Hikmah

Nasihat Sayyidina Luqman al-Hakim untuk Anaknya

Sen, 15 April 2019 | 10:30 WIB

Dalam kitab al-Zuhd, Imam Ahmad bin Hanbal mengumpulkan beberapa nasihat Sayyidina Luqman al-Hakim untuk anaknya. Berikut dua dari sekian banyak nasihatnya:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ، حَدَّثَنَا أبِي، حَدَّثَنَا سَيَّارٌ، حَدَّثَنَا جَعْفَرٌ، عَنْ مَالِكٍ يَعْنِي ابْنَ دِينَارٍ قَالَ: قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ: يَا بُنَيَّ، اتَّخِذْ طَاعَةَ اللَّهِ تِجَارَةً تَأْتِكَ الْأَرْبَاحُ مِنْ غَيْرِ بِضَاعَةٍ

Diceritakan oleh Abdullah, dari ayahku, dari Sayyar, dari Ja’far, dari Malik, yaitu Ibnu Dinar, ia bekata: ‘Luqman berkata pada anaknya: “Wahai anakku, jadikan ketaatan kepada Allah sebagai perniagaan, maka keuntungan akan mendatangimu tanpa modal barang dagangan.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 64)

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ، حَدَّثَنَا أبِي، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، أَنْبَأَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ وَاسِعٍ قَالَ: كَانَ لُقْمَانُ عَلَيْهِ السَّلَامُ يَقُولُ لِابْنِهِ: يَا بُنَيَّ، اتَّقِ اللَّهَ، وَلَا تُرِ النَّاسَ أَنَّكَ تَخْشَى اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ؛ لِيُكْرِمُوكَ بِذَلِكَ، وَقَلْبُكَ فَاجِرٌ

Diceritakan oleh Abdullah, dari ayahku, dari Yazid bin Harun, menceritakan Abu al-Asyhab, dari Muhammad bin Wasi’, ia berkata: Luqman al-Hakim as berkata pada anaknya: “Wahai anakku, bertakwalah kepada Allah, dan jangan tunjukkan pada manusia bahwa kau takut kepada Allah ‘azza wa jalla karena (mengharap) mereka memuliakanmu dengan itu, sedangkan hatimu (mudah) terhanyut.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 64)

****

Bicara soal Sayyidina Luqman al-Hakim memang tidak ada habisnya. Dari mulai perbedaan pendapat ulama tentang kenabiannya, sampai asal-usulnya. Dalam riwayat Sayyidina Ibnu Abbas (3-68 H), Luqman berasal dari Ethiopia. Menurut riwayat Sayyidina Sa’id bin Musayyab (15-94 H) dan Jabir bin Abdullah (16-78 H), ia berasal dari Nubia, Mesir atau Sudan. Ia berkulit hitam, berhidung pesek, pendek, dan berbibir tebal, menurut sebagian besar riwayat. (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Riyadl: Dar Thayyibah, 1999, juz 6, h. 333)

Sayyidina Luqman adalah seorang bijak bestari. Bukti bahwa semua orang punya peluang yang sama menjadi kekasih Tuhan, tanpa memandang warna kulit, latar belakang, dan muasal kelahirannya. Ia tidak sekedar memberi inspirasi, tapi inspirasi itu sendiri. Jejaknya terus hidup, mengajarkan semangat pada generasi setelahnya, terutama orang-orang yang berkeadaan sepertinya. Dalam satu riwayat, ketika seorang berkulit hitam datang, Sayyidina Sa’id bin Musayyab berkata:

لا تحزن من أجل أنك أسود، فإنه كان من أخير الناس ثلاثة من السودان: بلال، ومهجع مولى عمر بن الخطاب، ولقمان الحكيم، كان أسود نوبيا 

“Jangan bersedih karena kau berkulit hitam. Karena sesungguhnya ada tiga manusia terbaik (berkulit hitam) dari Sudan: Bilal, Mahja’ maula (budak) Umar bin Khattab, dan Luqman al-Hakim, ia orang kulit hitam dari Nubia.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, juz 6, h. 333)

Seorang budak yang tidak memiliki kebebasan dan hak menentukan hidupnya, bisa menjadi orang saleh yang bijaksana. Kenapa kita yang dilahirkan merdeka, dengan segala kemudahannya, kadang tidak menjadi apa-apa. Hanya diingat oleh sebagian kecil keluarga dan teman, yang kemudian perlahan-lahan dilupakan orang-orang, sedangkan Sayyidina Luqman, dari masih berstatus budak, telah menunjukkan kebijaksanaannya. Artinya, di sela-sela keterbatasannya sebagai budak, ia meluangkan waktu untuk belajar, meluaskan kelapangan pikiran dan hatinya.

