Ilmu Tauhid

Aliran Mu’tazilah: Pemikiran dan Sanggahannya

Rab, 3 November 2021 | 23:00 WIB

Aliran Mu’tazilah: Pemikiran dan Sanggahannya

Aliran Mu’tazilah: Pemikiran dan Sanggahannya. (Ilustrasi: taree5com.com)

Sekte Mu’tazilah adalah sebuah sekte yang mulai berkembang di awal abad kedua Hijriah. Sekte ini diajarkan oleh Washil bin Atha’, seorang murid al-Hasan al-Bashri yang memilih untuk menyimpang dari ajaran guru-gurunya. Di kemudian hari, sekte yang ia dirikan dijuluki dengan sekte Mu’tazilah yang diambilkan dari lafadz i’tazal (menyendiri/menyimpang) karena telah menyimpang dari paham mayoritas umat Islam.

 

Pada mulanya, Mu’tazilah yang diajarkan Washil bin Atha’ hanya menyimpang dengan penetapan empat kaidah saja, yaitu:

 

Pertama, menafikan semua sifat dzat Allah yang telah termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadits seperti ilm, qudrah, iradah, dan sesamanya. Misalnya, mereka menganggap ilmu Allah tidak mungkin Qadim (dahulu) karena seandainya ilmu Allah dahulu niscaya akan ada dua hal yang dahulu yaitu Allah dan ilmu Allah. Hal ini mustahil karena tidak mungkin ada yang menyamai Allah dalam sifat Qadim (dahulu).

 

Al-Qadhi Abdul Jabbar menambahkan, “Seandainya Allah memiliki ilmu niscaya Allah dapat diukur sejauh mana ilmunya sebagaimana manusia yang dapat diukur tingkat keilmuannya. Dan seandainya Dia memiliki ilmu maka ilmu tersebut akan sirna karena tidak ada yang abadi kecuali Dzat Allah. Seandainya Allah memiliki ilmu niscaya Dia akan membutuhkan anggota tubuh sebagai tempat menyimpan ilmu sebagaimana manusia yang membutuhkan otak dan hati sebagai tempat menyimpan ilmu. Seandainya Allah membutuhkan ilmu-Nya yang ia ciptakan untuk mengetahui niscaya Ia adalah Dzat yang membutuhkan kepada ciptaan-Nya dan ini semua tidak mungkin secara akal.” Walhasil, mayoritas sekte Muktazilah meyakini Allah mengetahui dengan dzatnya yang abadi tanpa melalui perantara ilmu (al-Qadhi Abdul Jabbar, al-Mukhtashar fi Ushul ad-Din, Kairo: Maktabah al-Wahbah Kairo, 1996, h. 212).

 

Pendapat ini disanggah oleh Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa ilmu Allah adalah bersifat Qadim (dahulu) karena seandainya ilmu Allah tidak bersifat Qadim niscaya Allah awalnya tidak mengetahui kemudian menciptakan pengetahuan sebagaimana manusia yang terlahir bodoh tidak mengetahui apa-apa kemudian ia belajar dan memiliki ilmu. Hal ini tentu tidak mungkin karena pendapat Mu’tazilah ini menetapkan sifat Naqish (kurang) kepada Allah.

 

 

Kedua, menetapkan bahwa kehendak Allah hanya seputar perkara yang baik menurut akal manusia. Mereka meyakini bahwa Allah tidak boleh menghendaki keburukan kepada makhluk-Nya karena hal tersebut bertentangan dengan sifat Maha Penyayang dan Maha Pengasih yang dimiliki Allah. Selain itu, Allah juga harus mengutus nabi dan rasul sebagai pengingat manusia atas perintah dan larangan Allah serta balasan yang mereka dapatkan di hari kiamat. Sedangkan seluruh keburukan yang dilakukan ataupun menimpa manusia adalah akibat dari perbuatan mereka tanpa sedikit pun ada campur tangan dari Allah.

 

Al-Qadhi Abdul Jabbar menambahkan, “Allah hanya menghendaki perkara yang baik karena Dia telah melarang seluruh perkara maksiat. Bagaimana mungkin Allah marah dan menghukum orang-orang yang bermaksiat di hari kiamat sedangkan Dia sendirilah yang menghendaki perbuatan maksiat tersebut terwujud selama di dunia? Bagaimana mungkin Allah mengutus para nabi dan rasul agar menyeru manusia meninggalkan maksiat sedangkan maksiat tersebut Allah sengaja wujudkan sendiri?” (al-Qadhi Abdul Jabbar, al-Mukhtashar fi Ushul ad-Din, 1996: 233).

