongan mendirikan kemah di Mina berdampingan dengan kemah-kemah jajaran Korps Diplomatik negara-negara Islam seperti Syiria, Lebanon dan Pakistan. Ditinjau dari kacamata sekarang, ini tampaknya biasa saja, tetapi di masa Republik Indonesia yang masih dalam tahap survival waktu itu, disejajarkan dengan negara lain yang sudah lama diakui sebagai negara berdaulat mempunyai arti tersendiri.
Kemudian, pada tanggal 18 Oktober 1948 bertepatan dengan 8 Zulhijjah 1367 H, tibalah pada puncak acara ibadah haji. Rombongan misi menuju ke Arafah untuk melaksanakan wuquf. Di padang Arafah, peristiwa monumental pun terjadi, saat rombongan misi memancangkan bendera Merah Putih.
Di Jabal Rahmah, ketua misi memimpin doa: Labbaik! Allahumma Labbaik! Ya, Allah! Kami datang ke hadapan-Mu, untuk memohon. Berikan kami, Bangsa Indonesia, kemenangan dalam menegakkan kemerdekaan. Agar kami dapat terlepas dari belenggu penjajahan untuk sekarang dan seterusnya.
Selain ke Makkah, mereka juga singgah di Kairo, Mesir. Selama 13 hari di negeri para Fir’aun itu, mereka menemui para tokoh pejabat dan ulama, dengan maksud yang sama, mencari dukungan perjuangan bangsa Indonesia.
Selama beberapa bulan berada di Makkah dan negara lainnya, rombongan misi haji memanfaatkan waktu dan kesempatan sebaik-baiknya untuk melaksanakan tugas, dengan memberikan penerangan seluas-luasnya kepada bangsa lain, mengenai perjuangan bangsa Indonesia agar mendapat dukungan dari mereka.
Tak lupa, mereka melakukan perjuangan rohani, dengan mendatangi beberapa tempat yang mustajabah, untuk memanjatkan doa sehingga diharapkan rahmat Allah s.w.t turun untuk membantu suksesnya perjuangan bangsa.
Tiba di Tanah Air
Setelah misi selesai, kini tibalah saat pulang ke Tanah Air. Sayangnya, perjalanan mereka untuk kembali tidaklah mudah. Diawali dengan perjalanan yang tertahan di Bangkok selama sebulan. Kemudian, pesawat yang mereka tumpangi dari Bangkok menuju ke lapangan terbang Padang, terpaksa mendarat di Pekanbaru karena cuaca buruk.
Situasi ini ditambah dengan keadaan yang terjadi di Indonesia, di mana pada Desember 1948 Belanda melakukan Aksi Militernya yang kedua. Keadaan ini memaksa Adnan dan kawan-kawan yang sudah berada di Sumatra, ikut mengungsi selama beberapa hari ke Guguk, yang jaraknya sekitar 25 km dari Bukittinggi.
Setelah keadaan dirasa aman, maka memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya masing-masing. Begitu pula Adnan, ia ingin secepatnya kembali ke Surakarta. Terlebih dahulu, mereka mesti ke kota Padang, untuk kemudian bertolak menggunakan pesawat sipil KLM menuju ke Jakarta. Adnan kemudian pulang dengan menumpang konvoi Belanda sampai di Manahan dan meneruskan perjalanan ke Kauman dengan naik andong.
Demikianlah, sekelumit sejarah perjalanan misi haji pertama Republik Indonesia tersebut. Perjuangan mereka yang begitu panjang dan penuh rintangan tersebut, kiranya dapat menjadi catatan sejarah dan memberi semangat untuk generasi berikutnya.
Ajie Najmuddin, penulis buku Menuju Satu Abad NU
Referensi
Abdul Basit Adnan, Prof KHR Mohammad Adnan: Untuk Islam dan Indonesia (2003)
Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup KH A Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar (1957)
Berita Nahdlatoel Oelama edisi 15 April 1936/1354 H
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menghadapi Ujian Hidup dengan Ketakwaan
2
Khutbah Jumat: Menghindari Buruk Sangka kepada Tuhan dan Sesama
3
Ini Link Download Logo Hari Santri 2024
4
Khutbah Jumat: Larangan Bekerja Sama dalam Kemaksiatan
5
Khutbah Jumat: Mari Memuliakan Tamu
6
Timnas Garuda, Bahrain, dan Politik Timur Tengah
Terkini
Lihat Semua