Syariah

Imam Malik Tolak Pembakuan Mazhab Fiqih pada Awal Dinasti Abbasiyah

Sen, 18 Oktober 2021 | 04:30 WIB

Imam Malik Tolak Pembakuan Mazhab Fiqih pada Awal Dinasti Abbasiyah

Imam Malik Menolak Pembakuan Mazhab Fiqih pada Awal Dinasti Abbasiyah. (Foto ilustrasi NU Online)

Malik bin Anas ra atau biasa disebut Imam Malik ra (711 M/93 H-800 M/179 H) hidup sezaman dengan penguasa kedua Bani Abbasiyah, Abu Ja’far Al-Manshur (berkuasa pada 754 M/136 H-158 H). Imam Malik pernah diminta tolong oleh Abu Ja’far Al-Manshur untuk menyusun fiqih moderat.


Imam Malik ra (yang juga diberi gelar Imamu Daril Hijrah) diminta oleh Abu Ja’far Al-Manshur untuk menulis fiqih jalan tengah dari berbagai kecenderungan “ekstrem,” yaitu fiqih yang sangat ketat sahabat Abdulah bin Umar, fiqih sangat lentur penuh rukhshah sahabat Abdullah bin Abbas, dan fiqih minoritas Abdullah bin Mas’ud yang menyebar di berbagai pelosok kekuasaan Bani Abbasiyah.


“Tolong tulis sebuah kitab yang menyatukan masyarakat. Jauhi pandangan ketat Ibnu Umar, longgar Ibnu Abbas, dan pandangan minor Ibnu Mas’ud. Bertumpulah pada pandangan moderat dan apa yang disepakati para sahabat dan para ulama. Mudahkanlah masyarakat,” kata Abu Ja’far Al-Manshur.

 


Imam Malik ra, ulama yang dikenal sebagai pakar fiqih dan hadits, menggarap sebuah karya raksasa yang kini dikenal dengan Kitab Al-Muwaththa (salah satu kitab hadits tertua dalam Islam). Imam Malik menyelesaikannya dengan sungguh-sungguh. Karya ini diselesaikan selama 40 tahun.


Imam Malik ra yang melihat Rasulullah saw pada setiap mimpinya kemudian memperlihatkan Kitab Al-Muwaththa kepada 70 ahli fiqih kota Madinah. “Mereka bersepakat (wātha’ani) padaku atas kitab ini, lalu aku menamainya Al-Muwaththa.”


Setelah Kitab Al-Muwaththa selesai ditulis, Abu Ja’far Al-Manshur datang dan menyampaikan keinginannya untuk memproduksi secara massal kitab tersebut. Ia ingin menjadikan Kitab Al-Muwaththa sebagai referensi resmi dan pedoman standar fiqih masyarakat. (Syekh Ali Jum’ah, Shina’atul ‘Ifta, [Kairo, Nahdlatu Mishr: 2008], halaman 76).

 


Mendengar rencana pembakuan fiqih resmi negara, Imam Malik ra justru menolak. Bukan Imam Malik ra sebagai ulama besar yang bijak kalau ia menyetujui rencana Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur. Baginya, fiqih resmi negara yang berarti penyeragaman itu merupakan masalah besar terhadap kekebasan masyarakat untuk bermazhab. Penyeragaman dapat berujung pada kriminalisasi mazhab fiqih masyarakat yang berseberangan dengan fiqih negara.


“Jangan wahai Amirul Mu'minin. Pandangan-pandangan fiqih telah masuk ke masyarakat. Mereka selama ini telah mendengarkan beragam hadits. Setiap kelompok masyarakat juga sudah memegang pandangan fiqihnya masing-masing. Biarkanlah masyarakat setiap kota memilih mazhabnya masing-masing untuk diri mereka,” kata Imam Malik ra kepada Abu Ja’far Al-Manshur.


Imam Malik ra mengakui kekebasan bermazhab masyarakat. Imam Malik ra menyadari keberagaman fiqih masyarakat di tiap-tiap kota. Imam Kota Madinah ini juga memahami ragam kebutuhan masyarakat sehingga masyarakat dapat memilih pandangan yang sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing.


Imam Malik ra menyadari benar bahwa kondisi geografis masyarakat bersifat khas. Faktor lingkungan sangat mempengaruhi cara beragama (mazhab) masyarakat yang dapat menyulitkan mereka bila diseragamkan secara resmi oleh negara. Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)