 

Pendapat ini disanggah oleh Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa seluruh takdir yang baik dan buruk adalah dari Allah serta perbuatan makhluk tidak lepas dari izin kehendak-Nya. Seandainya ada perbuatan maksiat yang tidak dikehendaki Allah terjadi niscaya Allah memiliki sifat lemah karena tidak mampu menggagalkan maksiat yang tidak Dia kehendaki wujud. Oleh karena itu di sini perlu dibedakan antara ridha dan kehendak-Nya. Ahlussunnah wal Jama’ah mencontohkan, ada hal yang diridhai dan dikehendaki Allah terjadi seperti imannya sahabat Abu Bakar dan ada hal yang tidak diridhai Allah tetapi dikehendaki Allah untuk terjadi seperti kafirnya Abu Jahal.

 

 

Ketiga, menetapkan bahwa orang yang fasiq dan durhaka kepada Allah tidak termasuk golongan orang yang beriman dan juga bukan termasuk golongan orang kafir. Mereka berpendapat bahwa orang fasik dan ahli maksiat tidak dapat disebut sebagai orang beriman. Karena hanya orang yang baik dan menjauhi maksiat yang pantas disebut orang beriman. Di sisi lain, orang yang fasik dan ahli maksiat juga bukan dari golongan orang kafir karena mereka telah membaca syahadat dan masih beriman kepada Allah. Akan tetapi, nantinya orang yang fasik dan ahli maksiat yang tidak mau bertaubat akan dihukum kekal di neraka dengan siksa yang lebih ringan daripada yang didapatkan oleh orang-orang kafir. Sekte Muktazilah menyebut kaidah ini dengan al-manzilah baina manzilatain. Mereka mengambil dalil pendapat ini dari redaksi ayat:

 

بَلٰى مَنْ كَسَبَ سَيِّئَةً وَّاَحَاطَتْ بِهٖ خَطِيْۤـَٔتُهٗ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ

 

“Bukan demikian! Barang siapa berbuat keburukan, dan dosanya telah menenggelamkannya, maka mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya” (QS Al-Baqarah ayat 81).

 

Padahal, menurut mayoritas ulama ahli tafsir redaksi perbuatan dosa (sayyi’ah) yang dimaksud ayat ini adalah dosa kekafiran bukan sekadar perbuatan dosa besar (Syekh Muhammad Thahir Ibnu Asyur, At-Tahrir wa at-Tanwir, Tunisia: Dar Sahnun, 1997, vol. I, h. 581).

 

 

Keempat, menetapkan bahwa salah satu dari dua kelompok sahabat Nabi yang bertikai di perang jamal sebagai orang fasik yang akan kekal di neraka selama mereka tidak mau bertaubat dan menyesali perbuatannya. Mereka berpendapat bahwa tidak ada dua kebenaran yang wujud dalam satu pertikaian. Pasti ada satu kelompok yang salah dan berdosa dan ada satu kelompok yang benar. Selain itu, mereka juga meyakini salah satu di antara dua golongan yang bertikai di antara pengikut Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyyah sebagai orang yang tidak pantas sebagai pemimpin umat Islam. Oleh karena itu, mereka tidak mendukung salah satu dari keduanya sebagai pemimpin umat Islam. (Lihat kitab al-Milal wa an-Nihal karya Abu Fattah Muhammad Abdul Karim asy-Syahrasytani, Kairo: Muassasah al-Halabi, 1968, vol. I, h. 49).

 

Tentu hal ini tidak sesuai dengan pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah yang meyakini para sahabat sebagai orang-orang yang mulia karena dari pengajaran para sahabatlah guru-guru kita terdahulu mempelajari agama Islam. Menuduh para sahabat seperti sahabat Ali bin Abi Thalib dan sahabat Mu’awiyah sebagai orang fasik berakibat fatal sebagaimana dalam Hadits disebutkan

 

قال رسول الله لا تسبوا أصحابي لعن الله من سب أصحابي

 

Rasulullah bersabda, “Jangan kalian mencaci para sahabatku, Allah melaknat orang yang mencaci para sahabatku” (HR ath-Thabrani).

 

 

Muhammad Tholhah al Fayyadl, mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo