Syariah

Takziah Hanya Boleh Sampai Hari Ketiga, Benarkah?

Sab, 28 Maret 2020 | 22:00 WIB

Takziah Hanya Boleh Sampai Hari Ketiga, Benarkah?

Takziah lebih dari sekadar berkunjung. Ia juga bermakna menghibur hati dan membantu pihak yang terkena musibah. (Ilustrasi: NU Online)

Sebagaimana diketahui, takziah atau melayat orang meninggal hukumnya sunnah. Waktunya dimulai sejak orang itu meninggal, terus berlanjut sebelum dan setelah penguburan, bahkan sampai tiga hari setelah penguburan. Pertanyaannya, benarkah takziah dibatasi hanya tiga hari? Bagaimana bila takziah lebih dari tiga hari?

 

Mengutip pendapat Syekh Abu Muhammad al-Juwaini, Imam An-Nawawi mengatakan bahwa maksud tiga hari tersebut tidak mutlak atau pasti. Artinya, hanya perkiraan atau bersifat kurang lebih.

 

Memang sementara ulama mazhab Syafi’i memakruhkan takziah lebih dari tiga hari setelah penguburan. Sebab, di antara tujuan takziah sendiri adalah menenangkan hati orang yang sedang mendapat musibah. Dan umumnya ketenangan hati diraih setelah tiga hari musibah berlalu. Justru orang yang takziah atau kembali takziah setelah tiga hari penguburan hanya akan menggugah kembali rasa duka keluarga.

 

Namun, Abu Al-‘Abbas ibn Al-Qash menyatakan, tidak masalah bertakziah setelah lebih dari tiga hari. Bahkan, waktunya terus berlanjut hingga kapan pun. Pendapat ini didukung oleh pendapat Imam Al-Haramain yang juga pendukung mazhab Asy-Syafi’i.

 

Berdasarkan silang pendapat di atas, Imam An-Nawawi menengahi dan memberikan jalan keluar sebagai berikut:

 

والمختار أنها لا تفعل بعد ثلاثة أيام إلا في صورتين استثناهما أصحابنا أو جماعة منهم، وهما إذا كان المعزِّي أو صاحب المصيبة غائباً حال الدفن، واتفق رجوعه بعد الثلاثة، قال أصحابنا: التعزية بعد الدفن أفضل منها قبله، لأن أهل الميت مشغولون بتجهيزه، ولأن وحشتهم بعد دفنه لفراقه أكثر، هذا إذا لم يرَ منهم جزعاً شديداً، فإن رآه قدّم التعزية ليسكِّنهم.

 

Artinya: Pendapat yang dipilih adalah takziah tidak dilakukan setelah tiga hari (penguburan) kecuali dalam dua keadaan yang dikecualikan oleh kawan-kawan kami atau sekelompok dari mereka. Dua keadaan dimaksud adalah jika orang yang ditakziahi atau orang yang terkena musibah sedang tidak ada ketika penguburan, dan disepakati kebolehan atau permintaan takziah lagi. Bahkan, menurut sebagian kawan kami, takziah setelah penguburan lebih baik dari pada sebelumnya. Karena mungkin saat penguburan, keluarga si mayit tengah sibuk mengurus mayit. Atau, duka mereka setelah penguburan karena kepergian si mayit lebih terasa berat. Ini dilakukan jika orang yang takziah tidak melihat kesedihan yang sangat mendalam. Artinya, jika ia melihat mereka sangat berduka, maka takziah lebih didahulukan demi menenangkan mereka. (Lihat: Imam an-Nawawi, Al-Adzkar An-Nawawiyyah, Daru Ihya, hal. 126).

 

 

Di samping itu, takziah juga dilakukan merata kepada keluarga dan kerabat si mayit, baik yang dewasa maupun anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Dikecualikan yang harus ditakziahi adalah seorang remaja perempuan atau perempuan muda belum menikah. Maka yang harus bertakziah adalah mahram-mahramnya. Ditambahkan pula oleh para ulama Syafi’iyah, takziah kepada orang-orang saleh, orang-orang yang lemah dalam menghadapi musibah, atau anak-anak adalah diutamakan.

 

Dari uraian di atas, dapat diberi kesimpulan bahwa takziah boleh dilakukan setelah lebih dari tiga hari. Sebab, ketentuan tiga hari sendiri tidak bersifat mutlak, tetapi hanya bersifat perkiraan. Namun, dengan catatan takziah lebih dari tiga hari tidak akan memperbaharui perasaan duka keluarga si mayit; tidak memberatkan mereka; dan disepakati atau diminta pihak keluarga, seperti untuk acara tahlilan, dan sebagainya. Wallahu a’lam. (Lihat: Al-Adzkar An-Nawawiyyah, hal. 127).

 

 

Penulis: M.Tatam
Editor: Mahbib