Dua nasihatnya di atas adalah bukti kecerdasannya. Ia mampu menyederhanakan pengetahuan berlevel tinggi agar dimengerti anaknya. Kita asumsikan “bunayya—anakku” di sini adalah anak kecil atau remaja, yang pemahamannya terhadap sesuatu belum sempurna. Dengan menggunakan diksi “tijârah—perniagaan”, ia sedang menanamkan benih ketulusan di hati anaknya, bahwa untuk permulaan, anggaplah ketaatan kepada Allah sebagai perniagaan, dan kau akan mendapatkan keuntungan tanpa mengeluarkan modal. Seiring berjalannya waktu dan pengalaman hidup (berniaga sesama manusia), perlahan-lahan ia akan menyadari tidak ada mitra niaga yang sebaik Allah subhanahu wa ta’ala.

Di kalimat berikutnya, Sayyidina Luqman mengatakan, “maka keuntungan akan mendatangimu tanpa modal barang dagangan”. Kalimat ini mengandung dua hikmah penting. Pertama, penguat benih ketulusan yang telah ditanamkan. Kalimat, “tanpa modal barang dagangan”, merupakan proses pengajaran agar tidak terlalu terikat dengan sifat kebendaan. Mudahnya begini, ketika seseorang berniaga dengan modal, ia mengharapkan keuntungan yang lebih dari modal yang dikeluarkannya, jika gagal ia akan diselimuti kekecewaan. Berbeda dengan perniagaan yang iming-iming keuntungannya tanpa mengeluarkan modal. Orang yang melakukannya tidak akan berhitung untung-rugi.

Kedua, ajaran untuk berprasangka baik kepada Tuhan (husnudhan), bahwa berbisnis dengan Tuhan tidak mungkin gagal. Karena sebenarnya Tuhan telah memberikan banyak modal kepada kita, dari mulai kehidupan yang tidak pernah diminta, hingga pengetahuan bahwa setiap yang bernyawa pasti mati. Ini menunjukkan pentingnya arti kehidupan dan pentingnya berbuat sesuatu dalam hidup dan memaknainya. Jadi, gagal dan tidaknya tergantung prasangka kita kepada Tuhan sebagaimana firmanNya (hadits qudsi): “Anâ ‘inda dhanni ‘abdî bî—Aku sesuai persangkaan hamba-Ku kepada-Ku.”

Di nasihat yang kedua, Sayyidina Luqman menginginkan anaknya untuk menjadi orang yang bertakwa. Menariknya, nasihat tersebut disertai dengan peringatan, bahwa kebaikan sangat dekat dengan riya dan ujub. Maka, Sayyidina Luqman meminta anaknya untuk menyembunyikan ketakwaannya kepada Allah agar tidak sampai dimuliakan dan dipuji. Sebab, hati manusia itu sangat rapuh, mudah tertarik dan benci atas sesuatu, dan mudah terhanyut dan terbuai akan sesuatu. Sebagai permulaan, cara teraman menghindari pujian adalah menyembunyikan amal baik dari orang lain.

Karena itu, sangat penting bagi kita untuk menasihati diri kita sendiri sebelum menasihati orang lain. Untuk menjadi penasihat dan orangtua yang baik seperti Sayyidina Luqman, kita harus memantaskan diri terlebih dahulu dengan belajar. Karena dengan pengetahuan, kita bisa memilih kata yang paling baik untuk menasihati. Jika Sayyidina Luqman saja, yang tidak tumbuh di lingkungan terbaik bisa menjadi orang saleh dan bijak. Tidak ada alasan bagi kita, yang tidak pernah menjadi budak, tidak bisa melakukannya. Benar, bukan?

Wallahu a’lam...


Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.