Syariah

Keutamaan Mengiringi Jenazah sampai Pemakaman

Kam, 20 Februari 2020 | 14:30 WIB

Keutamaan Mengiringi Jenazah sampai Pemakaman

(Foto: NU Online)

Kematian akan menghampiri siapa saja. Saat ada orang meninggal dunia, orang yang masih hidup berkewajiban memenuhi hak mayit. Tanggung jawab ini masuk kategori fardlu kifayah atau kewajiban kolektif, yakni apabila salah seorang sudah melaksanakannya maka gugurlah kewajiban orang-orang sisanya.

 

Bila ada salah seorang umat Muslim meninggal dunia yang matinya tidak sebab mati syahid (di medan pertempuran) atau meninggal ketika sedang berihram, maka kewajiban yang hidup terdapat empat macam, yaitu memandikan, mengafani, menshalati, dan menguburkannya.

 

Lain halnya dengan orang kafir. Menshalatkannya justru dilarang karena shalat itu sendiri bermakna mendoakan (meski saat masih hidup, mendoakan mereka diperbolehkan). Adapun memandikan jenazah orang kafir diperbolehkan. Bahkan, mengafani dan menguburkan kafir dzimmi hukumnya wajib (Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah Al-Baijuri, [Beirut: DKI, 1999], juz 1, hal. 365-366).

 

Lalu bagaimana hukum mengiring jenazah Muslim sampai ke pemakaman?

 

Pada dasarya, hukum mengiring janazah tidak wajib karena yang pokok adalah sudah ada yang menshalatkan dan memakamkan tanpa pengiring. Namun, Baginda Nabi Muhammad memberikan kabar gembira bagi siapa saja yang mau mengiringi janazah baik sampai ke tempat penyelenggaraan shalat maupun sampai ke pemakaman, akan mendapatkan dua qirath. Satu qirath setara dengan besar gunung Uhud. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:

 

مَنِ اتَّبَعَ جَنَازَةَ مُسْلِمٍ، إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، وَكَانَ مَعَهُ حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا وَيَفْرُغَ مِنْ دَفْنِهَا، فَإِنَّهُ يَرْجِعُ مِنَ الأَجْرِ بِقِيرَاطَيْنِ، كُلُّ قِيرَاطٍ مِثْلُ أُحُدٍ، وَمَنْ صَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ رَجَعَ قَبْلَ أَنْ تُدْفَنَ، فَإِنَّهُ يَرْجِعُ بِقِيرَاطٍ.

 

Artinya: “Barangsiapa yang mengiring janazah seoran muslim dengan sebuah keimanan dan mencari ridla Allah, orang itu mengiringi janazah sampai shalat selesai dan sampai usai menguburkannya, ia pulang membawa pahala dua qirath. Setiap qirath itu sama dengan gunung Uhud. Dan barangsiapa yang menshalatinya lalu pulang sebelum dimakamkan, dia pulang dengan membawa satu qirath. (HR Bukhari: 47)

 

Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari Syarah Shahih al-Bukhari menyatakan bahwa pahala dua qirath itu didapat apabila seseorang mengiring dengan membersamai janazah, tidak berangkat sendiri-sendiri.

 

وَمُقْتَضَى هَذَا أَنَّ الْقِيرَاطَيْنِ إِنَّمَا يَحْصُلَانِ لِمَنْ كَانَ مَعَهَا فِي جَمِيعِ الطَّرِيقِ حَتَّى تُدْفَنَ فَإِنْ صَلَّى مَثَلًا وَذَهَبَ إِلَى الْقَبْرِ وَحْدَهُ فَحَضَرَ الدَّفْنَ لَمْ يَحْصُلْ لَهُ إِلَّا قِيرَاطٌ وَاحِدٌ انْتَهَى

 

Artinya: “Konteks mendapatkan dua qirath di sini dihasilkan bagi orang yang membersamai janazah sepanjang jalan sampai dikebumikan. Kalau melaksanakan shalat lalu pergi ke kuburan sendiri, maka hanya mendapatkan satu qirath saja” (Ahmad bin Ali ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, [Beirut: Darul Ma’rifah, 1379 H], juz 3, hal. 197).

 

Selain itu, Ibnu Hajar juga mengingatkan tentang pentingnya niat. Hadits di atas memberikan aturan dalam mengiring janazah atas dasar iman dan mencari ridha Allah, maka orang yang mengiring janazah supaya mendapat hadiah atau imbalan dan supaya dicintai salah seorang mahluk, tidak akan mendapatkan pahala dua qirath. Wallahu a’lam.

 

 

 

Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudlatul Quran an-Nasimiyyah, Semarang.