Empat Cara Mengetahui Hadits Palsu
NU Online · Jumat, 5 Januari 2018 | 01:08 WIB
Apapun motifnya, menyampaikan hadits palsu, apalagi membuatnya, tidak dibolehkan dalam Islam karena Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, kelak posisinya di neraka,” (HR Ibnu Majah). Dalam riwayat lain disebutkan, “Siapa yang menyampaikan informasi tentangku padahal dia mengetahui informasi itu bohong, maka dia termasuk pembohong,” (HR Muslim).
Mahmud Thahan dalam Taysiru Musthalahil Hadits menjelaskan dua cara pemalsu hadits beroperasi. Kedua cara tersebut adalah:
Artinya, “Adakalanya pemalsu hadits membuat redaksi hadits sendiri, kemudian memalsukan sanad dan meriwayatkannya. Terkadang dengan cara mengambil kata-kata bijak dari orang lain, kemudian membuat sanadnya.”
Menurut Mahmud Thahan ada empat cara yang bisa digunakan untuk mengetahui hadits itu shahih atau bukan. Keempat cara tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, pengakuan dari pemalsu hadits itu sendiri. Misalnya, Abu ‘Ismah Nuh bin Abu Maryam pernah mengaku bahwa ia permah memalsukan hadits terkait keutamaan berapa surat dalam Al-Qur’an. Hadits palsu ini ia sandarkan kepada sahabat Ibnu Abbas RA.
Kedua, menelusuri tahun kelahiran orang yang meriwayatkan hadits dengan tahun wafat gurunya yang disebutkan dalam silsilah sanad. Kalau perawi hadits itu lahir setelah wafat gurunya, maka hadits tersebut bisa dikategorikan hadits palsu karena tidak mungkin keduanya bertemu.
Ketiga, melihat ideologi perawi hadits. Sebagian perawi hadits ada yang fanatik dengan aliran teologi yang dianutnya. Misalnya, perawi hadits Rafidhah yang sangat fanatik dengan ideologinya, maka hadits-hadits yang disampaikannya terkait keutamaan ahlul bait perlu ditelusuri kebenarannya.
Keempat, memahami kandungan matan hadits dan rasa bahasanya. Biasanya hadits palsu secara tata bahasa tidak bagus dan terkadang maknanya bertentangan dengan Al-Qur’an.
Demikianlah empat cara yang biasa digunakan dalam menulusuri keabsahan sebuah hadits. Apabila menemukan sebuah hadits yang tidak ditemukan dalam kitab hadits yang otoritatif, keempat cara tersebut bisa digunakan untuk membuktikan apakah hadits itu benar-benar dari Rasulullah atau tidak. Wallahu a’lam. (Hengki Ferdiansyah)
Terpopuler
1
Jamaah Haji yang Sakit Boleh Ajukan Pulang Lebih Awal ke Tanah Air
2
Khutbah Jumat: Menyatukan Hati, Membangun Kerukunan Keluarga Menuju Hidup Bahagia
3
PBNU Buka Suara Atas Tudingan Terima Aliran Dana dari Perusahaan Tambang di Raja Ampat
4
Fadli Zon Didesak Minta Maaf Karena Sebut Peristiwa Pemerkosaan Massal Mei 1998 Hanya Rumor
5
Presiden Pezeshkian: Iran akan Membuat Israel Menyesali Kebodohannya
6
Israel Serang Militer dan Nuklir Iran, Ketum PBNU: Ada Kegagalan Sistem Tata Internasional
Terkini
Lihat Semua