Kisah pertengkaran karena berebut harta sudah banyak kita jumpai. Tapi kali ini aneh: mereka berselisih karena sama-sama menolak harta.
M. Tatam Wijaya
Kolomnis
Dalam sejarah umat manusia selalu ada kisah teladan yang bernilai luhur. Salah satunya kisah dua orang pemilik harta yang tak merasa memiliki hartanya. Mereka seakan tak membutuhkan perkara dunia. Salah satu alasan mereka adalah takut bila harta diterimanya syubhat. Apalagi sampai haram. Lebih lanjut kisah itu menggambarkan bagaimana dua orang pria yang sama-sama menolak untuk memiliki bejana yang mengandung emas di dalamnya. Masing-masing mengira bahwa bejana itu bukan miliknya, melainkan milik kawannya. Akhirnya, seorang hakim yang mengadili perkara keduanya menetapkan sebuah keputusan yang unik. Seperti apa keunikannya, dapat disimak dalam hadits riwayat Abu Hurairah.
Melalui hadits itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisahkan dua orang pria yang bertransaksi jual beli sebidang tanah. Setelah bertransaksi, si pembeli mendapati sebuah bejana berisi emas di tanah yang dibelinya. Namun, keadaan keduanya sungguh mengherankan. Biasanya, kondisi demikian membuat dua pihak bersengketa. Masing-masing ingin mendapatkan emas. Mengklaim bahwa itu miliknya. Pembeli merasa, emas itu ada di tanah yang telah dibelinya. Begitu pula si penjual merasa hanya menjual tanah. Tidak termasuk emas yang ada di dalamnya.
Tidak mengherankan sengketa seperti itu terjadi karena kecintaan manusia terhadap dunia. Dan kecintaan itu tertanam dalam setiap jiwa manusia. Dalam kaitan ini, Allah telah berfirman, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga),” (QS Ali ‘Imrân [3]: 14).
Akibat kecintaan itu tak sedikit di antara mereka yang sampai berani terlibat perselisihan, pertengkaran, dan permusuhan. Bahkan, tak jarang pula mereka yang menghalalkan segala cara. Termasuk pertumpahan darah dan persengketaan demi menguasai harta yang ada di tangan orang lain.
Allah telah mengabarkan penyakit yang satu ini. Yaitu penyakit makan harta orang lain dengan cara batil. Wahyu-Nya telah sampai kepada para pengidapnya. Padahal, mereka penegak syariat-Nya, Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang lain dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, (QS al-Taubah [9]: 34).
Tak diragukan lagi, kedua pria di atas termasuk orang saleh dan wara‘. Dinding keimanan, ketakwaan, dan kesalehan mereka sangat kuat berada di balik kezuhudan mereka terhadap harta. Terlebih jika status harta itu haram dan tidak jelas pemiliknya. Orang-orang takwa betul-betul mengetahui bahwa harta haram itu akan membinasakan harta yang halal, mengundang murka, dan siksa Ilahi. Dan yang paling berbahaya adalah menjadi sebab pemiliknya masuk api neraka. Belum lagi orang-orang yang dirampas hartanya akan mengambil kebaikan orang-orang yang merampas sebanyak harta yang dirampasnya.
Selain keadaan kedua pria di atas terbilang aneh, keadaan hakim yang mengadili perkara mereka juga lebih aneh dan terbilang langka. Sebelum memberi keputusan, ia menanyakan keturunan keduanya. Seorang mengaku memiliki anak laki-laki, sedangkan yang satu mengaku memiliki anak perempuan. Kemudian, sang hakim memutuskan agar kedua anak itu dinikahkan, dan pernikahannya dibiayai dari harta yang mereka perselihkan kepemilikannya. Sang hakim seakan ingin menyatukan dua keluarga dengan pernikahan putra-putri mereka. Selain kita tahu bahwa penikahan di antara orang-orang yang baik akan memperkuat tali keimanan di antara mereka dan kian meneguhkan hubungan orang-orang saleh. Suami istri yang saleh besar kemungkinan melahirkan turunan yang saleh.
Demikian kisah yang disarikan dari hadits riwayat al-Bukhari (no. 3472) dan Muslim (no. 1721). Dari kisah di atas, dapat dipetik sejumlah pelajaran, di antaranya:
- Hadis ini menginformasikan bahwa pada umat dan syariat terdahulu sudah disyariatkan transaksi jual-beli. Berbeda dengan asumsi para ulama Malikiah yang menyebutkan masyarakat kuno belum mengenal jual-beli.
- Dalam setiap zaman dan generasi selalu ada orang-orang saleh dan takwa yang mementingkan harta dan makanan yang halal, serta menjauhi harta dan makanan haram.
- Disyariatkan meminta keputusan hukum kepada ahli ilmu yang dipandang mampu memberikannya.
- Industri atau pembuatan alat-alat rumah tangga sudah dikenal sejak zaman dahulu kala. Contohnya, dalam kisah di atas sudah ada bejana yang berisi emas di dalamnya.
- Ketika seseorang menemukan harta yang terpendam dan mungkin diketahui pemiliknya serta waktu terpendamnya dimungkinkan belum lama, maka hukumnya adalah hukum barang temuan. Ia harus mencari pemiliknya dan menyerahkannya. Namun, apabila waktu terpendamnya sudah lama dan pemiliknya tidak mungkin diketahui, maka hukumnya adalah hukum barang temuan (rikâz) yang menjadi milik orang menemukannya dikurangi seperlima zakat darinya. Wallahu a’lam. (Lihat: Umar Sulaiman al-Asyqar, Shahih al-Qashash al-Nabawi, [Oman: Darun Nafais], 1997, Cetakan Pertama, hal. 267).
Penulis: M. Tatam Wijaya
Editor: Mahbib
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menjadikan Diri Pribadi Taat melalui Khutbah dan Shalat Jumat
2
Khutbah Jumat: Anjuran Berbakti kepada Orang Tua dalam Islam
3
Khutbah Jumat: Inspirasi Al-Fatihah untuk Bekal Berhaji ke Baitullah
4
Apa Itu Dissenting Opinion dan Siapa Saja Hakim yang Pernah Melakukannya?
5
Harlah Ke-74: Ini Asas, Tujuan, dan Lirik Mars Fatayat NU
6
Kajian Lengkap Kriteria Miskin bagi Pekerja dalam Bab Zakat
Terkini
Lihat Semua